Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Mei 2014
Tebal: 243 halaman
ISBN: 978–602–03–0393–2
Saya mengerti, akan ada banyak bocil di bawah usia 18 tahun yang akan membaca tulisan saya ini, walaupun saya sudah memberikan batasan umur kepada tulisan ini. Pencegahan seperti apa pun sepertinya tidak berguna, karena bocil zaman sekarang lebih canggih otaknya, terlebih jika bersangkutan dengan "perkelaminan". Untuk itu, kepada semua pembaca saya harap bisa lebih bijak dalam menyikapi tulisan saya, termasuk para orang tua yang membaca tulisan ini agar tidak marah dan menuding saya menyebarkan konten pornografi. Dasar Boomer!
Seperti namanya, Tokek selalu ada dan "nempel" pada Ajo kawir yang ibarat dinding. Tokek selalu ada dan menemani Ajo Kawir kemana pun termasuk melancarkan hobinya mengintip istri kepala desa yang sedang berhubungan badan dengan pak kepala desa. Saat melihat ritual sex yang dilakukan kedua suami-istri tersebut, Ajo Kawir selalu melihat dengan memegangi kemaluannya yang miring ke kiri yang kemudian membenarkannya pada posisi semula.
Kedua bocah ini pun tidak menyangka jika hobinya mengintip inilah yang pada suatu hari mengawali segala kerumitan masalah hidup di masa depan, khususnya Ajo Kawir. Pasalnya, pada malam itu si Tokek memberi tahu Ajo Kawir untuk mengikuti dirinya ke dalam suatu tempat yang dalam keterangan si Tokek, tempat itu ada sesuatu yang jauh lebih mengasyikkan daripada buah dada istri kepala desa.
Dengan rasa penasaran, akhirnya Ajo Kawir bersedia mengikutinya dan mereka kemudian pergi nyaris tengah malam ke suatu tempat yang ternyata adalah rumah yang berada di tengah-tengah hutan. Konon katanya, itu adalah rumah wanita sinting yang bernama Rona Merah.
Wa Sami selalu mewanti-wanti si Tokek ataupun Ajo Kawir agar tidak mendekati wanita itu, apalagi mencoba berbincang dengannya, karena Rona Merah tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Tokek mengetahui rumah dan Rona Merah sendiri karena Wa Sami kerap menyuruhnya untuk mengantarkan beberapa beras dan lauk untuk dirinya dimasak dan dimakan, karena kata Wa Sami dulunya Rona Merah adalah kawan baiknya. Wa Sami juga pada beberapa kesempatan sempat berkunjung ke rumah Rona Merah dan menyapu rumahnya tanpa berbincang dengan Rona Merah.
Ajo Kawir yang dipandu oleh Tokek pun mengintip Rona Merah hampir setiap saat, namun tak ada satu pun yang bisa dikatakan dan dianggap menarik oleh Ajo Kawir. Dirinya merasa muak karena hanya melihat wanita sinting yang mondar-mandir ke sana kemari, bermain dengan sisa nasi di lantai yang mulai basi, dan hal tidak menarik lainnya. Merasa bosan, akhirnya Ajo Kawir mengatakan kepada si Tokek jika tidak ada sesuatu hal yang menarik satu pun, dan Ajo Kawir sudah mulai muak dengan itu semua.
Si Tokek tidak menyerah, dirinya terus berusaha mengajak Ajo Kawir ke rumah Rona Merah dan memaksanya untuk mengintip Rona Merah melalui lubang kecil yang sudah dibuat khusus untuk acara ini. Masih dalam keadaan membosankan yang sama, hingga pada suatu malam ada dua polisi yang datang, kemudian tampak memandikan Rona Merah dengan sedikit kasar dan juga mengelap tubuhnya yang mulai basah dan kedinginan karena suhu di luar semakin dingin akibat gerimis.
Masih dengan pikiran yang sama dan keheranan, Ajo Kawir berpikir apa yang menarik dengan menyaksikan orang sinting dimandikan dengan cara kasar seperti itu, si Tokek meminta Ajo Kawir bersabar dan menunggu, dan benar saja seketika Ajo Kawir terkejut dan si Tokek pun tersenyum di tengah terpaan gerimis yang mulai menciprati dirinya.
Ajo Kawir melihat salah satu dari polisi itu, yang di sana hanya digambarkan dengan sosok pemilik luka, memperkosa Rona Merah dan tampak Rona Merah yang hanya menggeliat-geliat, meliuk-liuk tubuhnya bagaikan ular birahi yang tak berdaya. Sesekali dirinya tampak melawan dan mendorong polisi tersebut, namun polisi tersebut terus melawan dan menggenjot Rona Merah lebih dalam lagi di atas sebuah meja. Tangan polisi tersebut menjelajah ke seluruh tubuh wanita sinting tersebut dan kemudian tak ada perlawanan apa pun dari si wanita gila tersebut.
Ajo Kawir yang melihat kejadian tersebut, membetulkan kemaluannya yang miring ke kiri, menandakan jika kelaminnya sudah mulai mengeras dan dia sudah bernafsu akan hal yang dilihatnya. Melihat Ajo Kawir yang sibuk membetulkan posisi kelaminnya, Tokek tersenyum puas karena bisa memperlihatkan sesuatu yang lebih menarik daripada buah dada milik istri kepala desa. Tokek akhirnya melempar pertanyaan kepada Ajo Kawir perihal buah dada Rona Merah. Ajo Kawir menjelaskan jika buah dadanya jauh lebih menarik daripada milik istri kepala desa, walaupun untuk ukuran, milik Rona Merah lebih kecil.
Beberapa saat setelah itu, Ajo Kawir terpeleset dan membuat suara gaduh. Polisi yang sedang asyik merokok di jendela dan memainkan kreteknya kaget bukan kepalang, termasuk si pemilik luka yang sedang asyik menjelajah dan menikmati tubuh Rona Merah juga terkejut.
Si Tokek akhirnya melompat ke semak-semak, tak peduli dengan derasnya hujan. Saat Ajo Kawir ingin melakukan hal yang sama, secara cepat kedua polisi tersebut sudah ada di depan Ajo Kawir dan kemudian membawanya ke dalam.
Ajo Kawir di gelandang masuk ke dalam rumah Rona Merah dan polisi itu menyuruhnya diam dan menyaksikan pemerkosaan yang dilakukan secara bergilir oleh dua polisi itu. Ajo Kawir yang terlihat seperti zombi di sana, membuat Tokek merasa ingin menolongnya, namun dirinya tak kuasa karena pada saat itu mereka masih berusia 13 tahun, dan polisi itu memiliki tubuh yang besar juga tinggi dan juga memiliki senjata, sehingga mustahil bagi dirinya untuk bisa menyelamatkan Ajo Kawir. Alih-alih menyelamatkan, malah dirinya yang bisa-bisa ikut tertangkap.
Setelah beberapa saat polisi menawari Ajo Kawir untuk melakukan hal yang sama kepada Rona Merah, polisi tersebut melucuti pakaian Ajo Kawir hingga dirinya bugil dan kemudian mendorong Ajo Kawir hingga dirinya sampai di depan selakangan Rona Merah. Dirinya melihat persis di depan matanya kelamin Rona Merah, yang kemudian hal tersebutlah yang membuat kemaluan Ajo Kawir mengkerut tak mau berdiri, hingga ia dewasa.
Sejak kejadian yang membuat kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri, permasalahan demi permasalahan sering mereka hadapi. Mulai dari perkelahian tanpa sebab (gabut) yang dilakukan oleh keduanya, hingga permasalahan rumah tangga yang dialami oleh Ajo Kawir di kemudian hari.
Ajo Kawir kerap memancing keributan dan membuat masalah agar bisa menemukan lawan berkelahi, dirinya melakukan hal itu sebagai pelampiasan atas kekesalannya yang mungkin disebabkan oleh burungnya yang tak bisa berdiri.
Buku ini, kental dengan permasalahan sosial yang mungkin dirasakan oleh beberapa pihak. Hal tersebut terbukti, dengan Eka Kurniawan (penulis) yang menyajikan beberapa tokoh dengan latar belakang yang berbeda-beda. Seperti pada bab 5, yang menggambarkan kehidupan supir Truk yang diperankan oleh Ajo Kawir sendiri. Dalam bagian tersebut, Eka Kurniawan menceritakan secara gamblang kerasnya kehidupan di jalanan, digambarkannya Ajo Kawir yang sudah mulai bijaksana dalam menyikapi permasalahannya, tak seperti pada masa mudanya. Kehadiran Mono Ompong dan Jelita pada bagian juga bisa ditarik kesimpulan jika interaksi yang dilakukan oleh ketiganya merupakan penggambaran kehidupan sebuah keluarga yang syarat dengan permasalahan, namun sang Ayah yang bisa di ibaratkan sebagai Ajo Kawir memiliki sikap tenang dan bijaksana yang seharusnya dimiliki oleh sosok ayah. Sikap lemah lembut dan cenderung menggunakan perasaan Jelita juga menggambarkan sosok kasih sayang ibu yang tak ingin anaknya terluka. Terbukti, saat Jelita merengek dan memohon Ajo Kawir untuk menolong Mono Ompong dari perkelahian tak adil yang dilakukan oleh Kumbang hingga kaki kanannya patah. Tak lupa pula penokohan Mono Ompong, khususnya pada kejadian saat dirinya berduel dengan Kumbang merupakan implementasi dari jiwa muda yang semangatnya masih berkobar, gegabah dan suka cari masalah. Akan tetapi, dengan kebijaksanaannya, dia memilih untuk diam dan percaya jika Mono Ompong bisa mengalahkan si Kumbang.
Kebijaksanaan Ajo Kawir menurut saya digambarkan dalam cerita tersebut adalah "kelamin" Ajo Kawir yang tak bisa berdiri, yang kerap diajak mengobrol dengan dirinya setiap saat dan juga pada saat Jelita menyuruhnya untuk menolong Mono Ompong, dan ternyata kelaminnya menolak.
Alasan saya menyebut kelamin Ajo Kawir adalah sebuah penggambaran kebijaksanaan adalah karena statemen dirinya yang berkata kepada Tokek yang kurang lebih berbunyi seperti ini "aku banyak belajar dari kelaminku, kelaminku yang tertidur dengan tenang dan damai ibarat sufi dan maha guru yang sedang menempuh jalan kesunyian. Aku bersyukur burungku tak bisa berdiri, karena kelamin ibarat otak kedua, yang kadang cenderung bisa mengendalikan kita daripada apa yang ada di dalam kepala (otak)"
Dari statemen singkat tersebut tertuang jelas maksud Eka Kurniawan kenapa dirinya menuliskan sebuah tulisan yang menceritakan tentang kehidupan penderita impotensi. Karena sungguh bisa dibilang tak ada yang menarik mengenai penyakit burung yang tidak bisa berdiri. Akan tetapi Eka membantah pemikiran tersebut dengan sebuah cerita yang menurut saya masuk dalam kategori alegori kehidupan sehari-hari yang mungkin luput untuk kita saksikan.
Eka dalam cerita ini juga sukses memainkan emosi dan mengaduk-aduk perasaan pembaca, khususnya saya yang membaca pada bagian di mana latar belakang Iteung (istri Ajo Kawir) mulai dikuak, jika dirinya pernah dilecehkan oleh gurunya sendiri hingga akhirnya belajar bela diri dan berhasil membalaskan dendamnya kepada gurunya, Iteung yang bermain gila dengan Budi Baik karena tak bisa mendapatkan kepuasan berhubungan badan dengan Ajo Kawir yang kemudian Iteung mencari kepuasannya sendiri lewat Budi Baik.
Pada adegan yang menceritakan hubungan badan Iteung dengan Budi Baik bisa direlevansikan sebagai kritik akan fenomena nikah muda atau gerakan "ngebet nikah" dengan alasan menghindari zina ataupun saling mencintai. Di sini terlihat jelas jika usia keduanya masih pada fase dewasa awal atau remaja akhir, yakni usia 20 tahun, yang kemudian mereka menikah dengan alasan cinta dan Ajo Kawir sebenarnya sudah memperingatkan Iteung jika kemaluannya tak bisa berdiri. Akan tetapi Iteung mengatakan tak mempermasalahkan dengan hal itu, Iteung menerima Ajo Kawir apa adanya. Akan tetapi, kebutuhan biologisnya pun akhirnya yang mengantarkan dia kepada kehancuran rumah tangganya yang diawali oleh persetubuhan Iteung dengan Budi Baik. Walaupun Iteung bersetubuh dengan Budi Baik sambil membayangkan bersetubuh dengan suaminya, tetap saja hal tersebut tak bisa dibenarkan.
Kritik yang saya maksud pada bagian ini adalah, ketika kebutuhan pokok manusia haruslah dipenuhi terlebih dahulu, kebutuhan pokok tersebut bisa pada faktor Sandang-Pangan-Papan atau bahkan servis suami-istri. Dalam bagian ini seolah ingin menyampaikan jika cinta tak selalu membawa kebahagiaan, dan jika kebutuhan dasar manusia tak bisa dipenuhi dalam kehidupan rumah tangga, maka cinta tidak bisa menjadi satu-satunya alasan untuk rumah tangga bisa bertahan dengan sehat. Ini relevan dengan zaman sekarang di mana banyak kasus perceraian dan perselingkuhan diawali dengan masalah-masalah kebutuhan dasar manusia, dan ini bisa disebabkan oleh faktor pernikahan yang terburu-buru tanpa persiapan yang matang.
Kemunculan sosok Nina juga semakin membuat hati saya teriris dan memompa darah saya hingga mendidih, karena di situ Nina digambarkan sebagai sosok murahan yang mau dibayar berapa pun, bahkan jika hanya dengan bayaran setengah dan kurangannya bulan depan. Padahal Mono Ompong percaya Nina wanita baik-baik.
Mengingat bahasa yang digunakan dan pembahasan yang dibawakan pada buku ini cukup gamblang dan mengacu pada konteks "kelamin dan bersetubuh", saya menganjurkan agar buku ini tidak dinikmati oleh anak-anak di bawah usia 19 tahun. Buku ini juga bisa menjadi pedoman yang baik oleh seseorang yang awam dalam dunia seks, karena buku ini akan membimbing pembaca mengenai bagaimana seks dilakukan, penggambarannya secara gamblang membuat pembaca tak perlu lagi melihat video porno untuk bisa belajar sex education. Selain itu, bagian saat Iteung dilecehkan bisa menjadi referensi yang baik bagi para orang tua untuk selalu mawas diri akan keadaan putra-putrinya, bahkan saat berada dilingkungan yang dianggap paling aman sekalipun yakni sekolah.
Alur maju mundur yang disajikan oleh Eka dalam cerita ini juga bisa menjadi ciri khas tersendiri dan juga kendala bagi pembaca. Karena pembaca harus jelih dengan apa yang sedang dibahas dalam setiap bagian yang terpotong-potong tersebut. Baiknya, dengan paragraf atau bagian cerita yang dipotong-potong pendek dan berbolak-balik bisa membuat pembaca tidak merasa bosan ataupun lelah dalam membaca buku ini.
Buku ini pada awalnya memang terkesan sebagai buku sastra yang menjelma menjadi konten pornografi, akan tetapi jika kita jelih dalam memilah dan mendalami maksud penulis. Kita bisa menemukan berbagai cerminan masalah kehidupan beserta pelajaran yang bisa kita petik di dalamnya.