Feature: Supyan dan Realita Pahit Bertani di Tengah Ancaman Hama dan Tengkulak

Feature: Supyan dan Realita Pahit Bertani di Tengah Ancaman Hama dan Tengkulak

LPM Spirit - Mahasiswa
Jumat, 23 Mei 2025

WKUTM — Pagi baru saja menyapa, sinar matahari mulai mengintip dari ufuk timur, menerangi hamparan padi yang tampak bak tumpukan emas berkilauan di tengah ladang. Padi-padi itu bergoyang lembut tertiup angin, seolah mengisyaratkan waktu panen telah tiba. Sejumlah petani berbaris rapi, di antaranya seorang pria tua yang masih tampak gagah meski kulitnya keriput dan coklat, tanda kerasnya hidup sebagai petani. Dengan cangkul di pundak, mereka berjalan menuju ladang, siap mencabut padi dan mengolah hasil panen.

Di bawah terik matahari pagi, mereka dengan sabar memetik padi, memukulnya hingga biji-biji padi berhamburan, kemudian mengumpulkannya ke dalam goni yang akan diangkut ke mobil pengangkut untuk dikeringkan. Teras rumah mulai dipenuhi tumpukan padi yang dijemur, menunggu proses pengeringan alami. Petani tua itu bernama Supyan, pria berusia 59 tahun yang masih tekun mengelola sawah di desa Windurejo.

“Sejak kecil, saya sudah terbiasa bekerja di sawah, sejak SMP,” ungkap Supyan saat kami berbincang di teras rumahnya malam itu (13/5). 

Puluhan tahun telah ia lalui sebagai petani, bukan karena keuntungan besar, melainkan karena pilihan hidup dan keterbatasan nasib. Masalah hama masih menjadi momok klasik yang belum teratasi, menyebabkan kerugian yang nyata bagi para petani. Ditambah lagi dengan sulitnya mendapatkan air saat musim kemarau, hasil panen pun menurun kualitasnya.

Selain itu, masalah tengkulak juga menjadi beban berat. Tengkulak datang langsung ke rumah petani dengan kendaraan pikap, menawarkan jasa pembelian hasil panen secara langsung. Hal ini sangat membantu petani yang mayoritas berusia di atas 55 tahun, yang sudah tidak kuat mengolah hasil panen sendiri dan lebih memilih cara yang praktis. 

“Petani di kampung tidak mau ribet. Menjual ke tengkulak itu paling mudah. Mereka datang, menentukan harga, dan petani langsung dapat uang,” jelas Supyan dengan ekspresi wajah yang penuh pengalaman.

Merawat padi memang memerlukan waktu sekitar tiga bulan, tenaga, modal, dan pengalaman agar bisa sampai masa panen. Namun, petani jarang punya waktu memikirkan sistem penjualan gabah. Kebanyakan petani berusia lanjut ingin segera mendapatkan uang untuk modal tanam berikutnya, sehingga kehadiran tengkulak yang memberikan kepastian pembelian menjadi pilihan yang menggoda.

Saat ini, Supyan belum memiliki lahan sawah sendiri dan menyewa lahan selama setahun dengan biaya 9 juta rupiah. Selain itu, modal tanam hingga panen mencapai sekitar 11 juta rupiah, termasuk biaya pupuk, obat hama, dan upah tenaga kerja. Total pengeluaran per tahun mencapai 20 juta rupiah. Dari hasil panen, rata-rata pendapatan tahun pertama sekitar 12 juta rupiah, namun pada panen kedua dan ketiga turun menjadi 8 juta rupiah, sehingga total pendapatan setahun sekitar 28 juta rupiah. Dengan demikian, keuntungan bersih hanya sekitar 8 juta rupiah, jika nasib baik tanpa gangguan hama dan kekeringan.

Ketika ditanya apakah pernah bernegosiasi harga dengan tengkulak, Supyan menjawab tegas, “Kalau tidak mau jual dengan harga yang ditentukan, ya tidak jadi dibeli.” 

Jawaban itu mencerminkan ketidakberdayaan petani dalam menghadapi tengkulak yang menguasai pasar. Menjual ke tengkulak memang cepat dan pasti, berbeda dengan menjual di pasar luar yang lebih rumit dan seringkali hanya laku jika sudah berupa beras, sedangkan petani lebih sering menjual gabah karena keterbatasan waktu untuk mengeringkan sendiri.

Tengkulak seolah menjadi penyelamat sekaligus penguasa, membeli semua hasil panen dengan harga rendah dan membuat petani terikat pada sistem yang tidak menguntungkan. Situasi ini mengingatkan pada masa kolonial Belanda dengan sistem tanam paksa yang menindas petani demi kepentingan pihak lain. Kini, meski Indonesia sudah merdeka lebih dari 80 tahun, masalah ketidakadilan harga panen masih belum tuntas.

“Berapa pun harganya, kami pasrah asal dapat uang,” ujar Supyan sambil tertawa kecil, menunjukkan gigi yang masih lengkap di usianya yang senja.

Saat ini, satu-satunya bantuan yang diterima petani adalah subsidi pupuk, yang selisih harganya dengan pupuk non-subsidi hanya sekitar 50 ribu rupiah per 100 kilogram. Setiap petani mendapatkan jatah subsidi sebanyak 100 kilogram, jumlah yang masih kurang sehingga harus membeli pupuk tambahan dengan harga lebih tinggi. Supyan merasakan langsung beban ini.

Meskipun ada kabar tentang koperasi Merah Putih yang akan diresmikan Oktober mendatang sebagai distributor hasil panen langsung menggantikan tengkulak, Supyan tidak terlalu berharap. Menurutnya, koperasi itu mirip dengan koperasi petani sebelumnya yang ramai diperbincangkan tapi tidak pernah terealisasi. 

“Paling yang merasakan manfaatnya hanya yang dekat dengan pemerintah atau kota,” katanya.

Berbagai kesulitan yang dialami petani menjadi salah satu alasan generasi muda enggan meneruskan profesi bertani. Mereka lebih memilih bekerja di pabrik dengan gaji yang lebih pasti. Supyan pun menyadari hal ini dan khawatir jika kondisi terus berlanjut, tidak akan ada yang mau menjadi petani.

“Memang sekarang lebih menguntungkan kerja di pabrik. Siapa yang mau jadi petani dengan hasil pas-pasan? Pemerintah harus memberikan bantuan agar petani lebih sejahtera, dengan harga kebutuhan murah tapi harga jual padi tinggi,” tutup Supyan penuh harap.

Nur Anisa 
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi