Seorang anak laki-laki kecil terlihat berlari menuju kantor pos dengan tergesa-gesa. Dari kejauhan ia melihat pria berseragam oranye menaiki sepeda motor dengan bawaan tas obrok di samping kiri dan kanan kendaraannya. Wajah anak laki-laki itu terlihat semakin cerah saat melihat pria berseragam oranye itu semakin dekat dengannya.
“Sudah pulang dari sekolah Gus? Atau kamu bolos sekolah macam anak-anak nakal di pos ronda itu?” tanya pria berseragam oranye itu.
“Sudah Pak Ali, bapak ibu guru ada rapat jadi hari ini pulang pagi,” jawab anak kecil itu.
Dengan langkah riang anak laki-laki itu mendekati Pak Ali si petugas kantor pos untuk membantunya menurunkan tas obrok itu. Dengan penuh semangat anak laki-laki itu mulai memilah-milah tumpukan amplop berwarna cokelat dan putih itu lalu mengurutkannya sesuai dengan desa alamat itu dituju.
“Surat dari mana saja ini pak? Apa ada yang datang dari Indramayu?” tanya anak laki-laki itu.
“Belum ada Gus, kebanyakan surat hari ini dari Jakarta,” jawab Pak Ali.
Ada perubahan raut muka di wajah anak laki-laki itu. Semangat yang diperlihatkannya tadi perlahan sirna. Pak Ali mencoba untuk menghibur anak laki-laki itu. Dia tahu apa yang menjadi alasan anak laki-laki itu begitu semangat untuk membantunya bekerja menyortir surat. Yaitu surat dari bapaknya yang pergi merantau ke Indramayu.
Agus nama anak laki-laki kecil itu. Tinggal sebatang kara di sepetak rumah yang dibangun oleh warga atas bantuan dari desa. Ibunya telah meninggal saat ia baru menginjak kelas 2 SD. Bapaknya yang kesulitan mencari pekerjaan di kota kecil tempatnya tinggal itu memutuskan pergi merantau ke luar negeri atas ajakan temannya.
Agus kecil yang baru ditinggal oleh ibunya dan mencoba beradaptasi kemudian masih harus berjuang hidup sendirian karena ditinggal bapaknya untuk bekerja di luar kota. Kurang lebih sudah 2 tahun sejak bapaknya pergi merantau. Namun, 6 bulan belakangan surat-surat yang dikirim bapaknya mulai berhenti berdatangan. Agus kecil merasa risau karena tidak mendapat kabar dari bapaknya, Ia bingung harus melalui cara apa untuk menghubungi bapaknya karena hanya melalui suratlah ia dapat menjalin komunikasi dengan bapaknnya.
……………
Dua tahun lalu.
“Mienya dihabisin ya le, makan yang kenyang, es tehnya jangan lupa diminum,” ucap laki-laki itu.
“Iya pak, bapak juga makan yang kenyang ya. Kapan lagi kita makan mie ayam punya Pak Dho ini,” jawab anak laki-laki itu.
“Iya le, makanannya dihabisin pokoknya ya. Nanti kalau bapak sudah punya uang banyak kita sering-sering makan bareng di sini.”
Anak laki-laki itu mengangguk mendengarkan ucapan bapaknya sembari tetap semangat menyuapkan sendok demi sendok mie ayam kemulutnya. Maklum, bapaknya yang bekerja sebagai pencari rumput untuk sapi milik Pak RT itu gajinya sangat mepet untuk membeli mie ayam terenak di kotanya ini. Jangankan mie ayam, untuk membeli beras saja mereka kesusahan. Pekerjaannya mencari rumput setiap pagi hingga sore itu hanya diberi upah 50 ribu saja tiap minggunya. Uang itu hanya cukup untuk membeli sedikit beras, beberapa potong tempe gembus dan membayar iuran listrik hasil menyalur dari tetangganya itu.
Pagi hari tadi tiba-tiba saja bapaknya mengajaknya ke pasar besar di kota untuk membeli baju dan makan mie ayam yang dikenal paling enak itu. Tentu hal ini membuatnya teramat senang dan bahagia hingga rasanya ia tak ingin hari ini berakhir. Menghabiskan waktu sepanjang hari dengan bapaknya yang sering tak memiliki waktu karena harus pergi mencari rumput di lapangan desa sebelah.
Anak laki-laki kecil itu sadar bahwa hidupnya yang susah menjadi semakin rumit untuk diurai simpulnya setelah kematian ibunya. Tak ada lagi yang dapat mengatur masalah ekonomi dan makanan yang serba mepet di rumah itu. Hal ini memaksa dia untuk segera belajar menggantikan peran ibunya jika tak ingin mati kelaparan. Mencoba berhemat dengan membagi beberapa kilo beras itu agar cukup hingga waktu di mana bapaknya dapat membeli beras lagi.
Cahaya di mata bapaknya kian redup setelah kepergian ibunya. Ia sendiri juga merasa bingung harus berbuat apa untuk setidaknya memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya. Tubuhnya masih kecil tak banyak yang dapat ia lakukan, di pagi hingga siang ia harus sekolah dan di sore hari ia harus mengaji dan dilanjut dengan memasak untuk dia dan bapaknya. Ia sempat bercerita ke bapaknya bahwa ia ingin putus sekolah dan membantu bapaknya bekerja. Namun, bapaknya menjadi marah besar padanya.
Diketahui bahwa kenapa alasannya ditentang oleh bapaknya karena hanya dengan sekolahlah yang menjadi satu-satunya jalan bagi keluarga itu agar dapat keluar dari belitan kemiskinan. Ditambah dengan ajaran agama yang didapat dari mengaji bersama Kyai di desanya diharapkan ia dapat menjadi manusia yang berguna bagi agama dan masyarakat kedepannya. Setelah mengetahui alasan bapaknya itu anak laki-laki itu membuang jauh-jauh pikirannya untuk berhenti sekolah. Malah dia menjadi semakin bersemangat untuk rajin belajar. Terbukti yang dulunya ia hanya menjadi lima besar di kelas kini karena ketekunannya ia menjadi rangking pertama dalam semester ini.
Bapak dan anak itu keluar dari warung mie ayam itu dan menaiki sepeda unta yang sudah berkarat. Si kecil bercerita kepada pria yang lebih besar tentang bagaimana kesehariannya selama di sekolah belakangan hari ini. Pria besar itu manggut-manggut sambil sesekali tertawa mendengar cerita anak laki-laki yang diboncengnya itu. Mereka bersepeda menuju kembali ke desanya. Desa yang tak begitu besar dan ramai karena banyak warganya yang memilih merantau dibandingkan harus berkutat dengan tanah tandus dan kemiskanan di desa itu.
…
Tidak lama dari hari bahagianya kemarin anak laki-laki itu bangun dari tidurnya seorang diri. Ia melihat disatu-satunya meja di rumahnya ada sekarung kecil beras, satu kardus mie instan, dan sebuah amplop putih yang di dalamnya ada beberapa lembar uang dan sepucuk surat. Setelah membaca surat itu anak kecil itu menangis sejadi-jadinya.
Anak kecil itu sekarang harus berjuang hidup sendirian. Tak ada lagi bapak yang menemaninya tidur di malam hari. Rumah kecil itu menjadi terasa semakin sepi dan sunyi. Bagaimana bisa dia melanjutkan hidup nanti kedepannya? Kenapa ia tidak diperbolehkan untuk turut serta ikut dengan bapaknya? Apakah bapaknya sudah tak mencintainya lagi? Pertanyaan itu setiap saat menghantui pikiran anak kecil itu.
Lama keadaan menyedihkan ini berlangsung membuat tubuh anak kecil itu kian lemah dan akhirnya jatuh sakit. Para guru dan tetangga yang sadar dengan absennya anak laki-laki itu segera mengunjungi rumahnya dan bergantian untuk menghiburnya. Tapi anak laki-laki itu tak kunjung kembali mendapat semangat untuk hidup. Hingga tepat setelah satu minggu kepergian bapaknya datang sebuah surat yang diantar dari oleh Pak Ali untuk anak laki-laki itu yang ternyata datang dari bapaknya.
Dalam suratnya itu bapaknya meminta maaf karena sudah tidak bertanggung jawab dan meninggalkannya. Bapaknya juga meminta agar ia tidak menjadi anak nakal dan rajin belajar. Bapaknya berjanji akan selalu memberikan kabar dan uang untuk biaya hidupnya dan membawanya ke Indramayu jika kelak uang mereka telah terkumpul. Anak laki-laki itu seketika menjadi semangat. Keadaan saat ini memang memaksanya untuk hidup seorang diri, hingga saatnya tiba bapaknya kembali dari perantauan dan membawanya serta untuk hidup lebih baik.
………..
Dua tahun kemudian.
“Tugas kalian hari ini adalah membuat surat untuk orang yang kalian rindukan, boleh kakek nenek ataupun teman kalian,” ucap guru itu.
“Baik bu,” jawab para murid secara serempak.
“Ingat harus diperhatikan langkah-langkah yang sudah ibu ajarkan tadi, alamat dan nama penerima ditulis di depan amplop surat dan jangan lupa salam pembuka di awal surat. Surat-surat kalian nantinya akan dikirim oleh sekolah ke alamat yang dituju dan nantinya surat ini dimasukkan sebagai nilai tugas, jadi harus dikerjakan ya.”
Tugas sekolah hari ini terasa sangat berarti bagi Agus. Akhirnya keinginannya untuk mengirimkan surat pada bapaknya dapat terwujud. Selama ini bapaknya hanya mengirimkan surat dan beberapa lembar uang untuk ia gunakan bertahan hidup, ia tidak diperkanankan menggunakan uang itu untuk membalas surat-surat bapaknya.
Dengan bermodalkan alamat rumah teman bapaknya yang ada di surat yang dikirimkan padanya selama ini Agus mulai menulis surat untuk bapaknya di selembar kertas yang ia robek dari buku sekolahnya. Ia meminta agar bapaknya mengirminya surat lagi agar ia dapat mengetahui kabarnya. Ia juga meminta agar bapaknya pulang atau mengajaknya untuk tinggal di perantauannya seperti janjinya di surat yang ditinggalkan dulu saat berpamitan merantau bahwa bapaknya akan megajak Agus pindah ke Indramayu jika suda memiliki banyak uang.
…
Beberapa minggu kemudian, Bu Ayu yang merupakan guru pemberi tugas menulis surat itu membawa setumpuk surat di tangannya dengan wajah sembab. Ia ragi-ragu untuk melangkah ke dalam kelasnya. Apalah yang akan ia katakan nanti kepada murid pintar kesayangannya itu. Ia tak sanggup bila harus melihat anak itu semakin sedih dan menderita.
…
Di geladak utama sebuah kapal besar terdengar teriakan seorang laki-laki dengan bahasa asing. Di bawah kaki laki-laki itu ada seseorang dengan posisi tertelungkup dengan wajah dan badan penuh memar dan luka. Laki-laki yang penuh luka itu dengan setengah sadar mengerti apa yang diucapkan laki-laki dengan perut buncit diatasnya itu. Kata-kata penuh sumpah serapah yang tak pantas untuk didengarkan oleh manuisa bahkan sehina apapun orang itu. Ia sadar bahwa waktunya sudah tak lama lagi. Yang menjadi beban dibenaknya hanyalah kekhawatiran kepada anak laki-lakinya yang tinggal sendiri di negeri seberang sana, tempat awalnya tinggal. Bagaimana anaknya itu akan menjalani hidupnya nanti?
Yang ada di hatinya sekarang hanya rasa sesal, seandainya saja ia tak ikut pergi ke tempat ini, meninggalkan Indramayu untuk menjadi nelayan dengan penghasilan yang lebih besar dengan menjadi nelayan ikan di negeri orang, dan tetap bekerja sebagai nelayan kecil di Indramayu mungkin saja ia masih dapat kesempatan untuk melihat anaknya. Apalah daya ia sekarang, mungkin sebentar lagi ia akan dibuang oleh laki-laki dengan perut buncit itu ke laut. Tenggelam bersama ikan-ikan atau bersemayam di perut ikan. Entahlah yang ia rasakan saat ini hanya rasa sesak di paru-parunya serta asinnya air laut yang mulai mendobrak masuk ke mulutnya.
Mahasiswa Program Studi Sosiologi
Viola Nita Fitri Anggraeni