WKUTM
– Sumber penerangan listrik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) beberapa masih
menggunakan energi terbarukan, seperti penggunaan panel surya. Amrin Rozali,
Staf Unit Layanan Pengadaan (ULP) mengatakan beberapa titik di UTM yang masih
gelap karena rusaknya solar cell atau accu
pada panelnya.
”Mungkin yang di belakang rektorat itu solar cellnya rusak, saya juga pernah menemukan di taman atau jalan
kembar, accu sudah diganti tapi tetap
tidak nyala,” ujarnya.
Penggunaan
panel surya yang tidak maksimal juga disebabkan
pendeknya usia accu serta mahalnya
biaya penggantian accu. Sekelas accu mobil
harganya berkisar antara Rp 700.000,-
sampai Rp 800.000,- sedangkan untuk kategori accu panel surya sendiri selisih Rp 200.000,- sampai Rp 300.000,- jelas Amrin.
Menurut
keterangan Amrin, energi listrik menggunakan panel surya akan lebih mahal. Dirinya
mengibaratkan UTM menggunakan 1000 buah lampu listrik membutuhkan biaya kisaran
500 juta rupiah. Namun ketika menggunakan panel surya justru membutuhkan
anggaran yang lebih besar yaitu sekitar satu miliar. Adapun tidak ada perawatan
khusus untuk pemasangan panel surya, sementara itu biaya masih menggunakan
anggaran umum.
“Kalau
perawatan khusus tidak ada, adanya perawatan yang meliputi seluruh fasilitas
yang ada di UTM seperti digabung dengan anggran rekontruksi bangunan, perawatan
peralatan komputer, dan printer yang berjumlah 1,2 miliar pertahun,” jelasnya.
Koko
Joni, selaku dosen Fakultak Teknik juga turut menambahkan bahwa pemasangan
panel surya membutuhkan anggaran yang cukup tinggi, namun jika sudah berfungsi dengan baik akan
menghasilkan energi yang terjangkau, Jika dibandingkan dengan listrik dari PLN.
”Tenaga
surya mahalnya di awal ketika sudah dipasang bisa membantu, kalau saya di rumah
pake panel surya itu biasanya 50.000 itu untuk 1 minggu token, dengan panel
surya bisa 1 bulan,” tutur pria lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
tersebut.
Selain
permasalahan anggaran, kurang maksimalnya operasi panel surya juga disebabkan
seringnya pencurian accu meskipun
telah diletakkan pada kotak. Seringkali dibobol padahal sudah dikunci, akibatnya
panel surya tidak bisa beroperasi sebagaimana fungsinya.
Koko
Joni juga menyayangkan kurangnya penerangan yang ada di UTM akibat belum
maksimalnya pemanfaatan panel surya yang dinilai lebih ramah lingkungan. ”Kalau
tenaga surya investasinya mahal, sama akinya yang tidak bisa tahan lama, kalau
PLN pembangkitnya dari gas ( PLTG) itu tidak ramah lingkungan, karena gasnya
pencemaran,” imbuhnya.
Koko
juga berharap agar UTM menggunakan energi listrik terbarukan agar tagihan
listrik lebih sedikit. Selain itu dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi
mahasiswa pecinta lingkungan dan
mahasiswa program Teknik Elektro.
Sementara
itu Muhammad Fajrul Islam, selaku mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, juga mengeluhkan kurangnya
lampu penerangan di UTM, terutama penerangan di sekitar taman, parkiran, dan
belakang gedung rektorat.
”Bukan
hanya di gedung fakultas bahkan di dekat gedung rektorat saja kurang, apalagi
yang gedung-gedung baru. Kalo benar demikian, ya bisa dibilang UTM itu kurang
tanggap,” keluhnya.
Akibat
kurangnya penerangan, Fajrul menyesalkan adanya beberapa pihak yang
memanfaatkan keadaan ini untuk perbuatan asusila.
”Banyak
yang pacaran di taman kampus, merasa aman karena redup,” sesalnya. (Cha/Mel/HIY).