Resensi Buku: Dosa Besar Media dalam Meliput Konflik

Resensi Buku: Dosa Besar Media dalam Meliput Konflik

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 12 Juli 2025

Waspada perang dunia semakin rutin digemakan media bersamaan dengan semakin lesunya ekonomi dunia dan hubungan yang renggang antar negara.

Media pun beradu framing dalam pemberitaan. Khususnya konflik yang tengah memanas belakangan antara Iran, Israel, dan Amerika; Rusia dan Ukraina; serta genosida terhadap Palestina oleh Israel.

Dengan agenda masing-masing, media menaikkan pamor negara yang didukung oleh mayoritas pembaca mereka. Berbagai cara dilakukan, baik mengutip secara timpang statement pihak yang terlibat, memandang perang hanya dengan angka, hingga menayangkan seolah perang hanya soal antar pemerintah negara.

Mochtar Lubis menyebut gaya tersebut sebagai jurnalisme perang. Lantaran memberitakan perang bukan untuk meredam, tetapi justru membesarkan.

Dalam bukunya yang berjudul “Catatan Perang Korea” ia menawarkan pendekatan yang lebih humanis dalam meliput perang. Dibanding meminta tanggapan para politikus dan pimpinan negara, ia lebih menyoroti kondisi para warga yang terdampak perang.

Beberapa saat setelah Perang Dunia II usai, Perang Dingin lahir, yang dipacu oleh konflik-konflik kepentingan negara adidaya. Salah satunya Perang Korea, yang lahir dari egoisme Soviet dan Amerika.

Mochtar Lubis, sebagai perwakilan jurnalis dari Indonesia diturunkan secara langsung untuk meliput konflik tersebut. 

Sepanjang jalan melintasi Korea, ia melihat hal yang tak banyak diulik media. Kehancuran bangunan-bangunan warga, hingga minimnya pangan dan air. Kondisi warga yang terjebak dalam perang itu, tak banyak dikabarkan.

Hatinya terenyuh melihat hal itu. Bahkan tak jarang mendengar bahwa warga di sana untuk mandi satu tahun sekali pun tak bisa. Saking langkanya air.

Catatan Mochtar Lubis selama meliput kondisi Perang Korea itu menjadi salah satu rujukan dalam meliput konflik dengan prinsip jurnalisme damai.

Jika dibandingkan, sederhananya jurnalisme perang lebih menekankan pada kejadian di permukaan dan dampak pada pemerintahan. Sedangkan jurnalisme damai menekankan pada akar permasalahan dan masalah yang menimpa masyarakat sipil.

Mochtar Lubis berharap, media lebih memfokuskan pada pokok permasalahan dalam konflik. Bukan sekadar memberi update kondisi terbaru konflik. Oleh karena itu, penekanan pada dampak yang merugikan masyarakat sipil perlu lebih disorot dibanding siapa yang lebih unggul.

Nahasnya, hal itu kurang disoroti. Banyak media lebih suka menggambarkan adu kekuatan. Konflik antara Israel, Amerika, Iran misalnya. Media lebih banyak menyoroti siapa yang memulai, siapa yang menang, dan siapa yang lebih kuat.

Jika hal ini terus berlangsung, Perang Dunia 3 dapat benar-benar meletus dan media alih-alih sebagai pencegah, justru menjadi salah satu penyebabnya. (frd)