Oleh : Riris
Aku harap bangsa ini melahirkan bayi-bayi cacat yang bersahaja. Semoga
makin berlimpah jumlah bayi-bayi yang terlahir buta, tuli, bisu, atau cacat
kaki dan mentalnya,
Petang sudah menjelang. Senja yang hampir berpendar diserbu gelap kulihat
mampir terlebih dahulu ke dalam bola matamu. Menampakkan sekelebat cahaya
jingga keemasan yang teduh. Aku tahu, ada yang kau sembunyikan dibalik mata
itu. Pasti ada sesuatu yang telah membenamkan mata elangmu. Mata itu kini
berubah menjadi tatapan kosong. Tak ada sesuatu makna kutangkap di dalamnya.
Hanya ada senja!
Sesekali aku termenung, sekaligus juga bingung. Aku memang tak pandai
membaca simbol selain huruf-huruf dalam tulisan. Satu yang kutahu tentang
bahasa nonverbal, jika sewaktu-waktu kentongan yang digantung di poskamling
desa diketuk berturut-turut sampai jumlah tak terhingga, itu tandanya ada
ancaman dari desa seberang. Kata orang-orang, penduduk luar menyerang desa kami
dengan membawa alat-alat perang. Mereka bakal menyakiti siapa pun yang
berkeliaran di desa kami. Aku tidak tahu kenapa mesti desaku yang menjadi
sasaran. Ada yang pernah bilang, serangan itu adalah lanjutan perang para
bebuyutan kami yang dulu-dulu. Awalnya karena iri menginginkan kekayaan alam
yang melimpah di desa kami. Lama-lama masalah agama, ras, suku, semuanya
dibawa-bawa.
Itulah mengapa ada peraturan di
desaku yang mengharuskan siapa pun laki-laki wajib ikut berperang. Sejak masih
bayi, anak laki-laki dipisahkan dari ibunya, lalu dirawat dan diajari berperang
oleh bapaknya. Sementara aku dikecualikan dari kewajiban itu. Aku terlahir
dengan fisik yang berbeda dari orang kebanyakan. Kakiku yang bengkong, kurus
dan kecil, membuatku tidak leluasa untuk bergerak. Aku hanya jadi benalu jika
masuk dalam pasukan perang. Karena itulah aku bersama ibuku diungsikan di
tempat ini. Tempat yang mempertemukan aku denganmu.
***
“Selamanya kita terus terkungkung penjajahan jika kita hanya diam. Sekarang
lihatlah, teknologi-teknologi modern memperbudak bangsa kita. Jangan berpikir
negeri kita sudah merdeka lalu kita berleha-leha. Lihat, aset negara kita siapa
yang menguasai kalau bukan negara asing? Kita berpikir domestik saja, desa kita
ini sudah mulai gaya-gayaan sekarang. Anak muda maunya jadi buruh pabrik
di kota-kota. Pakaiannya rapi dan bersepatu. Tidak ada yang mau menengok padi
di sawah keluarganya. Gengsi katanya. Lah sekarang omongannya krisis pangan
larinya impor beras ke luar negeri. Memang sudah gila jaman ini,” aku
berkipas-kipas dengan selembaran kertas yang berisi materi presentasi. Aula di
balai desa belum dipasang kipas angin atau AC, dua jam memberi penyuluhan pada
anggota karang taruna di ruangan ini membuat peluhku bercucuran.
“Baik, siapa yang mau bertanya lagi?” aku menawarkan ruang diskusi yang
ketiga. Anggota karang taruna di desa kelahiranku ini memang sangat antusias
dengan acara yang digagas pak lurah. Kulihat hampir tiga perempat audiens
mengacungkan tangannya. Sosialisasi bertema sistem pertanian organik ini
ternyata menimbulkan tanda tanya besar dalam benak mereka. Padahal aku sempat
tidak percaya diri karena harus mengisi materi sambil duduk di atas kursi roda.
Ini pertama kalinya aku berdiri di depan pemuda-pemudi di desaku. Biasanya
aku menghadapi mahasiswa dari fakultas pertanian untuk berbicara seputar pertanian.
Tapi sekarang aku dipertemukan dengan anak-anak yang rata-rata pendidikannya
terputus di bangku SMP. Aku khawatir cara presentasiku dinilai membosankan
karena kebanyakan teori. Tapi sebenarnya ada yang membuatku lebih khawatir
selain hal itu. Aku melihatmu duduk di bangku audiens paling depan. Aku takut
jika kata-kata yang kuucapkan membuatmu kecewa.
Aku menunjuk salah seorang pemuda berkacamata. Dia kemudian berdiri dan
membenarkan posisi kaca matanya. “Terimakasih atas waktu yang diberikan kepada
saya untuk bertanya. Menurut bapak bagaimana dengan pemuda yang merantau ke
luar daerah? Bukankah pengalaman kita akan bertambah dengan cara itu?”
tanyanya. Sontak hampir semua sorot mata mengepung pemuda itu. Dia kelihatan
kikuk, cepat-cepat dia segera duduk kembali di kursinya.
“Bagus sekali pertanyaanmu mas, jadi begini, saya tidak melarang adik-adik
semua ini merantau ke luar daerah. Ke Surabaya, Bandung, Jakarta, bahkan ke
luar negeri. Tapi ingatlah, kalian mempunyai rumah untuk kembali. Kalian mempunyai
tanggungjawab untuk berbagi ilmu dengan saudara-saudari di rumah kalian, di
desa kalian ini. Kekayaan alam yang melimpah di desa kita ini jangan
ditelantarkan karena terus-terusan mengurusi pabrik di kota. Sayang kalau nggak
ada yang ngurus. Desa-desa seberang di jaman kanak-kanak saya saja
dulu rebutan ingin tinggal disini. Sampai perang bertahun-tahun dijabani. Tidak
ada anak-anak muda yang duduk santai seperti kalian sekarang. Semuanya ikut
perang, nggak ada yang diam-diam ngobrol santai sama keluarganya. Anak
lelaki dan ibunya dipisah, suami istri juga dipisah, tahu-tahu ada kabar duka
yang tak jelas asal-usulnya. Jangan sampai peristiwa itu terjadi pada kalian.
Jadilah kalian generasi yang mencintai budayamu sendiri,” jawabku sambil tak
mau berpaling dari tatapanmu. Gema tepuk tangan dari audiens tidak mengalihkan
pandanganku dari mata itu. Kau hendak menangis, aku tahu itu.
***
TOK... TOK... TOK.. TOK....
Suara kentongan memekik seluruh warga desa. Lamunanku dipangkas tepat saat
imajiku melihatmu menangis. Ternyata pipimu benar-benar dibasahi air mata. Kau
yang mengajariku baca-tulis, kau yang mengajakku bermain, kau juga yang
menemani kesendirianku selama perang, saat ini bersama aku dan anak-anak
perempuan masih perlu berdiam di tempat pengungsian ini. Kabar duka kematian
ibumu yang kau tinggal di rumah nyatanya tak mau berkompromi dengan niat baikmu
menjadi relawan.
Mungkin lebih baik semua orang terlahir cacat agar tak mampu berperang
sepertiku. Agar perang segera usai, agar bapak menjaga kembali rumah dan
keluarganya, agar gerbang-gerbang sekolah dibuka dan tak perlu rumah darurat
untuk belajar, dan agar orang baik sepertimu tidak menangisi kebaikannya. Aku
harap ada seorang terpelajar menghentikan perang ini. Aku hanya menitip harapan
pada mereka yang duduk di bangku pendidikan untuk membantu desa kami. Membantu
agar tanah tercinta kami tak lagi-lagi diserang hanya dikarenakan menginginkan
hasil alam di desa kami.
Langit pun menggelap, tidak kulihat ada rona kemerahan yang menghiasinya.
Senja telah berpulang, tapi sinar yang merangkul bola matamu tak juga
menghilang...