WKUTM — Regenerasi petani menjadi salah satu tantangan serius bagi keberlanjutan sektor pertanian nasional saat ini. Di tengah laju urbanisasi, alih fungsi lahan, dan menurunnya minat generasi muda terhadap profesi petani, sektor pertanian juga menghadapi risiko kehilangan penerusnya.
Situasi ini pun menjadi sorotan kalangan akademisi Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Dosen dan mahasiswa dari berbagai program studi pertanian menyampaikan kekhawatiran sekaligus menawarkan solusi terkait krisis regenerasi petani muda, mulai dari persoalan struktural seperti minimnya insentif dan keterbatasan lahan, hingga perlunya pendekatan modern dalam pengelolaan pertanian.
Dosen Agribisnis UTM, Mokh. Rum, menyoroti penurunan minat generasi muda terhadap sektor pertanian sebagai permasalahan struktural yang harus diselesaikan dari akar permasalahan. Menurutnya, minimnya insentif dan semakin menyusutnya luas lahan menjadi faktor utama yang menghambat regenerasi petani.
”Kalau pertanian bisa menjanjikan dan memberikan pendapatan yang baik, maka petani sebetulnya tidak beranjak dari sisi pertanian. Tapi kenyataannya, mencari buruh tani sulit, sementara anak-anak muda sekarang banyak yang tertarik untuk berkerja di sektor non-pertanian,” ujar Rum saat ditemui secara langsung (16/5).
Meski demikian, ia masih melihat adanya harapan jika pertanian dikelola secara modern. Konsep smart farming dan pendekatan agroindustri diyakini mampu menarik kembali minat generasi muda untuk kembali ke pertanian, meski dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.
”Kalau dulu pertanian identik dengan mencangkul, sekarang ada teknologi yang bisa dikendalikan lewat ponsel,” tegasnya.
Optimisme serupa juga muncul dari kalangan mahasiswa pertanian yang melihat masa depan sektor ini bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang.
Dian Ayu Lestari, mahasiswi Program Studi (Prodi) Teknologi Industri Pertanian (TIP), mengaku bahwa latar belakang keluarganya sebagai petani menjadi alasan utama ia ingin tetap terlibat di sektor pertanian.
”Memang keluargaku dari kalangan petani. Pasti nanti turunnya ke aku juga, jadi mau nggak mau harus melanjutkan lahan warisan keluarga,” jelas mahasiswi angkatan 2021 tersebut (15/5).
Lebih lanjut, Melihat kondisi lahan di daerah asalnya, Dian berencana mengadakan penyuluhan agar masyarakat tidak hanya mencakup komoditas yang itu-itu saja, seperti padi dan tembakau.
”Pengen bikin semacam penyuluhan di daerahku, biar warga tahu kalau bukan hanya padi dan tembakau yang bisa memberi nilai ekonomi,” imbuh mahasiswa asal Sampang tersebut.
Berbeda dengan Dian, Femi Rizky Tia Andini, mahasiswi Prodi Agribisnis, justru mengenal dunia pertanian dari hobi iseng saat pandemi Covid-19. Meski sering terlibat aktif dalam mendampingi petani di kegiatan lapangan, ia secara terbuka mengaku tidak berencana menjadi petani setelah lulus.
”Kalau untuk jadi petani setelah lulus sepertinya nggak deh. Karena aku sendiri keterbatasan modal dan lahan. Andaikan keluargaku dari kalangan petani, kemungkinan minatku besar buat jadi petani,” tulisnya via WhatsApp (16/5).
Meski begitu, hal tersebut tidak membuatnya lepas tangan dari persoalan pertanian. Ia tetap ingin berkontribusi dengan caranya sendiri, terutama melalui pendekatan edukatif dan pendampingan.
”Kebetulan di Prodiku, kebanyakan kuliahnya turun lapang langsung ke petani. Jadi, kita dilatih untuk banyak berinteraksi sama petani. Mulai dari apa yang mereka butuhkan, dankeluh kesahnya,” jelasnya mahasiswi asal Pamekasan tersebut.
Sementara itu, Abd. Rahman, mahasiswa Prodi Agroteknologi, memandang regenerasi petani sebagai tanggung jawab moral. Ia tumbuh di lingkungan petani yang sering mengalami kerugian akibat gagal panen, dan hal itulah yang memotivasinya kuliah di jurusan pertanian, dengan harapan bisa memperbaiki sistem pertanian di desanya.
”Isu-isu tentang pertanian yang dinilai tidak menguntungkan menjadi alasan saya memilih jurusan ini. Saya berpikir, jika tidak ada yang memperbaiki, permasalahan ini tidak akan selesai,” tuturnya kepada Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa (LPM SM) (16/5).
Ia juga menyadari bahwa perlawanan terhadap regenerasi petani bukan hanya persoalan ekonomi atau lahan, melainkan juga pengetahuan.
“Kesadaran masyarakat perlu diubah terlebih dahulu. Contohnya, penggunaan pupuk kimia dan praktik pertanian yang tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang. Padahal hal ini cukup berbahaya bagi petani,” tegasnya.
Adapun Femi berharap keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia bisa lebih diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Ia menyoroti masalah ketergantungan pada impor dan rendahnya kesejahteraan petani di daerahnya.
”Semoga ke depannya intensitas impor bahan pokok bisa menurun. Kalau perlu nggak usah impor, dan yang paling penting juga, semoga pemerintah lebih memerhatikan lagi kesejahteraan petani, karena sejauh penilaianku terutama di Bangkalan dan Pamekasan, kesejahteraan petaninya masih kurang,” harapnya. (stv/wn)