pict. Vio
Setelah bertemu dengan Akang aku menyadari, aku adalah seorang sapioseksual. Jenis manusia yang jatuh cinta karena tingkat kecerdasan manusia lain. Senang diajak berbincang karena pengetahuannya yang luas, kagum dengan bakat yang ia miliki, dan terpesona dengan cara dia berpikir (yang tentu saja tidak kutemukan dalam diri manusia manapun).
Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengan Akang, ia bertanya kepadaku perihal mengapa agama itu ada. Kujawab agama ada untuk mengatur kehidupan manusia. Akang kembali bertanya jika untuk mengatur kehidupan manusia saja, maka aturan undang-undang negara juga mengaturnya. Aku menjawab kalo begitu agama ada untuk mengenal Tuhan. Akan tetapi Akang menanggapi untuk mengenal Tuhan kita perlu agama, sebab Keberadaan-Nya tidak terikat. Aku tidak lagi mampu menjawab dan Akang tersenyum saja.
Begitulah kemudian aku terpikat pada Akang dan memutuskan untuk menghabiskan sisa akhir hidupku dengannya.
Hanya saja pagi ini Akang nampak aneh. Ia langsung masuk kamar begitu sampai rumah, tidak ada sepatah katapun diucapkannya, apalagi peluk dan cium untukku. Tidak. Ia tidak masuk ke kamar yang setiap malam kami gunakan untuk bercinta, akan tetapi Akang masuk ke kamar kerjanya. Tempat yang sangat sakral di rumah kami.
Aku pernah mencoba membersihkan kamar itu. Mengambil baju kotor Akang dan membereskan kuas-kuas yang berserakan, namun sebelum aku memindahkan barang-barang itu Akang telah menarik tanganku dan menunjukkan wajah tidak senangnya. Ia memarahiku dan melarangku untuk mengubah apapun yang ada di kamar itu.
“Kau boleh mengubahkan apapun dalam hidupku manis, kecuali ini,” katanya sembari mengecup keningku.
Hari-hari berikutnya aku hanya akan masuk ke kamar itu jika ingin mengajak Akang makan atau meminta tolong untuk memperbaiki perabotan rumah. Sejak menikah, jujur saja waktu kami untuk bersama memang menjadi sedikit karena Akang lebih banyak menghabiskan waktu bersama kuas, kanvas dan cat.
Sebab itu tekadang aku berpikir, apakah pasangan Akang yang sebenarnya adalah alat-alat melukis itu, dan bukan aku.
Namun aku tidak bisa semudah itu lalu membenci alat-alat lukis. Kami berdua hidup dari uang hasil Akang menjual lukisannya. Aku juga menyadari bahwa jatuh cinta pada seorang pelukis adalah sebuah bentuk kekeraskepalaan. Aku harus bersaing perhatian dengan kuas, kanvas, dan cat. Sungguh, cemburu dengan benda-benda seperti itu akan membuatmu gemas sendiri.
“Dik, tolong buatkan kopi,” kepala Akang keluar dari kamar kerjanya. “Yang pahit.”
Memang sudah menjadi kebiasaan Akang bekerja dengan secangkir kopi dan rokok lintingan. Pernah kulihat suatu hari ia mengoleskan ampas kopi pada puntung rokoknya. Lebih enak dan gurih katanya.
“Kopinya habis kang,” kataku menyusulnya. “Uang bulan ini juga belum Akang kasih.”
“Belum?”
“Belum. Terakhir Akang kasih bulan lalu. Setelah kita beli nasi goreng di depan.”
“Kenapa diam saja?”
Aku menunduk dan mengigit bibirku tanpa sadar. Sebenarnya alasanku tidak bilang karena akhir-akhir ini emosi Akang tidak stabil. Ia sering tertawa dan berdecak sendiri. Tentu saja itu bukan tanda yang baik sebab Akang bukan orang yang seperti itu, bahkan aku sempat berpikiran jika Akang tertempel jin jalan atau semacamnya.
“Maafkan Akang ya, Besok kita belanja sekalian jalan-jalan,” katanya lalu menenggelamkan wajahku di dadanya, mungkin karena merasa bersalah.
###
Besoknya setelah berbelanja dan jalan-jalan kami mampir ke toko buku. Selain senang melukis Akang juga menyukai buku. Ia telah melahap banyak buku dari fiksi hingga nonfiksi. Tidak heran ketika awal menikah setengah dari rumah kami diisi oleh buku-buku Akang dan peralatan melukisnya. Namun bukankah ini telihat keren? Kurasa kebiasaannya ini yang menjadi salah satu faktor otak seksinya.
“Ratih.”
Kami berdua menoleh. Seorang lelaki berkemeja abu-abu tersenyum ke arahku. Aku masih tidak mengenalinya hingga pria itu menyebutkan namanya.
“Aku Rudi. Mantan kamu.”
Aku balas tersenyum, menyalaminya, dan meminta maaf karena tidak mengenali. Kami berbasa-basi sebentar karena istri rudi (yang sedang hamil tua) sudah menunggu lama di mobil. Tidak beberapa lama setelah itu Akang memantapkan hatinya untuk memilih satu buku untuk dibawa pulang.
Saat itu aku belum menyadari bahwa roman muka Akang sudah berubah. Semua berjalan seperti biasa saja hingga Akang yang biasanya masuk ke kamar kerja menahanku di ruang tamu dengan mimik serius. Kami berdua hanya membisu hingga satu jam lamanya. Aku ingin bertanya namun takut akan memancing amarah Akang.
“Kamu sudah menjalin kasih berapa lama dengan mantanmu itu?”
“Enam bulan.”
“Kalo kita? Berapa lama dulu kita pacaran?”
“Satu tahun dua bulan.”
“Ah, tidak ada apa-apanya,” kata Akang lalu tersenyum dan mengajakku ke kamar. Hari itu rupanya Akang sedang cemburu. Sikapnya berubah menjadi lebih manis. Entah mengapa hatiku jadi menghangat dan begitu bersemangat keesokan harinya.
Akang yang biasanya akan menyibukkan diri dengan alat lukisnya kini mengajakku untuk masuk ke ruang kerjanya. Tempat yang sangat sakral itu. Ia bahkan memintaku untuk melukisnya meskipun tahu kemampuan melukisku sangatlah buruk dan mengizinkanku untuk menyentuh barang-barang di ruangan itu.
Entah tumbuh dari mana keberanian itu. Aku meminta Akang untuk menggunakan daster dan topi pantai. Aku bilang padanya bahwa aku ingin melukis seorang gadis pantai. Konyolnya lagi Akang langsung memenuhi keinginanku itu. Apakah begini wujud dari kata-kata dimabuk cinta?
Namun setelah lukisanku jadi, roman muka Akang kembali berbeda. Ia memintaku keluar dari kamar dan berdiam di sana hingga malam. Karena khawatir aku mendatangi Akang dan bertanya apa dia baik-baik saja.
“Bagaimana jika daster ini Akang pakai lagi?” tanyanya seperti tidak enak hati.
“Dari tadi Akang tidak kunjung keluar kamar karena ini? Tentu boleh kang, adik punya banyak daster di lemari,” balasku tersenyum lega.
“Tapi bagaimana jika selamanya Akang ingin memakai daster?”
“Maksud Akang?”
“Sejak memakai daster ini Akang merasa bahwa Akang telah menemukan diri Akang yang sebenarnya. Akang senang berpakaian seperti ini. Maafkan Akang dik.”
Saat itu aku ingin bilang bahwa itu pakaian perempuan kang, tapi kuurungkan. Aku merasa ada yang hancur di dalam dadaku. Perasaan sakit yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan perih yang tidak bisa ditahan. Aku merasa dikhianati?
“Kenapa Akang, ke- kenapa?” suaraku hilang entah kemana. Sesak dadaku, deras hujan air mataku.
###
Sebenarnya aku sadar, akhir-akhir ini istriku merasa takut denganku. Aku sering memergokinya menatapku dengan was-was ketika aku keluar dari kamar kerjaku atau ketiku aku tiba-tiba tertawa. Bahkan ia juga pernah mengundang seorang ahli agama ke rumah kami untuk memberikan doa dan berkah. Menggemaskan, apa dia sedang berpikir aku tertempel jin jalan?
Semua berawal dari kejadian di sabtu yang cerah itu. Aku berniat membelikan hadiah berupa lispstik untuk Ratih. Alasannya sederhana: aku senang pewarna bibirnya tertempel di bibirku ketika kami berciuman. Lalu untuk menilai bagaimana kualitas lipstik itu, gadis toko yang melayaniku memberi saran untuk mengetesnya di tangan. Namun kurasa jenis kulit tangan dengan bibir tidak bisa disamakan, akhirnya aku mencobanya di bibirku sendiri.
Warnanya merah menyala dan aku merasa puas. Aku membeli dua sekaligus saking puasnya (atau mungkin karena omongan gadis toko bahwa lipstik ini cepat habis dan susah dicari, entahlah). Yang jelas aku menyukai lipstik ini.
Sampai di rumah aku langsung menyerahkan lipstik itu kepada Ratih. Namun karena salah satu dari lipstik itu hilang aku hanya menyerahkan satu buah lipstik dan meminta maaf.
“Tidak apa-apa Kang, kita bisa beli lagi lain kali,” hiburnya.
Beberapa hari kemudian aku menemukan satu lipstik yang lain di antara kantong kuas dan cat. Dasar ceroboh, kupikir aku sudah kehilanganmu. Lipstik itu begitu menarik. Warna merahnya mengingatkanku pada warna gorden pada lukisan ‘Girl Reading A Letter at an Open Window’ karya Johannes Vermeer tahun 1862. Warna merah yang kuat. Lalu entah bagaimana bibirku telah terpoles dengan lipstik itu.
###
Aku tidak tahu apa ini memang hobi baruku, namun aku senang memakai lipstik (tentu saja hanya saat di kamar kerja, bahkan istriku saja tidak tahu). Aku selalu tertawa setelah memoles bibirku dengan lipstik hingga sesekali berdecak kagum. Aku merasakan bahagia dan cinta.
Hobi baruku ini tentu saja tidak pernah kuartikan apa-apa. Aku juga berniat berhenti ketika lipstik ini habis. Namun satu kejadian membuatku merenung dan berpikir mendalam. Aku merasa ada yang aneh.
“Tolong keluar sebentar,” kataku setelah istriku memamerkan hasil lukisannya. Pagi itu Ratih memintaku untuk memakai daster dan topi pantai. Dia menjadikanku objek untuk dilukis.
Setelah dia pergi aku berdiam diri di kamar kerjaku hingga malam. Aku sudah tidak paham lagi, kali ini memakai daster. Mengapa aku merasakan bahagia dan cinta ketika memakai daster? Aku jadi berpikir bahwa kebiasaanku memoles lipstik juga bukan karena kesenangan semata. Aku merasa, aku merasa telah menemukan diriku sebenarnya. Lalu entah bagaimana tiba-tiba saja kata ‘transeksualisme’ terlintas dibenakku.
Dari beberapa catatan yang pernah kubaca dapat disimpulkan bahwa transeksualisme adalah seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna, namun jika dilihat secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis. Pertanyaan selanjutnya yang tersentil di kepalaku adalah apakah aku adalah seorang transeksualisme?
Tidak. Tidak. Aku mencoba menepis kemungkinan itu, namun mau bagaimanapun aku mengelak aku tetap tidak bisa berkhianat bahwa sejauh ini aku mulai sering memperhatikan dan mencoba bergaya seperti perempuan. Seharusnya ini sudah terjawab.
Ratih. Perempuan itu menatapku khawatir begitu aku keluar dari kamar kerjaku. Kami melakukan percakapan yang dingin, singkat dan tentang apa yang selama ini tidak pernah terlintas di pikiran kami. Aku mengakui keadaanku padanya.
“Kenapa Kang? Ke- kenapa?” tanyanya terdengar ngilu.
“Maafkan aku,” bisikku.
Ulul Faricha Luqman
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Trunojoyo Madura

Komentar