Borok Kronis Hukum Indonesia dalam Novel 86 Karya Okky Madasari

Borok Kronis Hukum Indonesia dalam Novel 86 Karya Okky Madasari

LPM Spirit - Mahasiswa
Senin, 11 Maret 2024

Judul buku: 86
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 256 halaman

Arimbi merupakan seorang juru ketik di sebuah kantor pengadilan negeri daerah Jakarta Selatan. Setelah 4 tahun bekerja secara 'normal', kepolosan gadis itu mulai berubah setelah mendapatkan ucapan terima kasih berupa AC baru untuk kontrakan lusuhnya dari seorang klien yang memenangkan kasus persengketaan tanah. 
Berangkat dari kesenangan tersebut, Arimbi mulai mewajarkan segala hal yang ia lakukan untuk 'membantu' kliennya guna mendapatkan ceperan sebagai modal untuk menikahi Ananta, sang kekasih hati. Solusinya hanya satu, 86! Sama sama tahu, sama sama untung.

Novel ini dengan apik merangkum kronologi dan pergolakan pikiran serta batin Arimbi, gadis desa yang mulai dikuasai serakah. Arimbi mulai meminta jatah atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Ketika si pengacara yang telah ia 'bantu' pamit undur diri dan mengajak bersalaman, Arimbi dengan nada ringan dan kemayu mulai merayu dan meminta bagian.

Arimbi menerimanya. Amplop itu berisi uang. Arimbi merasakan bentuk dan tebalnya (halaman 102).

Keinginan untuk hidup bahagia bersama Ananta yang telah menjadi suaminya membuat Arimbi lebih banyak belajar agar dapat menjadi pemain yang andal sehingga menerima lebih banyak ceperan. Kepada orang-orang yang memberinya jatah tersebut, Arimbi akan siap sedia membantu apa saja.

Dengan pengacara-pengacara kenalannya, Arimbi punya banyak kesempatan untuk mendapat bagian. Mereka sering menyebutnya uang jajan atau uang dandan (halaman 106).

Nasib tak selalu mujur, praktik korupsi dan suap menyuap yang dilakukan Arimbi bersama atasannya akhirnya terendus juga oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya dijebloskan ke dalam penjara. Arimbi mendapatkan vonis 4,5 tahun penjara.

Namun, sekali lagi, praktik pelanggaran hukum ini sudah mengakar ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk keberadaan penjara yang seharusnya menjadi hukuman untuk menahan pelaku kejahatan agar secara paksa kehilangan kebebasan.

Dalam novel ini, penjara layaknya hotel yang dapat dipesan tergantung dari dompet penghuninya. Asal ada duit, pelaku kejahatan yang dijebloskan ke penjara dapat merasakan fasilitas semacam kasur empuk, TV, AC, Kulkas hingga kamar mandi dan dapur pribadi.

Kata Tutik, di bangunan tingkat itu, ada 5 ruangan yang digunakan tahanan. Dua dibawah dan tiga diatas. Bu Danti tinggal di ruangan atas, bertempat tidur besar nan empuk dengan TV berwarna ukuran besar (halaman 179).

Berkumpulnya pelaku-pelaku kejahatan dalam satu ruang yang sama justru memantik lebarnya praktik-praktik pelanggaran hukum. Di tempat ini, Arimbi justru belajar cara mengedarkan obat-obatan terlarang dari balik jeruji. Dengan bantuan Ananta, Arimbi menyalurkan narkoba dari bandar yang pabriknya ada di dalam penjara menuju pelanggan yang ada di luar.

Dari dalam tahanan, Arimbi bekerja dan mendapatkan uang. Bubuk bubuk putih itu, yang waktu itu ditunjukkan Tutik dalam lipatan koran, menjadi tambang penghasilan (halaman 199).

Kisah Arimbi hanyalah salah satu dari ribuan contoh kasus yang membuktikan betapa bobroknya praktik hukum yang ada di Indonesia. Melalui Arimbi, Okky Madasari berusaha mengajak pembaca memahami segala permasalahan hukum baik yang tergolong ringan maupun berat untuk kemudian dijadikan bahan renungan. Berbagai kasus mulai dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, jual beli jabatan, peredaran narkoba hingga masalah sosial seperti calo tiket diceritakan dengan sederhana dan seolah telah menjadi hal lumrah.

Pada dasarnya, uang terkadang menjadikan alasan orang untuk berbuat kejahatan dan penyelewengan hukum. Hukum tumpul terhadap mereka-mereka yang berduit. Koruptor tidak takut terhadap penjara, mereka hanya takut miskin. Sayangnya, peraturan yang dapat 'memiskinkan' koruptor kini macet, berkasnya menumpuk di meja kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam novel ini misalnya, kasus pelanggaran yang dilakukan Arimbi dengan Bu Danti, secara logika, Bu Danti seharusnya menerima hukuman yang lebih berat dibandingkan Arimbi mengingat Bu Danti adalah otak yang memberikan perintah pada Arimbi untuk menerima uang hasil suap. Bu Danti menerima uang lebih banyak dibandingkan Arimbi. Namun, karena Bu Danti 'bersedia membayar lebih', Bu Danti mendapatkan ruangan yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan Arimbi. Coba bayangkan apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan aset disahkan, orang orang macam Bu Danti ini akan mendapatkan hukuman sebagaimana mestinya.

Sayangnya, DPR terkesan ogah-ogahan dalam membahas RUU Perampasan Aset. RUU ini telah melalui proses yang panjang dan telah diusulkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPAT) pada 2008, masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun 2010-2014 dan tercatat sebagai RUU prioritas. Namun, hingga pergantian anggota di tahun 2019, DPR masih tidak menyentuhnya, bahkan sampai sekarang.

Peraturan yang akan menyunat harta kekayaan para koruptor ini sepatutnya menjadi perhatian dan prioritas besama. Masyarakat harus kompak dalam mengawal dan mendesak para anggota dewan untuk segera mengesahkan kebijakan ini sebagai langkah awal memberantas kasus korupsi yang eksistensinya begitu langgeng dari dulu hingga saat ini.
#resensibuku

Anggi Dwi Wulandari
Mahasiswi prodi Agribisnis