Tanggapan Dosen UTM terhadap Tarif Trump: Ancaman Sekaligus Peluang Bagi Indonesia

Tanggapan Dosen UTM terhadap Tarif Trump: Ancaman Sekaligus Peluang Bagi Indonesia

LPM Spirit - Mahasiswa
Jumat, 25 Juli 2025
Foto: CNBC Indonesia

WKUTM – Donald Trump selaku Presiden Amerika Serikat, mulai memberlakukan tarif terhadap produk impor dari negara lain tiga bulan lalu (7/4/2025). Adapun tarif tersebut dikenal dengan sebutan tarif Trump. Sebelumnya Indonesia dikenai tarif sebesar 32%. Namun, setelah melakukan proses negosiasi, tarif tersebut turun menjadi 19%, Selasa (16/7/2025).

Meski angka ini mengalami penurunan, sejumlah dosen Universitas Tunojoyo Madura (UTM) menilai bahwa kebijakan tersebut tetap membawa dampak negatif terhadap perekonomian nasional, khususnya dalam neraca perdagangan, nilai tukar rupiah, dan daya saing pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Ris Yuwono Yudo Nugroho selaku dosen Program Studi (Prodi) Ekonomi Pembangunan (EP) UTM, menanggapi bahwa angka yang diperoleh Indonesia saat ini, 19% merupakan hasil negosiasi yang dilakukan pemerintah dengan Trump.

Trump menurunkan tarif tidak secara cuma-cuma, terdapat sejumlah persyaratan yang diberikan untuk Indonesia, yaitu menghapus Tarif dan hambatan non-tarif terhadap produk AS, dan komitmen pembelian produk AS: Elektronik senilai 15 juta USD atau senilai Rp244 Triliun, komoditas pertanian senilai 4,5 juta USD atau senilai Rp73 Triliun dan pesawat Boeing sebanyak 50 unit.

”Kalau dari awalnya 32% turun ke 19%, memang cukup melegakan ya. Tapi pada dasarnya Indonesia tetap dikenai tarif, dengan beberapa syarat yang mereka berikan kepada kita,” ujar dosen EP tersebut.

Dosen yang kerap disapa Ris tersebut, menjelaskan dampak yang akan dialami Indonesia terhadap adanya tarif ini, dari sisi ekonomi akan berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang disebut depresiasi. Dalam hal ini mengacu pada penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain.

”Kebutuhan terhadap dolar meningkat karena biaya ekspor yang membengkak, sehingga rupiah tertekan dan terdepresiasi. Ini juga akan menggerus cadangan devisa negara karena permintaan dolar yang meningkat,” jelasnya.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan Tarif Trump bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga bagian dari strategi geopolitik untuk mengembalikan dominasi dagang AS di tengah persaingannya dengan Tiongkok.

”Bisa saja ini retorika politik, di balik itu (red: kebijakan Tarif Trump) AS mengatur strategi untuk membuat hubungan perdagangan dunia baru, ingin mempertahankan posisinya sebagai negara adidaya, setelah adanya perang dagang dengan Tiongkok,” ucapnya.

Selain itu, Ris juga memaparkan tujuan Donald Trump membuat kebijakan tarif adalah untuk menyeimbangkan neraca perdagangannya. Selama ini AS lebih banyak impor. Maka dari itu, dengan menaikkan tarif, mereka ingin menurunkan impor dan meningkatkan ekspor.

”Ini bagian dari strategi AS untuk mempertahankan posisi hegemoni dalam perdagangan global,” paparnya.

Meski demikian, Ris menilai ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia di tengah tekanan tarif ini, yakni dengan melakukan diversifikasi tujuan ekspor, selain negara AS. Indonesia juga bisa menggenjot ekspor ke negara yang tergabung dalam BRICS. Adapun BRICS merupakan kelompok negara-negara yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Euthopia, Iran, Uni Emirat Arab dan Indonesia. Tujuannya, untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan geopolitik di antara negara-negara anggotanya. Indonesia sendiri sudah menjadi bagian dari BRICS sejak 6 Januari 2025.

“Indonesia harus membuka mata bahwa ekspor tidak harus ke Amerika saja. Kita bisa perluas pasar ke negara BRICS , seperti Brasil, Rusia, India, China, dan negara Timur Tengah,” ujarnya.

Tanggapan lain muncul dari Merlia Indah Prastiwi selaku dosen Sosiologi Pembangunan, menurutnya kebijakan bilateral Trump ini cukup disayangkan. Melihat latar belakang Trump yang seorang pebisnis tentu ia sudah mempertimbangkan untung dan rugi.

”Tidak ada pebisnis yang ingin rugi bukan? Begitu juga dengan seorang Trump,” ujarnya.

Merlia mengungkapkan bahwa, adanya penurunan tarif menjadi 19% ini, sekilas memberikan angin segar untuk ekspor Indonesia. Namun, AS mengajukan syarat pembelian sejumlah produk mereka sebagai imbal balik.

”Namun, tentu saja seorang Trump tidak akan mau bermain-main dengan uang. Dia tahu akan memancing ikan besar dengan kail yang bagus. Hal ini yang membuat kita sebagai masyarakat tentunya ngeri dengan kebijakan semacam ini. Kebijakan yang seolah-olah memberi angin segar untuk ekspor kita, namun mencekik kita sebagai bangsa,” ungkapnya.

Ia menambahkan dengan adanya negosiasi yang dilakukan pemerintah kepada AS harusnya menguntungkan kedua belah pihak, dengan keuntungan yang sama. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

”Masyarakat makin miskin, dan terjajah. Investasi juga semakin melemah,” imbuhnya.

Merlia berujar sejumlah masyarakat Indonesia mengecam negosiasi yang dilakukan Presiden Prabowo seolah-olah merugikan negara, dan seakan-akan menjual sumber daya Indonesia. Ia beranggapan bahwa sebenarnya dengan konsep Asta Cita Prabowo, alih-alih menyejahterakan masyarakat, malah bisa merugi.

Menurutnya, politik luar negeri Indonesia harus dipertegas, dalam artian menghindari dapat keuntungan sedikit namun dalam jangka waktu lama aset negara tergadaikan.

”Kita bisa saja menjadi negara ketiga, tapi jangan mau dibodohin terus menerus. Ending-nya apa yang dikhawatirkan oleh masyarakat akan terjawab,” tuturnya.

Akhir kata, Merlia memaparkan solusi yang dapat dilakukan oleh Indonesia terhadap adanya kebijakan Trump ini, yaitu menjalin kerja sama dengan negara lain, seperti Tiongkok, Jepang, Singapura dan lainnya. Meskipun Indonesia masuk negara dunia ketiga, pemerintah seharusnya tidak asal meng-iyakan keputusan negara adidaya.

”Kita tetep harus punya bargaining power. Naikkan win-win solution. Kalaupun tidak dengan Amerika, bisa dengan negara lain. Tidak harus Amerika yang jelas-jelas akan menghabisi aset kita dalam jangka panjang,” pungkasnya. (sha/frd)