Judul
Novel : Bumi Manusia
Penulis
: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :
Lentera Dipantara, Jakarta Timur
Isi :
535 halaman
Tahun
Terbit : 2011
cetakan ke-17
Baru-baru ini, Hanung Bramantyo, sutradara
terkenal itu mengangkat
novel Bumi Manusia, buku pertama tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta
Toer ke layar lebar. Kabar itu membuat ramai banyak orang. Begitu juga
setelah Hanung mendapuk
Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, aktor yang memerankan Dilan dalam film yang
diangkat dari novel Pidi Baiq, menjadi pemeran utama sebagai Minke.
Barangkali, hal itu yang
membuat generasi milenial bertanya-tanya, siapakah Pramoedya itu?
Pram adalah penulis Indonesia legendaris dalam sejarah
sastra Indonesia. Ia telah melahirkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan dalam bahasa 41 bahasa lain. Salah satu
karya besarnya adalah Buku
tetralogi Pulau Buru, 4 roman yang saling bertautan. Pada 1980-an, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca dan semua karya Pram sempat dilarang beredar. Konon dianggap
membahayakan karna mengandung ajaran yang tak sesuai dan mengancam ideologi bangsa.
.
Bumi Manusia sendiri bercerita tentang Minke, seorang
pribumi, jawa tulen. Ia bersekolah di HBS (Hoogere Burger
School). Sekolah yang setara dengan SMA dan
tak sembarang orang bisa mendapat pendidikan di sana. Hanya kaum totok
atau orang Eropa Asli, Indo atau campuran, juga Pribumi yang memiliki kedudukan
tinggi yang berhak memperolehnya.
Dalam novel ini ia digambarkan sebagai sosok yang
begitu cerdas dan pandai dalam membaca dan menulis. Ia sebenarnya mempunyai
gelar bangsawan, namun ia tak pernah memakainya, maka Minke—plesetan nama kata “monkey”—yang lebih
banyak
digunakan. Minke merupakan anak dari bupati B (ditulis seperti
itu dalam novelnya) yang hidup diantara
orang-orang berkulit putih. Intensitas
pergaulan minke dengan kaum eropa perlahan membuat ia mengaggumi adat istiadat
dan kehidupan orang eropa. Minke pelan-pelan melupakan tradisi yang telah diwariskan nenek
moyangnya, yaitu Jawa, sekalipun
keluarganya merupakan penganut budaya jawa yang fanatik, terlebih ayahnya yang
berbanding terbalik dengan Minke.
Kisah tersebut seolah-olah menyentil kelakuan
orang-orang di masa lalu, dimana percampuran budaya yang dialami pribumi, membuat
mereka jadi pengagum budaya Barat. Bahkan Pribumi yang memiliki kebudayaan
sendiri, bukannya bangga dan mengenalkan budayanya, malah menyesuaikan diri
terhadap budaya yang dibawa oleh bangsa luar. Padahal sebelum Belanda datang,
sesungguhnya pribumi telah mengenal teknologi. Pribumi mampu mengolah logam,
membuat apapun dari bahan kayu-kayu dan memiliki peradaban yang jauh lebih maju
daripada bangsa eropa.
Minke, dalam buku ini yang memuja modernisme menjadi manifestasi perenungan untuk mencapai kebebasan. Minke digambarkan sebagai kebebasan yang esensial terhadap pencarian eksistensi. Tak hanya tentang Minke, buku yang mengambil latar abad 18 juga menceritakan sosok Nyai Ontosoroh. ‘Nyai’ yang kala itu dianggap rendah oleh orang-orang lantaran menjadi gundik, wanita simpanan orang-orang Eropa
Pram, lewat tokohnya pelan-pelan mengajak kita untuk tidak
memandang rendah setiap orang dengan sebelah mata. ‘Adil sejak dalam pikiran,’
demikianlah yang ditulisnya. Minke yang diceritakan jatuh hati pada Annalise
Malema, anak Nyai Ontosoroh, membuat dirinya sadar kalau Nyai Ontosoroh tidak
seperti Nyai-nyai pada umumnya di masa itu. Pram seolah mendobrak, mengubah
pandangan pada apa-apa yang marak terjadi sekarang. Adil sejak dalam pikiran,
Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia mengingatkan kita pada pepatah lama, jangan
menilai buku hanya dari sampulnya.
Yang menjadi daya tarik dalam membaca buku ini salah
satunya adalah kisah cinta antara Minke dan Annelise. Kisah cinta yang penuh
akan perjuangan dan tuntutan akan hak-hak seorang anak manusia. Pahit getir
perjalanan pernikahan
mereka dimulai dari tidak diakuinya pernikahan mereka oleh pemerintah Belanda.
Nyai Ontosoroh tidak terikat dalam pernikahan yang diakui oleh pemerintah Eropa,
sebab Nyai hanyalah gundik.
Setelah Herman Mellema meninggal di tempat pelacuran,
Maurist Mellema, anak tunggal Herman Mellema dari istri yang sah telah menuntut
hak perusahaan juga Annelies sendiri, sebagai milik mereka. Sekalipun Nyai
Ontosorolah yang merawat baik perusahaan maupun Annelies sejak dari kecil.
Di sinilah nantinya diceritakan ketidakadilan yang
terjadi kepada Pribumi. Perjuangan menuntut hak, kegigihan dan arti penting
dari kehormatan sebuah perlawanan. Novel ini tidak lain adalah lanskap
penjajahan yang ada di Indonesia. Pram menceritakan pahit, sakit, getir di era
penjajahan. Yaitu ketika Pribumi tidak bisa berbuat banyak dan tidak berdaya
melakukan apa-apa. Sekalipun ketidakadilan benar-benar di depan mata.
Membaca novel ini dengan alur yang runtut, kita
seperti diajak menelisik berbagai kejutan-kejutan yang mengalir deras, dari
dialog yang ditulis oleh Pram. Realitas budaya Jawa yang menggambarkan kemauan
keras, juga cita-cita untuk mencapai kesejahteraan telah membuat Minke, anak
priyai itu sadar jika sesungguhnya begitu peliknya kehidupan jajahan. Minke
berusaha bebas untuk menghilangkan perihal kolonialisme dan feodalisme yang
terjadi di pribumi ini.
Pram berhasil membuat pembaca berdecak kagum. Nilai
kemanusian, nasionalis, moralitas, akan dengan mudah didapatkan setelah membaca
buku-bukunya. Selain itu, kelihaian Pram juga nampak dalam menyuguhkan pesan, baik tersurat maupun tersirat, di setiap paragrafnya bahkan disetiap kalimatnya.
Bumi Manusia, salah satu karya hebat yang pernah saya baca.
Ia mengajarkan, bagaimana seharusnya
bersikap, menempatkan
sesuatu pada tempatnya, kalaupun kagum, kagumlah sesuai dengan porsi yang sesungguhnya.
Diresensi oleh Yulia Rahmatika, mahasiswa Prodi Pendidikan IPA UTM