Centaurus

Centaurus

LPM Spirit - Mahasiswa
Jumat, 03 April 2020

Kalian mungkin tidak percaya, tapi benar aku pernah bertemu dengan sosok manusia setengah kuda bahkan membawanya tinggal bersamaku. Kepala dan badannya adalah manusia tetapi pinggang dan kakinya berupa kuda. Mirip dengan manusia setengah kuda yang ada di film Harry Potter and The Sorcere’s Stone jika kalian pernah menonton. Begini, akan aku ceritakan padamu.

Saat itu aku sedang berumur lima belas tahun dan dunia sedang diserang sebuah penyakit aneh.

Tidak ada yang benar-benar tahu penyakit itu berasal dari mana. Saat aku bertanya pada kakek, ia hanya mengatakan aku harus mencoba untuk menjauhi semua orang atau aku akan menjadi monster. Aku tidak paham, sebenarnya apa yang sedang terjadi. Semua orang nampak gelisah, panik dan dengan gegabah memborong semua masker yang ada di toko. Bahkan, belakangan pemerintah juga meminta semua orang untuk menetap di dalam rumah masing-masing sampai ada informasi lebih lanjut.

“Kakek sebenarnya ada apa dengan semua orang?” tanyaku tidak mengerti.

“Tidak apa, jangan keluar rumah. Kakek ingin pergi sebentar,” jawabnya lalu memakai penutup hidung dan melangkah pergi. 

Aku mengawasinya di depan pintu sampai punggung kakek tidak terlihat lagi. Sudah beberapa hari ini kakek pergi dari rumah seperti sekarang dan dia selalu menolak untuk menjawab saat aku bertanya. Jujur saja ini membuatku takut. Aku adalah bocah yang merasa membutuhkan pengawasan. Aku ingin berdekatan dengan orang dewasa dalam situasi mengerikan ini.

Karena itu, akhirnya aku putuskan untuk mengikuti kakek secara diam-diam. Selepas shubuh tadi aku telah mengoleskan saos tomat pada sepatu kakek, sehingga sudah kuperkirakan setelah mengikuti jejak sepatu tuanya beberapa langkah aku sudah bisa menemukan sosok badannya yang bungkuk. Anehnya, langkah kakek justru menuju sebuah hutan yang lebat. 

“Apa kakek akan mencari rumput untuk makan sapi kami?” pikirku. 

Hutan itu terlihat masih segar, pepohonan tumbuh dengan lebat dan semak menjulang tinggi tidak teratur. Aku sedikit merasakan kesengsaraan karena itu. Kulitku tertusuk oleh ujung semak dan menciptakan luka kecil. Tetapi aku harus tidak mempedulikannya untuk tetap menjangkau jejak kakek yang terasa cepat olehku.      

Tiba saja kami sampai di sebuah telaga yang luas dengan warna airnya yang dapat berubah-ubah merah-kuning-hijau mirip traffic light. Aku terpana seketika, tersirih oleh keindahan semesta yang selama ini ternyata terselip di antara keramaian klakson mobil, debu, gedung-gedung dan penghuninya yang individualis.  

Telaga ini sungguh keren!  

Kulihat kakek masuk ke sebuah goa yang tidak jauh dari telaga itu. Namun aku merasa ini terlalu jauh. Haruskah aku mengikuti kakek untuk masuk ataukah kutunggu kakek di sini? Kebimbanganku ini tanpa sadar mengerakkan kakiku untuk berdiri di depan telaga, melihat pantulan diriku sendiri. 

Ya, aku akan menunggu kakek saja. 

Tetapi lama-kelamaan ada yang aneh dengan air di telaga ini. Ia bergerak dan gelembung udara mulai bermunculan. Ada kepala manusia setelahnya, aku hampir saja berteriak jika saja itu bukan manusia. Dia terlihat seumuran denganku.

“Siapa kau?” tanyaku. 

“Siapa namamu?” tanyaku sekali lagi karena bocah itu hanya menatapku. Antara takjub dan kaget—entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.

“Kakek,” ucapnya.
“Kakek? Namamu kakek?”

Dia menggeleng. “Kakekmu akan segera ke sini.”

Aku menoleh ke belakang, kakek telah keluar dari goa. Dia memikul beberapa ranting pohon yang kering. Segera aku bersembunyi di balik semak dan memberi isyarat kepada bocah itu untuk bungkam. Kakek semakin mendekat dan aku semakin merapatkan diriku dengan semak. Bocah tadi juga menghilang, sepertinya dia juga bersembunyi dengan menyelam ke dalam air. 

“Ken, keluarlah,” samar-samar aku mendengar kakek memanggil seseorang. Penasaran, aku sedikit mengitip kepada siapa kakek berbicara.

Tidak selang berapa lama keluarlah bocah yang tadi berbicara kepadaku. Dia tersenyum pada kakek dan menyambutnya dengan girang. Kakek menyuruhnya naik ke daratan. 

Tapi tunggu, apa aku sedang salah lihat? 
Setengah badan bocah itu adalah kuda. Tanpa sadar badanku bergerak ke belakang dan mengenai semak belukar. Aku berteriak. 

Sial.

“Siapa di sana?” ucap kakek waspada.

“Aku,” ucapku menyerahkan diri. Dengan sedikit menahan sakit aku berjalan menuju kakek dan bocah yang panggil Ken olehnya.
“Kenapa kau disini Aksa?”

Akhirnya aku mengatakan semua yang kulakukan dari mengoleskan saos di sepatu kakek, mengikutinya hingga rasa keterkejutanku saat ini. Singkatnya, kakek juga menceritakan bagaimana ia bertemu dengan Ken, siapa Ken, alasan mengapa ia pergi ke sini, dan memintaku untuk tidak membocorkan ini kepada siapapun. 

***

Kami akhirnya memutuskan untuk membawa Ken pulang. Dia tidak menakutkan, justru sering membantu kami untuk berberes rumah. Mungkin untuk sekarang ini keberadaannya aman karena pemerintah masih menetapkan daerah kami sebagai zona merah. Jadi tidak akan ada orang yang bertamu ke rumah. Tetapi bagaimana jika orang mulai curiga dengan keberadaannya, karena—maaf, kotorannya (seperti kotoran kuda) yang berada dibelakang rumah kami bisa saja segera tercium, sedangkan kami tidak pernah memelihara seekorpun kuda.

Kami benar-benar melarang dia untuk berkegiatan di luar rumah. Bahkan kami mulai menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi, satu kecerobohan saja bisa mengacaukan hal yang sebelumnya sudah rapi-rapi dijaga. Karena itu, sekalipun keluarga dekat kami tidak akan memberi tahu mereka dengan mudah. 

Rasanya masih tidak percaya jika ada makhluk seperti Ken. Kukira mereka hanya mitologi Yunani. Namun hingga beberapa hari Ken menetap di rumah aku masih bertanya-tanya, makhluk apakah ia? Dari sebuah catatan yang pernah aku baca, orang banyak mengategorikan dia sebagai makhluk liminal atau berada di antara dua sifat. Dia berasal dari Bangsa Kentaur, jika Kentaur dijelaskan memiliki watak yang kurang baik, bengis, dan arogan. Ken malah memiliki hati yang baik, cerdas, dan begitu tanggap. Terbukti dalam beberapa kali mengajarinya dia telah menguasainya dengan baik.

Hari-hari kami begitu menyenangkan. Ken sangat membantu permasalahan yang kami hadapi. Kecerdasannya terus meningkat setiap kali ia mempelajari hal baru. Aku pun tidak segan-segan mengajarinya membaca dan meminjami buku. Hingga hari yang mengerikan itu pun datang. Ken semakin pintar. Dia meminta kebebasan. Padahal kami mencoba untuk merahasiakan keberadaannya.

Belakangan dia juga bermain senapan yang biasa dipakai kakek. Aku takut jika ia akan berbuat yang macam-macam. Dan benar saja ia hampir mencelakai kakek karena mempertengkarkan guling. Entahlah, mungkin ini terpengaruhi oleh usia mereka. Ken yang masih begitu muda sekalipun pintar dan kakek yang telah begitu tua sekalipun bijaksana. Ah iya, Ken memang tidur bersama kakek sejak kakek mencintai kecerdasan Ken. Mengaguminya.
Malam itu adalah puncaknya, aku tidak bisa menahan lebih lama lagi. Membiarkannya menjadi pintar tidak baik juga, terutama jika lebih pintar dari manusia. Kuambil senapan di atas meja dan berjalan menuju kamar kakek. Aku tidak peduli lagi dan akan menghabisinya malam ini. Sesaat setelah melihat siluetnya aku menembak peluru pertama, kedua, dan ketiga. Aku mendekatinya untuk melihat seberapa ampuh tembakanku. Sayang sungguh sayang. Dia telah melarikan diri dan ketiga peluruku ternyata mengenai kakek. Pria tua itu tewas seketika.

Keesokan harinya polisi menangkapku. Semua bukti tertuju padaku dan aku tidak bisa meyangkalnya. Semua orang hanya mengetahui bahwa di rumah itu hanya terisi olehku dan kakek, selain itu terdapat sidik jariku di senapan. Beruntungnya, mereka mengugurkan hukumanku dan menyatakan aku memiliki gangguan kejiwaan karena terus-menerus menceritakan keberadaan menusia setengah kuda. Ken.


Madura, 28 Maret 2020
Ulul Faricha Luqman.