Esai: Revolusi Industri di Depan Mata! Kita Siap Gak, Nih?

Esai: Revolusi Industri di Depan Mata! Kita Siap Gak, Nih?

LPM Spirit - Mahasiswa
Senin, 28 April 2025

Mungkin euforia film animasi Jumbo sudah tidak semeledak minggu-minggu lalu, saat masih hangat-hangatnya animasi ini diputar di bioskop seluruh Indonesia. Kini kebanyakan orang Indonesia sudah mulai membicarakan film garapan Joko Anwar yang berjudul "Pengepungan di Bukit Duri."

Walau begitu, masih belum terlambat rasanya ketika saya ingin membahas tentang film Jumbo ini.

Tentu, kita patut berbangga diri. Karena untuk pertama kalinya, dunia film animasi Indonesia mendapatkan atensi dan dukungan sebesar ini. Bahkan, sampai-sampai Mas Wapres Gibran mengajak anak-anak yatim untuk nobar di bioskop. Sungguh mulia Mas Wapres kita, siapa coba yang tak terharu dengan kebaikannya?

Tetapi, di sini saya hadir bukan untuk menjadi influencer yang sedang membenarkan atau nyinyirin tindakan beliau. Saya hanya merasa kurang pas saja.

Mas Gibran mungkin saat melakukan tindakan populis semacam itu ingin mengajak masyarakat untuk menonton film animasi terbaik karya anak bangsa, dan untuk tahap itu, saya sepakat!

Namun yang menjadi ganjalan di hati saya, ketika saya ingat dengan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah kita terhadap dunia animasi Indonesia, Saya menjadi gagal respect!

Hal ini dikarenakan saat sosialisasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), alih-alih Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) memberdayakan animator Indonesia, mereka malah memakai Artificial Intelegent (AI). Kalau saya menjadi animator pasti sedih, sih, hiks.

Bayangkan, kita sudah susah payah belajar dan merintis karier sebagai animator, dengan tujuan agar suatu saat film animasi Indonesia bisa bersaing dengan Animonsta Studio yang memproduksi Boboiboy, serial Upin&Ipin, atau bahkan sekelas Disney dan Pixar. Di tengah prosesnya, bukannya kita didukung, pemerintah malah lebih memilih memakai jasa AI yang hasilnya jelek! Mulai dari bug jarinya ada enam, hingga pergerakan yang tidak konsisten turut mewarnai animasi produksi MBG tersebut.

Mungkin ada yang bakalan bilang, "Lah tapi kan itu Komdigi bang, bukan mas Wapresnya!"

Hei, kutu sayur! Anda pikir Wakil Presiden kita itu tidak punya kuasa sampai-sampai tidak bisa menegur menterinya, jika memang Mas Wapres sebenarnya tidak setuju dengan program itu? Atau anda berpikir pihak pusat (Presiden dan Wakil Presiden) itu terjadi miss komunikasi? Nampaknya, pikiran anda jauh lebih buruk daripada saya!

Tentu saja kementerian tidak mungkin bergerak tanpa adanya restu dari Presiden atau Wakilnya! Oleh karenanya, menurut saya yang bisa dilakukan pemerintah adalah tidak perlu sampai melakukan tindakan populis simbolik seperti itu. Hal ini cukup dilakukan influencer Instagram atau TikTok saja, seperti pada Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Capres dan Cawapres) kemarin.

Pemerintah, menurut saya cukup membuat regulasi yang akan mendukung animator Indonesia yang kini sedang berkembang, dan juga memberikan regulasi yang dapat menyelamatkan animator Indonesia dari gempuran pesatnya AI, sehingga nasib seperti studio Ghibli yang mencak-mencak akibat style-nya ditiru.

Misalkan, saat ini pemerintah bisa mulai memikirkan tentang regulasi yang dapat mengatur penggunaan AI ini. Hal ini dikarenakan penggunaan AI yang semakin hari semakin beragam, bahkan sudah marak untuk tindak kejahatan seperti menipu. Peran pemerintah diperlukan di sini, pemerintah harus bisa melihat AI yang semakin lama menjelma menjadi raksasa besar, jika AI tidak segera dikendalikan, maka penggunaannya tidak hanya merugikan secara langsung, tapi juga secara laten.

Sosialisasi AI yang kerap digembor-gemborkan oleh pemerintah, khususnya Mas Wapres menurut saya juga bagus. Namun, percayalah Mas Wapres, rakyat kita lebih jago daripada yang anda bayangkan dalam mengoperasikan AI. Jadi, menurut saya cukup fokus saja pemerintah untuk memikirkan regulasi untuk penggunaan AI ini.

Saya melihat, AI bisa menjadi revolusi industri terbaru, setelah robot yang digadang-gadang akan menjadi penerus internet dalam konteks revolusi industri. Menurut saya, AI justru lebih memungkinkan menjadi sektor industri yang terotomatisasi. Pertama, hal ini terlihat mulai banyak perusahaan yang mulai memakai AI di setiap kegiatan administrasi, seperti membuat notulensi, meringkas buku, atau bahkan sebagai fitur untuk menganalisis data, baik berupa angka ataupun narasi.

Efek buruk AI juga sudah mulai terasa, khususnya di dunia pendidikan. Banyak siswa yang menggunakan AI bukan sebagai fitur untuk membantu menyelesaikan tugas atau teman diskusi untuk mencari referensi, akan tetapi dijadikan joki tugas bahkan skripsi. Ini kan kacau!

Ciri kedua jika memang AI ini dapat menjadi revolusi industri terbaru adalah banyaknya orang yang sudah mulai gerah dengan kehadirannya. Gelombang penolakan sudah mulai banyak. Hal ini seharusnya sudah bisa dibaca oleh pemerintah, dikarenakan dulu juga pernah terjadi. Di mana gelombang protes dari pedagang pasar konvensional dan ojek pangkalan, menuntut agar pemerintah menghentikan digitalisasi yang semakin berkembang di Indonesia. Dalam konteks ini, gelombang protes diikuti juga dengan banyaknya mall dan toko offline yang sudah mulai tutup, hingga sekarang kita benar-benar sudah dimanjakan dengan belanja online yang konon harganya jauh lebih murah dan lebih aman.

Lagi-lagi, pemerintah gagal melihat gejala sosial yang sedang bergejolak di Indonesia. Entah mereka tidak tahu ataupun pura-pura tidak tahu, untuk saat ini, menurut saya harusnya energi pemerintah difokuskan ke bagaimana menyusun regulasi yang sekiranya dapat mendukung dan melindungi masyarakat Indonesia agar lebih terkendali saat menggunakan AI.

Ajie Rahmat Hidayat