BAGIAN I: ROMANTISME PERS MAHASISWA
Dinamika
perkembangan pers selalu terkait dengan iklim dan situasi sosial politik suatu
negara. Di Indonesia eksistensi dan
peran pers mahasiswa juga mengalami pasang surut dari masa ke masa.
Eksistensi dan peran pers mahasiswa
di Indonesia
mulai muncul sejalan dengan tumbuhnya kesadaran tentang semangat kebangsaan,
para mahasiswa yang studi di Belanda mungkin bisa di bilang sebagai pelopornya.
Mereka berhasil menerbitkan majalah Hindia Poetra (1908). Di Indonesia pun juga
bermunculan berbagai macam media yang diterbitkan oleh para mahasiswa. Sampai
menjelang proklamasi kemerdekaan, pers mahasiswa bersama-sama dengan organ
pendobrak yang lain memegang peran yang penting
dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan anti kolonialisme.
Pada masa-masa awal kemerdekaan
sampai tahun 50-an pers mahasiswa mengalami masa surut. Tenaga pers
mahasiswa banyak yang terkuras untuk
angkat senjata menentang penjajahan. Kemudian pada tahun 1955-1959 pers
mahasiswa mulai menggeliat menunjukkan
peran dan eksistensinya. Pers mahasiswa mampu membangun opini di
masyarakat. Namun seiring dengan adanya
demokrasi terpimpin (1959-1965), pemerintahan Soekarno menerapkan kontrol yang
ketat teerhadap pers dengan bermacam aturan. Pers diwajibkan untuk berafiliasi
dengan partai politik, sehingga fungsi dan kedudukan pers direduksi menjadi
alat dan corong partai politik semata.
Pers mahasiswa kembali memainkan
peran yang penting pasca G30 S/ PKI tahun 1965. Pada masa itu (1966-1974) pers
mahasiswa mengalami masa kejayaan. Di berbagai kota muncul berbagai macam media yang di
terbitkan oleh mahasiswa. Di Jakarta dan Bandung
ada “Mahasiswa Indonesia”
dan harian “Kami”, Yogyakarta dengan “Gelora
Mahasiswa” dan masih banyak yang lain. Pers mahasiswa pada waktu itu mampu
memainkan peran yang dominan dalam aksi-aksi gerakan massa sehingga mampu menumbangkan orde lama. Menguatnya
pers mahasiswa tak lepas dari kader-kader PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang
melawan gerakan kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui LEKRA
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), dimana tokoh-tokoh seperti Gunawan Muhammad
(Mantan editor Tempo) tergabung dalam
MANIKEBU (Manifesto Kebudayaan)
Pergantian rezim tidak menyurutkan
aksi dan peran pers mahasiswa. Lewat tulisan-tulisannya pers mahasiswa mampu
memberikan semacam acuan dalam pembentukan ‘ideologi’ bagi orde baru. Bahkan
aktifis pers mahasiswa, sebut saja ‘Rahman Tolleng’ berhasil masuk ke dalam
‘lingkaran kekuasaan’ dengan menjadi anggota MPRS mewakili mahasiswa. Ini
diakibatkan kesamaan kepentingan antara mahasiswa dengan penguasa dan GOLKAR
(golongan Karya) atas nama modernisme. Namun, “kemesraan” pers mahasiswa dengan
pemerintah orde baru tidak berlangsung lama. Rezim orde baru dirasakan mulai
melenceng dari idealisme dan cita-cita semula. Pers mahasiswa mulai
‘mengobok-obok’ berbagai kebijakan pemerintah. Pemerintah pun tidak tinggal diam,
atas nama ‘stabilitas’ pemerintah melakukan tekanan dan kontrol yang ketat
kepada pers mahasiswa.
Puncak
pertentangan mahasiswa (dan pers mahasiswa) dengan pemerintah orde baru tejadi
pada tanggal 15 Januari 1974 atau lebih
di kenal dengan ‘MALARI’, banyak aktifis mahasiswa dan pers mahasiswa yang
ditangkap dan dipenjara (temasuk Rahman Tolleng). Banyak pers mahasiswa yang
dibredel dengan tuduhan provokator yang menyulut terjadinya demonstrasi massa. Pasca MALARI
muncul berbagai media kampus yang baru, namum pemerintah terus melakukan
tekanan dan kontrol ketat. Keluarnya NKK/BKK 1978 membuat pers mahasiswa terpuruk, bahkan
perannya pun semakin memudar.
BAGIAN II: HEGEMONI PEMERINTAH
Rezim orde baru dengan Soeharto
sebagai ‘Jendral Besarnya’ berusaha menekan dan mengontrol eksistensi dan peran
pers. Pemerintah orde baru membuat berbagai macam aturan yang membelenggu
kebebasan pers. Keharusan memiliki SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)
bagi setiap media massa, membuat pers umum tak berkutik. Keberanian dan sikap
kritis media massa
selalu berlawanan (diancam) dengan pembredelan (di cabut SIUPP-nya). Para
pegiat pers (wartawan) hanya di perbolehkan memiliki satu organisasi
kewartawanan, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang sekaligus berfungsi
sebagai kontrol pemerintah untuk mengkooptasi profesi wartawan secara
strukturaL. Sikap kritis wartawan terhadap pemerintah dianggap melawan
pemerintah. Wartawan yang kritis selalu diancam dan diintimidasi, bahkan
ancaman fisik sering terjadi, ancaman penjara dan pembunuhan terjadi (ingat
kasus pembunuhanUdin, wartawan Bernas).
Pers mahasiswa tak luput dari
tindakan represi pemerintah. Keluarnya NKK/BKK, penyeragaman kurikulum (sistem
SKS), absensi 75%, ancaman drop out (DO) dan aturan perkuliahan yang ketat,
semakin mempersempit ruang gerak aktifis pers mahasiswa. Pers mahasiswa
diarahkan untuk hanya berkutat dengan persoalan kampus.
Cengkeraman kekuasan negara terhadap
pers, membuat pers tak berdaya, pers hanya di jadikan corong propaganda
pemerintah dengan jargon-jargon pembangunannya. Di tengah kuatnya hegemoni
pemerintah, banyak bermunculan pers alternatif. Pers ini di sebut pers
alternatif karena sifatnya yang unik, nyentrik, kritis, menyimpang, jujur, dan
berani. Pers alternatif biasanya diterbitkan oleh kalangan intelektual,
mahasiswa, seniman, dosen dan orang-orang yang peduli masa depan bangsanya.
Pers ini terbit karena kebutuhan akan informasi yang benar.
Hegemoni pemerintah yang
mencengkeram seluruh elemen bangsa, termasuk pers, mengakibatkan pincangnya
kehidupan bernegara, pemerintah (eksekutif) begitu dominan dalam menentukan
segala kebijakan, legislatif (DPR) tak berdaya, DPR hanya di jadikan lembaga
stempel kebijakan pemerintah. Lembaga Yudikatif (peradilan) mengalami nasib
serupa, hukum hanya berpihak pada penguasa. Pers yang seharusnya menjadi media
penyampai berita dan informasi yang benar, jujur dan independen terkooptasi
oleh kepentingan pemerintah orde baru. Bahkan penentuan berita yang layak muat
atau informasi yang diberikan kepada publik harus melewati sensor dari
Departemen Penerangan.
BAGIAN III : HEGEMONI
PERS
Hegemoni pemerintah terhadap pers
berlangsung selama pemerintahan orde baru. Namun menjelang ‘ detik-detik’ akhir
pemerintahan orde baru, pers mulai menunjukkan peran dan eksistensinya. Pers
dengan opini-opininya turut mendukung gerakan mahasiswa yang akhirnya dapat
‘melengserkan’ Soeharto. Juga pers turut menunjang upaya-upaya demokratisasi,
pemberantasan KKN pengungkapan penyalahgunaan dan penyelewengan aparat negara
(meski tidak bisa dibilang berhasil ).
Pada era Habibie, pemerintah mulai
membuka keran kebebasan. Dalam dunia pers, muncul istilah ‘kebebasan pers’.
Kebebasan pers ini timbul akibat ‘di obralnya’ SIUPP. Selama setahun era
Habibie (Mei 1998-Juli 1999), pemerintah menerbitkan 1427 SIUPP baru (406
majalah, 349 koran, 661 tabloid, 11 buletin) tapi, hanya kurang lebih 400 saja
yang terwujud.
‘Booming’ kelahiran media ini juga
memunculkan sisi buram. Euphoria kebebasan pers sering disalahgunakan, bahkan
muncul media-media yang bersifat pornografi, provokasi, dan partisan. Kebebasan
pers menjadi ‘keblabasan’ pers. Banyak media yang menghalalkan segala cara
untuk menarik pembacanya. Berita-berita yang ditampilkan sering bersifat
bombastis, tendendius dan bersifat kabar yang belum terkonfirmasi (kabar
burung).
Pers semakin menunjukkan
kekuasaannya, hegemoni pers ini memunculkan kecenderungan adanya “Trial by
Press” (penghakiman oleh pers). Misalnya kasus Gus Dur (Presiden Abdurrahman
Wahid) dalam Buloggate dan Brunaigate, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), yang
dikuasai oleh kepentingan dan tokoh-tokoh reformis gadungan yang sebenarnya
ialah status quo melalui pers yang
dikuasainya telah menjatuhkan vonis (dalam bentuk opini) kepada Gus dur bahwa
dia telah menyalahgunakan kekuasaannya, hingga akhirnya proses lahirnya Memo I
dan Memo II juga lebih diwarnai kepentingan politis, keputusan pemberian
Memorandum diambil sebelum kasus itu dibuktikan di pengadilan (walaupun
pemberian memorandum merupakan hak DPR yang harus diterima oleh presiden).
Adanya kecenderungan “Trial by
Press” ini sesungguhnya berakibat tidak baik bagi kehidupan bernegara ini. Pers
telah mengambil peran yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Pers yang
seharusnya turut berperan dalam upaya pencerdasan bangsa, justru melakukan
‘pembodohan’ kepada masyarakat.
Pada pemerintahan Abdurrahman Wahid
atau lebih dikenal “Gus Dur”. Gus Dur di warisi hutang yang menggunung,
pemerintahan yang bobrok, keadaan keamanan yang kacau, ancaman disintegrasi
bangsa dan aparatur negara bermental orde baru. Gus Dur mengemban tugas yang
berat. Namun dalam pelaksanaan pemerintahannya, Gus Dur menghadapi rongrongan
dari lawan politiknya (baca: Golkar dan kawan-kawan), pemerintahan Gus Dur yang
dibentuk berdasarkan kompromi politik ternyata sangat rentan, pers yang
seharusnya menjadi alat kontrol
pemerintahan, justru menjadi corong partai politik, tulisan-tulisan di media
sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah pers universal, seperti jujur,
berimbang (cover both side),
independen dan lain sebagainya.
Era reformasi, dimana pers ingin
menancapkan hegemoninya
menggantikan hegemoni pemerintah
ternyata berhasil dengan gemilang. Namun hegemoni pers ini ternyata juga
menimbulkan masalah baru bagi pemerintahan Gus Dur, kepemilikan (saham atau
modal) pers secara nasional masih di kuasai oleh ‘status quo’ (baca: orde baru
dan kroni-kroninya). Pers umum cenderung hanya memuat berita-berita yang sesuai
dengan kepentingan kelompoknya, tak jarang pemberitaannya hanya menguntungkan
‘status quo’, kalau pun ada yang netral itu pun karena sifat opportunisnya.
Dihapusnya departemen penerangan, di
satu sisi memang baik, tapi hal ini juga menyebabkan hilangnya kontrol
pemerintah terhadap media massa.
Nampaknya di perlukan suatu lembaga kontrol yang khusus mengawasi pers, lembaga
ini harus terbebas dari unsur-unsur pemerintahan, apalagi partisan. Lembaga
kontrol ini harus diisi oleh orang-orang yang profesional yang memang
benar-benar di percaya kemampuannya.
BAGIAN IV : PERS MAHASISWA, PERS ALTERNATIF
Di tengah dominannya pers umum
dewasa ini, persma harus melakukan reposisi kembali peran dan fungsinya.
Masyarakat yang semakin pandai dan kritis dalam memilih berita mana yang jujur
dan tepat untuk dirinya, mengharuskan pers mahasiwa menemukan bentuk yang
sesuai.
Pers alternatif yang pernah
bermunculan era pemerintahan Soeharto, dengan sifat-sifatnya yang khas,
nampaknya bisa dijadikan acuan dalam diri pers mahasiswa. Di era pemerintahan
Soeharto, pers alternatif terkenal dan ditakuti pemerintah berkat keberanian dan
sifat kritisnya kepada pemerintah, selain juga sifatnya yang jujur
mengungkapkan apa adanya.
Idealisme pers mahasiswa pada
kebenaran dan keadilan harus selalu dipegang, keberpihakan pers mahasiswa harus
pada demokratisasi dan keadilan dimana implementasi praksisnya keberpihakan
pada kaum yang tertindas. Pers mahasiswa jika ingin disebut pers alternatif
tentu harus mengikuti prinsip-prinsip pers alternatif, yaitu tidak menghakimi,
reportase yang berimbang (cover both side),memberitakan
secara kritis, jujur, benar, memberikan solusi alternatif yang kongkrit dengan
bahasa yang lugas, menggigit tapi santun, juga indepensi pers mahasiwa yang
selalu terjaga.
Unsur lain yang juga penting dalam
pembentukan pers alternatif adalah pemilihan angle berita yang di angkat, pers
mahasiswa harus mengangkat angle yang tidak ditemukan dalam pers umum walaupun
tema yang diangkat bisa jadi sama, angle-angle yang mengangkat ketertindasan
rakyat, pencarian solusi alternatif dari masalah-masalah yang di hadapi
masyarakat (yang kenyataanya sekarang jarang disentuh pers umum) menjadi ladang
yang subur dalam pemberitaan pers alternatif. Karena justru pers umum sudah
tidak mampu menyandang tugas dan tanggung jawabnya secara proporsional,
berita-berita yang ditulis dalam pers umum hanya menguntungkan kelompok ‘status
quo’ misal : hiruk pikuk situasi politik nasional, pernyataan-pernyataan tokoh
politik yang saling mencaci, menghujat tanpa bukti yang jelas. Intinya
berita-berita yang di angkat oleh pers alternatif harus bersifat ‘pencerdasan’
pada masyarakat, bukannya pembodohan, karena pers alternatif harus mengambil
tugas dan tanggung jawab pers kepada masyarakat. Pers mahasiswa juga harus
berperan dalam menggelindingkan proses
demokratisasi dengan memberikan empati yang besar kepada masyarakat.
Namun bukan tanpa kendala bagi pers
mahaisswa untuk mewujudkan pers alternatif. Kecenderungan pers mahasiswa yang
hanya berkutat dengan persoalan-persoalan sendiri, menjadikan pers mahasiswa
pers yang ‘oleh-dari-untuk’ mahasiswa, jadinya adalah ‘onani’ pers mahasiswa.
Tentu hal ini juga perlu dipikirkan pemecahannya. Di samping terus menyuarakan
hati nuraninya, pers mahasiswa juga harus ‘berbenah’ ke dalam, artinya
kelemahan-kelemahan pers mahasiswa selama ini,
seperti kontinuitas terbit
yang sering tidak jalan, ketergantungan
pada birokrat kampus (masalah dana), terbatasnya waktu bagi para aktifis pers
mahasiswa (4-6 semester) untuk berkecimpung dalam pers mahasiswa, harus segera
dicarikan pemecahannya. Pers mahasiswa mendatang harus bersikap realistik,
determinasi, konsistensi, juga harus selalu diusahakan peningkatan kualitas
para SDM-nya,dan yang paling penting adalah regenerasi yang teratur.
Pers mahasiswa tidak hanya sekedar
menampilkan berita, pers mahasiswa juga harus mampu mempertanggungjawabkan isi
beritanya, pers mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Perlakuan pers umum yang sering tidak adil harus dihindari. Tanggung jawab
moral ini menjadi kunci utama para insan pers mahasiswa dalam penulisan berita.
BAGIAN V : PERS MAHASISWA DI TENGAH DINAMIKA MASYARAKAT LOKAL (BALI)
Pers mahasiswa dimasa mendatang akan
menghadapi tantangan-tantangan baru yang semakin kompleks, persoalan bangsa
yang makin rumit, gagasan otonomi daerah yang ditafsirkan berbeda-beda di tiap
daerah. Mengharuskan pers mahasiswa memahami persoalan-persoalan lokal,
misalnya persoalan lokal Bali, dimana penulis
tinggal. Dinamika masyarakat Bali harus dipahami oleh pers mahasiswa di
tingkatan lokal Bali. Pers mahasiswa Bali
harus mampu melihat peta sosial masyarakat Bali
yang cukup rawan konflik antar kelompok dalam masyarakat.
Kondisi sosial dan budaya masyarakat
Bali banyak dibentuk oleh pemerintahan
kolonial Belanda yang bertujuan untuk memutar balikkan fakta sosial budaya
masyarakat lokal, agar terbentuk suatu kultur baru yang mendukung kolonialisme.
Usaha ini, dengan menanamkan stigma dan stereotif versi Belanda seperti: Adanya
laki-laki Bali yang berkuasa terhadap
istrinya, sistem patronase, budaya ‘koh ngomong’ (malas bicara) dan ‘mula keto’
(memang sudah begitu kok).
Agama Hindu India yang mengenal
kasta, yaitu Brahmana, Satria, Waisya dan Sudra, tidak dikenal dalam tatanan
masyarakat tradisional Bali (Contohnya masyrakat asli Bali/
Bali Aga yang tidak mengenal kasta). Namun penjajah Belanda dengan liciknya
mengenalkan sistem kasta tersebut agar dapat mengkooptasi struktrur sosial dan
masyarakat Bali. Pada setiap kepentingan,
Pemerintah kolonial Belanda hanya melibatkan kasta-kasta yang bangsawan dan
mengabaikan masyarakat bawah, rakyat bawah dibuat tunduk dengan aturan-aturan
Belanda yang telah di setujui oleh para Bangsawan, Belanda betul-betul
memfaatkan sifat patronase masyarakat Bali
Tragisnya, justru masyarakat Bali
termakan stigma dan stereotif yang dibentuk oleh Belanda, masyarakat Bali berusaha
untuk membentuk dirinya sesuai dengan stereotif
yang ada, setiap laki-laki berusaha menjadikan dirinya untuk menguasai
istrinya, dan setiap individu berusaha untuk apatis tak peduli dengan keputusan
bangsawan dan pemerintah (istilah ‘koh ngomong’ dan ‘mula keto’ begitu
mengental). Budaya ‘koh ngomong’ menjadi manifestasi penghormatan kepada kasta
yang lebih tinggi, penghormatan yang secara berlebih-lebihan menjadikan
masyarakat Bali kasta rendah untuk
menutup-nutupi kesalahan yang diperbuat oleh para bangsawan.. Mereka malas
untuk mengomentari apalagi mengkritisi perbuatan bangsawan, yang sebenarnya
menjadi kepanjangan tangan dari kolonial Belanda. Begitu pula dengan budaya
‘mula keto’, masyarakat menganggap setiap perbuatan bangsawan sebagai hal yang
wajar dan memang seharusnya terjadi.
Di masa orde baru, cara pandang pada
budaya ‘koh ngomong’ dan ‘mula keto’ ini digeser untuk kepentingan pemerintah
orde baru. Posisi bangsawan digantikan oleh pemerintah pusat maupun daerah
(bupati, gubernur, presiden dan sebagainya) dimana GOLKAR juga menempatkan para
pemimpin adat dan agama untuk memegang kekuasaan formal. Masyarakat Bali yang
didoktrin untuk menghormati dan menaati pemimpin dan orang-orang yang kastanya
lebih tinggi, tidak berani untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah
walaupun sebenarnya mencekik mereka.
Tentu saja budaya ini sangat tidak
mendukung upaya pencerdasan bangsa. Kebebasan pers dimana terlepas dari
kepentingan politis dan ekonomi harus mampu mengembang tugas dan tanggung jawab
sosial untuk mencerdaskan masyarakat lokal Bali.
Namun sayangnya, kebebasan pers di bali bersifat semu (pseudo independent), pers umum Bali
masih dikuasai oleh para pemilik dan pemodal. Bagaimana mereka justru
berkolabortasi dengan para penguasa untuk mendukung program pemerintah (wacana
dari bagaimana pers umum di Bali tidak berani
mengangkat permasalahan yang berakibat pada menurunnya kepercayaan kepada
pemkot, pemkab dan DPRD, seperti kasus proyek Instalasi Pengolahan Air
Limbah/IPAL Terpusat, yang justru dimuat
oleh majalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana PMM Maestro). Upaya pencerdasan yang
dilakukan pers umum di Bali menjadi bias,
karena isu -isu nasional yang diberikan pun bersifat provokatif, sensasional
dan tidak mendidik. Permasalahan –permasalahan atau konflik yang ada di Bali hanya diungkap tanpa ada manajemen konflik yang
dikemas. Contoh konkrit, komentar AM Saefuddin, Kegagalan Megawati menjadi
presiden, kasus pemilihan Bupati di Negara, dan sebagainya diungkap begitu saja tanpa ada upaya
manajemen konflik, tentu saja masyarakat bergejolak dan melahirkan kerusuhan.
Lebih mngenaskan, pers umum di Bali
banyak mengangkat permasalahan budaya dan adat hanya sebagai isu yang bisa
menaikkan oplah, dimana pada kerangka analisa sosial justru membentuk
masyarakat Bali yang eksklusif dalam pandangan adat, budaya dan agama Hindu
yang dianut. Tentu ini berakibat pada pertentangan dengan warga pendatang,
kasus pengusiran pedagang acung di Sanur, pengusiran pedagang kaki lima di
Denpasar menjadi bukti konkret keberadaan pers umum di Bali yang memperburuk
situasi, pers umum di Bali sering mengangkat tema-tema tentang SARA dan etnis
tanpa memberikan suatu pembelajaran kepada masyarakat, mereka hanya mengangkat
‘booming’ berita saja.
Pers mahasiswa sebagai pers yang
independen dari kepentingan politis dan ekonomi diharapkan menjawab persoalan
dan mengambil alih peran dan tanggung jawab sosial pers yang tidak dapat
diemban oleh pers umum. Sebagai bagian dari gerakan kultural untuk membongkar
semua stereotif masyarakat Bali yang dibentuk
oleh kolonial Belanda, pers mahasiswa harus menjalin lingkar dengan kelompok
studi maupun ekstra parlementer. Pembongkaran budaya paternalistik, ‘koh
ngomong’ dan ‘mula keto’ menjadi agenda yang penting bagi pers mahasiswa untuk
mengimplementasikan keberpihakan pada demokratisasi dan keadilan dalam tataran
praksis. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan pers mahasiswa yang betul-betul
siap mengemban amanat tersebut.