Penegakan Hukum atau Aturan Baru?

Penegakan Hukum atau Aturan Baru?

LPM Spirit - Mahasiswa
Senin, 06 April 2020

Perbedaan pendapat antara pemerintah dan rakyat sering kali dibahas di Indonesia pada abad ke-20 ini. Entah pro atau kontra menjadi perbincangan publik yang selalu diantisipasi oleh masyarakat, baik dari golongan atas maupun golongan bawah melalui melalui media sosial yang berlanjut hingga adanya aksi demo. Walaupun begitu, saya sangat senang dengan adanya perdebatan ini. Dengan adanya perdebatan ini, dapat mempererat tingkat solidaritas antar mahasiswa dan rakyat dengan cara berdiskusi bersama.

Sebagai seorang mahasiswa, saya tidak tinggal diam untuk membahas salah satu  isu yang viral dan sering di diskusikan oleh berbagai kalangan, salah satunya adalah omnibus law yang saat ini masih menjadi perdebatan. Pada isu tersebut pemerintah akan melakukan penerapan sistem omnibus law yaitu sistem penggabungan beberapa peraturan pada bidang yang berbeda menjadi satu peraturan dalam bentuk Undang-Undang (UU).

Dalam rancangan sistem tersebut, terdapat dua Rancangan Undang-Undang (RUU) dalamnya yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yakni RUU Cipta Kerja  dan RUU Perpajakan. Pakde jokowi mengatakan jika tujuan dari kedua RUU ini dapat memperkuat perekomomian Indonesia melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia untuk menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. 

Namun , kebanyakan mahasiswa dan golongan yang merasa dirugikan, menolak beberapa pasal dalam RUU omnibus law ini, setelah berdiskusi panjang lebar, para mahasiswa mengamati jika  bahwa Penerapan beberapa pasal yang bermasalah ini, akan menguntungkan kepada pengusaha dan merugikan kaum pekerja, sehingga tidak terciptanya keadilan. seperti hal nya tusuk gigi yang dimana hanya runcing di ujung sisinya.

Sebenarnya, persoalan tersebut didasari atas nama untung dan rugi. Dapat dipikir secara serdehana, bahwa keberpihakan orang untuk mendukung atau menolak RUU omnibus law ini tergantung pada siapa yang di untungkan dengan siapa yang dirugikan. Jelasnya, orang akan mendukung sistem ini apabila dirinya merasa diuntungkan dan orang akan menolak apabila dirinya merasa dirugikan. Sudah kodrat manusia ingin selalu mencari keuntungan.

Apabila diperhatikan melalui aturan RUU omnibus law ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa pihak dari pengusaha akan lebih diuntungkan dari adanya aturan ini. Hal ini disebabkan karena tujuan awalnya kan untuk memberikan ekosistem usaha sehingga secara tidak langsung pengusaha mendapat kenyamanan untuk membuat suatu perusahaan. Lagian juga wajar saja apabila pihak pengusaha lebih diuntungkan, kan yang ikut membuat RUU omnibus law diisi oleh orang-orang pemerintah yang juga mempunyai usaha sampingan.

Ironisnya, keuntungan dari RUU omnibus law tersebut tidak diperoleh oleh kalangan kaum pekerja jika diterapkan. Malahan kaum tersebut lebih merasa dirugikan. Dengan adanya omnibus law pengusahan mendapat persetujuan secara tidak langsung untuk mengekspoitasi pekerja, karena pengusaha berhak untuk memutuskan penambahan pekerjaan kepada pekerja. 

Hal ini dapat dilihat melalui RUU omnibus law pada pasal 89 ayat 20 yang berisi "pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu”. Coba bayangkan saja apabila anda bekerja pada suatu perusahaan tetapi waktu kerja yang melebihi ketentuan. Bagaimana nasib istri anda ketika malam hari yang selalu kesepian, ditambah lagi waktu bermain dengan anak juga semakin minim.

Contoh lainnya mengenai persoalan omnibus law yakni penghapusan pasal 91 UU tentang ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 terkait kewajiban membayar upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja. Penghapusan pasal ini memungkinkan pengusaha untuk semakin berkuasa dalam memberi upah sesuai apa yang telah dijanjikan kepada pekerja. Dari persoalan itu, pengusaha bisa saja memberikan upah dibawah minimum kabupaten, selama kedua pihak telah bersepakat. Tapi hal tersebut  sudah menjadi sifat manusia, apabila pencari kerja sudah terpepet dengan kebutuhan hidupnya, pasti akan menuruti apa yang ditentukan  oleh pihak perusahaan. 

Dari pengalaman pribadi saya, ketika masih bekerja di warung kopi alias giras, pernah mengeluhkan terkait gaji, yang saya rasa terlalu sedikit yaitu sebesar Rp.1.200.000 per bulan yang jauh dari Upah Minimum Kabupaten (UMK). Meskipun saya lembur bekerja tetap tidak diberi gaji tambahan. Pada akhirnya, saya protes ke bos untuk diberikan gaji tambahan, namun dari sana sang bos memberi keringanan berupa pergantian sistem gaji menjadi sistem setor yang menaikkan pendapatan saya dari sebelumnya, yah bagi anak penjaga giras mungkin tau. Namun, jika saat itu omnibus law sudah diterapkan di Indonesia, bisa jadi saya kesusahan untuk mendapat keringanan dari bos. 

Kembali ke laptop omnibus law, di sisi lain Sofyan Djalil selaku menteri agraria pernah menjelaskan mengenai permasalahan tumpang tindihnya aturan perundang-undangan di Indonesia. Ia mengatakan jika sistem omnibus law ini  mampu  menyelesaikan persoalan tersebut. Seperti : ketika ada usulan memperbaiki regulasi di bidang kehutanan maka yang harus direvisi adalah UU no.41 tahun 1999. Tetapi masih ada tumpang tindih dengan UU lain, semisal UU no.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Namun, coba dipikir sekali lagi apabila omnibus law diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tentunya akan merombak sebagian besar UU yang masih tumpang tindih. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan memakan proses waktu yang cukup lama. 

Dilihat dari kondisi Indonesia saat ini, mengeluarkan aturan-aturan baru bukanlah menjadi prioritas, seperti sistem omnibus law ini. meskipun tujuan awalnya baik, tidak menutup kemungkinan aturan tersebut malah mencekik beberapa golongan. Pemerintah seharusnya sudah sadar dengan hal ini, karena tidak sedikit jumlah orang yang protes dengan persoalan ini.

Sebenarnya yang menjadi solusi utama saat ini adalah penegasan terhadap hukum yang ada. dengan mengawasi dan memperketat aturan yang ada untuk mencegah banyaknya pelanggar aturan. Dilansir dari Kompas kasus korupsi di Indonesia pada tahun 2019, sudah mencapai 62 kasus dengan 155 tersangka, itupun yang ketahuan. Ditambah lagi pengesahan Revisi Undang-Undang  Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang berimbas pada gagalnya penggeledahan kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) oleh KPK pada 9 Januari 2020 lalu. Dari kasus tersebut, sudah sangat jelas bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Percuma saja, apabila membuat aturan-aturan baru guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional tapi tidak diiringi dengan penegakan hukum yang kuat. cita-cita menyejahterakan rakyat akan semakin jauh untuk tercapai.


Aji Imanudin 
Program Studi Ilmu Hukum 
Universitas Trunojoyo Madura