Resepsi Pernikahan di Gedung Pertemuan Hingga Tidak Adanya Aturan Tertulis dalam Peminjaman dan Penyewaan Gedung

Resepsi Pernikahan di Gedung Pertemuan Hingga Tidak Adanya Aturan Tertulis dalam Peminjaman dan Penyewaan Gedung

LPM Spirit - Mahasiswa
Selasa, 31 Mei 2022




WKUTM – Pada Minggu (29/05), tengah berlangsung resepsi pernikahan di Gedung Pertemuan (GP) Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Acara yang tidak berkaitan dengan kegiatan akademik tersebut, menuai tanggapan dari berbagai pihak. Selain itu, tidak terdapat peraturan tertulis tentang penyewaan dan peminjaman fasilitas gedung di UTM, baik secara akademik maupun non-akademik.

Menanggapi hal tersebut, Supriyanto, selaku Kepala Biro Administrasi, Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Sistem Informasi (BAAKPSI), mengungkapkan tidak tahu secara detail peraturan tentang penggunaan fasilitas gedung. Hal ini dikarenakan pihaknya hanya sebagai pihak yang menyetujui perizinan pelaksanaan kegiatan di GP, sedangkan yang menentukan penggunaannya ke pihak perlengkapan Barang Milik Negara (BMN).

Kalau perihal perizinan tanya ke lantai tiga, pak Achmad Baidori bagian perlengkapan, ungkapnya (30/05).

Supriyanto juga menambahkan terkait penyewaan gedung oleh sivitas akademika memang diperbolehkan. Namun, terkait tarif yang dikenakan, pihaknya tidak mengetahui secara spesifik.

”Penyewaan sepertinya boleh, namun tidak tahu ada tarif atau tidak. Seperti kemarin ada sivitas akademika yang menyewa. Kadang-kadang tarifnya beda antara orang dalam seperti sivitas akademika atau pihak luar,” ungkapnya (30/05).

Achmad Baidori, selaku bagian perlengkapan BMN Mengonfirmasi bahwa belum ada aturan tertulis yang mengatur terkait peminjaman dan penyewaan gedung di UTM.

”Sebenarnya belum ada, cuma kita memang akan menuju ke Badan Layanan Umum (BLU) kalau tidak salah. Jadi untuk sekarang masih tidak ada,” tuturnya (30/05).

Lebih lanjut, Baidori menuturkan bahwa penyewaan GP untuk pelaksanaan resepsi pernikahan memang diperbolehkan. Kegiatan tersebut telah diadakan selama beberapa kali oleh sivitas akademika, dan belum penah dilakukan oleh pihak luar kampus.

”Mungkin sivitas akademika yang punya anak lalu mau melaksanakan resepsi pernikahan akhirnya sewa GP. Selama ini yang meminjam untuk resepsi pernikahan itu hanya sivitas akademika saja, baik anaknya atau pun cucunya. Belum ada dari pihak luar,” tuturnya.

Mengenai aturan penggunaan, Baidori menjelaskan bahwa terdapat perbedaan bagi mahasiswa dan non-mahasiswa. Bagi mahasiswa dikenakan peminjaman tanpa biaya, sedangkan bagi sivitas akademika non-mahasiswa maupun pihak luar kampus akan dikenakan penyewaan dengan biaya Rp15.000.000,00 dalam jangka penggunaan 1×24 jam dan maksimal hingga pukul 20.00 WIB.

”Kalau tidak salah dikenakan 15 juta untuk satu kegiatan. 1x24 jam. Kalau keuangannya setahu saya itu masuk ke kas negara biasanya. Kalau sewa, mau dibayar langsung ke bank bisa. Untuk peminjaman tidak, karena tidak bayar,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan jika terdapat aturan tidak tertulis, seperti  penggunaan GP setidaknya minimal 500 peserta dan penggunaannya tidak diperbolehkan apabila untuk pelaksanaan acara musik non-akustik, kampanye politik dan kegiatan ibadah berupa sembahyang.

Semisal kalau hanya 100 undangan masa dilaksanakan di GP. Bukan syarat tapi kembali lagi ke peminjam karena tidak masuk akal. Untuk apa begitu, GP itu minimal 500 orang jelasnya.

Tanggapan dari Berbagai Pihak

Menanggapi tidak adanya aturan yang tertulis, Yudi Widagdo Harimurti selaku dosen Fakultas Hukum (FH) menjelaskan bahwa seharusnya terdapat aturan tertulis yang membawahi, berupa Standard Operating Procedure (SOP), sehingga jika ada yang ingin melakukan peminjaman ataupun penyewaan dapat menyesuaikan dengan SOP yang diatur.

”Harus ada aturan tertulis, siapa yang berwenang mengatur hal tersebut, semisal bagian perlengkapan, ketika ada yang melakukan peminjaman dapat menunjukkan SOP,” jelas pria asal Klaten (31/05).

Selain itu, terkait penggunaan GP untuk pelaksanaan resepsi pernikahan, Yudi memberikan tanggapan bahwa sebenarnya secara sisi etika akademik, tidak boleh dilakukan. Dengan pengecualian, jika gedung yang digunakan berada di luar area kampus dan tidak berpotensi mengganggu kegiatan di dalam lingkup kampus.

Sebenarnya secara sisi etika akademik, walaupun telah memiliki bentuk Badan Layanan Umum (BLU) sekalipun tetap tidak boleh,” ungkapnya.

Adapun tanggapan dari pihak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Sarah Octavia Agatha Ginting, selaku Ketua Umum (Ketum) Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UK3), mengungkapkan bahwa secara etika akademik, penggunaan GP untuk pelaksanaan resepsi pernikahan tidak pantas. Ia menambahkan jika penggunaan GP seharusnya dimanfaatkan sebagai fasilitas pengembangan minat dan bakat mahasiswa.

”Secara etika akademik sebenarnya tidak pantas,” ungkapnya (29/05).

Senada dengan Sarah, Nosia Khosyiana, selaku Ketum Creative Computer Club (Triple-C) menilai dalam penggunaan gedung, seperti halnya GP ditujukan untuk kegiatan yang bersifat kemahasiswaan, khususnya untuk UKM. Bukan untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan kampus, seperti resepsi pernikahan.

”Menurut saya kurang benar. Karena meskipun yang melaksanakan atasan dan punya jabatan tinggi ,layaknya fasilitas kampus digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan akademik,” tuturnya (29/05).

Begitu pula dengan salah satu mahasiswa UTM yang tidak mau disebutkan namanya, menuturkan bahwasanya GP seharusnya digunakan untuk kepentingan lingkup kampus, khususnya kegiatan UKM ataupun kegiatan yang ditujukan untuk kemajuan kampus, seperti kegiatan wisuda tahunan atau pertemuan-pertemuan dengan pemangku kepentingan luar kampus.

”Pernikahan ini lebih ke kepentingan pribadi seharusnya tidak menggunakan fasilitas kampus. Dapat diketahui sendiri yang sudah lumrah kita ketahui bersama tidak boleh zalim. Zalim itu menempatkan sesuatu bukan di tempatnya,” pungkasnya (29/05). (FRD/JI)