Judul : Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer
Pengarang : Syed Hussein Alatas
Penerbit : LP3ES, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial, 1986
ISBN : 9798015169, 9789798015168
Tebal : 77 halaman
Korupsi seakan tidak bisa dilepaskan dari budaya birokrasi yang berada di berbagai negara. Slogan-slogan anti korupsi yang selalu didengungkan seakan tak mempengaruhi budaya korupsi yang masih berlangsung hingga saat ini. Di Indonesia, kasus korupsi masih marak terjadi. Belum ada sebuah gebrakan mutakhir untuk mengatasinya.
Buku ini membahas tentang konsep dari korupsi tersebut mulai dari makna korupsi, fungsi korupsi, penyebab korupsi, dan terakhir solusi dari korupsi itu.
Buku ini ditulis oleh Syed Hussein Alatas. Lahir pada 17 September 1928 dan meninggal pada 23 Januari 2007. Ia seorang akademisi, sosiolog, pendiri organisasi pengetahuan sosial, dan politisi Malaysia. Beliau merupakan Wakil Kanselor Universitas Malaya pada 1980an, dan membentuk Parti Gerakan Rakyat Malaysia (Gerakan).
Di dalam buku ini dijelaskan bahwa ketika menangani kasus korupsi, seorang sosiolog yang membedah fenomena ini seharusnya memahami dengan betul sejarah, budaya, bahasa. Jadi harus mengerti seluk-beluk terlebih dahulu agar penyelesaiannya maksimal.
Diceritakan Abdurahman Ibnu Khaldun seorang sosiolog besar Islam pada semasa hidupnya pernah menjabat sebagai hakim. Ia berusaha memberangus korupsi di pemerintahan yang berkuasa, namun banyak menemui kegagalan. Ia harus dipecat dari jabatannya karena terlau keras dalam menindak kasus korupsi pada zaman itu. Ia memandang bahwa sebab utama korupsi ialah keinginan para sekelompok penguasa yang ingin hidup mewah.
Korupsi biasanya merujuk pada pemberian seorang pegawai. Fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi yaitu penyuapan (briberru), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Dalam fenomena tersebut tidak bisa dijadikan dalam sebuah satu judul karena setiap istilah yang disebutkan tadi berbeda-beda konteks. Namun, masih ada benang merah yang menghubungkan antar istilah fenomena itu.
Penulis dalam analisanya mengungkapkan ciri-ciri korupsi, beberapa diantaranya, korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang, bersifat kerahasiaan kecuali memang sudah sangat merajalela dan para pelakunya sudah muka tembok dengan itu semua. Ciri lain yakni, koruptor biasanya mengakali perbuatannya dengan hukum yang berlaku, korupsi melibatkan berbagai elemen kewajiban dan keutungan timbal balik. Adapun bagi mereka yang terlibat korupsi mengeluarkan keputusan tegas yang dapat mempengaruhi atas keputusan-keputusan tersebut. Setiap tindakan korupsi mengandung unsur penipuan dan pengkhianatan. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi yang ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan tersebut. Terakhir ciri korupsi dalam buku ini digambarkan bahwa perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan tanggung jawab di hadapan masyarakat.
Korupsi di negara berkembang sangat merajalela. Sebagaimana petikan pendapat Wertheim “Pertama-tama kita harus memperhitungkan bahwa bentuk-bentuk sesudah perang dari apa yang disebut korupsi seringkali masih menyembunyikan peninggalan struktur sosial tradisional. Para kepala desa, misalnya masih tetap tidak digaji, sehingga mereka harus hidup dari pungutan legal namun sebagian besar ilegal atas pungutan penduduk……”
Di dalam korupsi terbagi menjadi tiga bidang masalah : fungsi dari korupsi, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan langkah menghilangkan korupsi. Korupsi mempermudah urusan, dalam kasus korupsi yang positif dicontohkan seperti kaum monarki yang hidup mewah mendapatkan pajak atas penarikan yang dilakukan kepada masyarakat miskin, terkadang dalam kasus semacam ini, korupsi “bermanfaat” agar kaum miskin mendapatkan hak-haknya. Meskipun terdapat fungsi positif namun masih lebih banyak sisi terdapat sisi negatifnya.
Buku ini menjelaskan sebab mendasar bisa terbentuknya perilaku korupsi. Sebab dasar tersebut yaitu keadaan moral dan pemimpin di dalam masyarakat. Bisa dilihat seperti sekarang bagaimana moral yang dimiliki anggota dewan parlemen. Banyak dari mereka yang terlibat skandal korupsi besar. Seperti mantan ketua DPR RI, Setyo Novanto, yang korupsi anggaran pengadaan E-KTP sebesar 2 triliun rupiah. Adapun hasilnya dibagi-bagi ke orang-orang yang terlibat. Keadaan tersebut mengakibatkan terhambatnya proses pembuatan E-KTP.
Penulis memberikan konsep pencegahan dari korupsi ini. Seperti yang telah disebutkan di atas, faktor penyebab korupsi yang paling mendasar adalah moral. Maka dari itu dibutuhkan sebuah “dokter moral” yang dapat mengobati. Mereka adalah tokoh suci dari kalangan agamawan. Karena setiap ajaran yang disampaikan tokoh agama mengandung nilai-nilai moral yang mengatur hidup manusia.
Menurut seorang politikus ulung China, Wan Ah Sing menganalisa bahwa dalam melawan korupsi dibutuhkan dua elemen yaitu para pemegang kekuasaan yang bermoral tinggi dan hukum yang efisien secara rasional.
Buku ini sangat disarankan dibaca oleh mahasiswa yang mempunyai idealisme anti korupsi tinggi untuk mendobrak peradaban.
Muhammad Riza
Program Studi Sosiologi
Universitas Trunojoyo Madura