Setiap 21 April, kebaya selalu menjadi simbolik. Namun, apakah itu yang sebenarnya Kartini perjuangkan?
Kartini bukan hanya sekedar ikon fesyen. Ia adalah pemikir yang resah melihat kaumnya dikungkung adat, ditahan dalam sunyi, dan dijauhkan dari ilmu. Melalui surat-suratnya, Kartini berusaha menyuarakan keresahannya. Dia menentang struktur patriarki yang terjadi kala itu. Namun kini yang diwarisi justru citra kebaya, bukan gagasan revolusionernya. Seolah perlawanan cukup dirayakan dengan kain dan sanggul, tanpa refleksi dan aksi.
Lantas, dari mana asal usul kebiasaan ini muncul?
Keterkaitan kebaya dengan Hari Kartini sendiri mulai menguat pada era Orde Baru. Pemerintah saat itu menekankan simbol-simbol “perempuan ideal” versi negara: anggun, patuh, dan berbusana tradisional. Kartini seolah dipoles sebagai ibu rumah tangga yang manis, bukan pejuang emansipasi yang radikal. Maka kebaya pun dipopulerkan dalam peringatan Hari Kartini di sekolah dan instansi. Menggeser makna dari perjuangan Kartini itu sendiri.
Hari Kartini seharusnya menjadi momentum kritik: sudah seberapa jauh kita mewujudkan dunia yang lebih adil bagi perempuan? Sudahkah semangat Kartini hidup di ruang-ruang sekolah, universitas, kantor, dan parlemen? Atau justru ia dikubur pelan-pelan di balik kosmetika peringatan yang dangkal?
Merayakan Kartini bukan berarti menolak kebaya, tetapi menolak menjadikan kebaya sebagai satu-satunya simbol. Karena yang seharusnya kita warisi bukan bajunya, melainkan nyalinya. (stv)