Judul Buku: Senyap yang Lebih Nyaring
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Circa
Catakan: Pertama, 2019
Tebal: xii + 352 halaman
Senyap
membuat pengalaman melangkah lebih jauh, dan, ketika itu mati, memberinya
martabat sebagaimana sesuatu yang kita sentuh dan tak lenyap.
Apa kerja
penulis? Iya, secara umum tugas penulis dan intelektual ialah bersuara. Namun
Eka, dalam salah satu tulisan di buku ini, meruntut tabir sejarah mengenai
penulis yang memilih untuk memberi pesan dalam bisu. Mereka memilih diam, dari
pada getol berdebat dan menciptakan polemik yang tak berkesudahan sebagaimana
banyak dilakukan kaum intelek masa itu.
Eka mengingatkan
kita pada peristiwa yang menimpa Gabriel Garcia Marquez dan Mario Vargas Llosa.
Dimana pada suatu malam tanpa sebab yang jelas, mereka saling terlibat adu
jotos. Namun, apa yang menyebabkan dua raksasa kesusastraan itu saling
bertikai? Mereka, sampai akhir hayatnya memilih diam.
Kesenyapan juga
pernah melingkupi Albert Camus dan Jean Paul Sarte. Kita tahu, dalam sejarah
tak ada yang menyangka kalau dua sahabat yang amat dekat itu memilih jalan
untuk saling membisu. Yang semakin membuat haru, perseteruan ini terjadi di
ujung-ujung usia Camus. Sejak kedua tokoh itu memiliki pandangan yang berbeda
terkait perang di Afghanistan, konflik semakin meruncing. Hingga pada suatu
hari, Camus tewas dalam sebuah kecelakaan mobil.
Diamnya Camus,
dikenang oleh Sarte dalam obituari yang dibacakan olehnya. Sarte mengakui kalau
mereka bertengkar, ia menghormati keputusan Camus untuk diam. Akan tetapi, di
setiap pagi, ia selalu bertanya, apa yang dipikirkan Camus ketika membaca koran
hari itu, kadang ia juga mengaku kalau kebisuan Camus juga menyakitkan. Sarte
yakin, suatu hari Camus akan bicara, Camus akan berubah sebagaimana dunia
berubah. Tetapi ia salah, sampai akhir hayatnya Camus tetap membisu. Kebisuan
yang terdengar nyaring, yang menggema panjang bahkan hingga hari ini.
Lalu, kembali
pada pertanyaan awal; apa tugas penulis?
Bagi Eka sendiri, di tengah kebisingan dan semua orang bisa bersuara,
tugas penulis adalah diam. Ada saatnya penulis harus diam, menutup mulut dan berpikir
lebih panjang. Sebab senyap, kata Eka, sering kali memberi pesan yang lebih
nyaring dari apa pun.
Eka kurniawan
merupakan seorang penulis kelahiran Tasikmalaya 1975, karyanya Cantik itu Luka
sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Buku ini sendiri merupakan kumpulan
dari tulisan-tulisannya yang diposting di weblog atau blog. Ditulis dari rentang waktu 2012 sampai dengan
2014, buku ini memuat sekitar 109 tulisan. Tulisan-tulisan tersebut berupa
resensi, pandangan penulis terhadap kesusastraan serta beberapa tips tekait
menulis dan membaca.
Tulisan-tulisan
di Blognya, bagi Eka tak ubah remah-remah roti yang ditabur Hansel dan Gretel
sebagai penanda. Sebab kenangan –atau sesuatu yang hendak kita ingat – dari
sebuah buku harus bersaing dengan nomer telepon, nama kenalan, pembayaran
tagihan, atau materi kuliah di kepala kita. Sedang kenangan itu adalah sebuah
hal yang membuat candu. Percakapan antar tokoh, adegan demi adegan di setiap
plot, atau gambaran tokoh, menjadi sensasi tersendiri. Sensasi itulah yang
membuat sebuah buku menjadi kenikmatan bagi pembacanya.
Maka blog
adalah medium bagi Eka untuk mengekalkan sensasi itu. Remah-remah roti yang
ditaburnya itu, kelak yang akan ia cari di sepanjang perjalanan hidupnya,
sebagaimana yang dilakukan oleh Hensel dan Gratel.
Membaca buku
ini, sama dengan mengintip ruang-ruang imaji seorang Eka
Kurniawan. Lewat jurnal-jurnalnya, sedikit banyak kita dapat melihat gambaran
mengenai proses kreatif Eka dalam dunia kepenulisan. Tulisan-tulisan yang
terdiri dari satu paragraf dengan lima ratus sampai enam ratus kata tersebut,
berhasil menjadi remah-remah yang ditabur penulis. Sehingga, bukan hanya Eka
yang dapat menengok kembali jalan yang telah dilaluinya, tetapi kita sebagai
pembaca bisa mengerti kemana Eka melangkah.
Di samping
semua itu, ada hal menarik dari seorang Eka Kurniawan. Dalam satu
tulisannya, ia mempertanyakan, apakah bacaan kita tumbuh dengan semestinya? Menjadi
pembaca yang dewasa, menurutnya tidak hanya ditentukan oleh bacaan yang
dipegang. Bagi Eka, yang terilhami oleh wawancara Javier Marias, dewasa adalah
ketika seorang pembaca dapat menentukan kemana ia akan tumbuh. Buku-buku model
apa yang harus dibaca sekarang, besok, dan selanjutnya.
Dari sana, Eka
kemudian mencoba membaca karya-karya kontemporer karya penulis kelahiran tahun
’50 ke atas. Dalam satu tahun ia melahap karya-karya penulis, katakanlah, Enrique
Vila-Matas, Cormac McCarthy, Miguel Syjuco, Michael Houellebecq, Javier Marias,
Caesar Aira, dan Andrey Kurkov.
Tahun
berikutnya, sesuai dengan target yang telah ditentukan, ia kembali membaca
karya-karya klasik macam Don Qijote-nya Carvantes, membaca karya-karya Gabriel
Garcia Maquez, kumpulan cerpen dari penulis Prancis, Maupassant ataupun penulis
Rusia Dosteyovsky. Bahkan Eka juga membaca Aristoteles, Clairice Lispector, dan
karya-karya penulis Amerika dari generasi El Boom.
Yang juga tidak
dapat dikesampingkan dari seorang Eka Kurniawan adalah pandangannya mengenai
dunia kesusastraan. Beberapa jurnalnya merekam komentar Eka terkait
perkembangan dan jalannya kesusastraan di Indonesia, khususnya. Eka bahkan
mengkritik redaksi dari Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengatakan kalau kami
–Seniman Gelanggang, merupakan ahli waris kebudayaan dunia yang sah. Redaksi ahli
waris dalam perspektik wirausaha, mengasosiasikan sebagai penerima enaknya
saja. Orang tua yang berusaha, ahli waris yang menikmati. Lebih jauh, Eka
Kurniawan memandang manifesto tersebut merupakan cerminan dari sebuah jiwa-jiwa
bermental tempe, jiwa inferior yang tak berani bertarung di kelas berat.
Selain
membicarakan sastra, Eka juga mebicarakan hal lain seperti pengalaman hidup,
pelajaran yang di dapat di satu hari, namun dari semua tulisan yang dibahasanya
merucut kepada pembahasan sastra. Kemudian terakhir, pelajaran yang berharga
dari Eka mengenai baragamnya karya sastra yang ada di pasaran. Baginya, hanya
ada dua jenis karya sastra di dunia ini, yang kita sukai dan yang tidak kita
sukai. Lalu, apakah karya sastra yang tidak kita sukai itu buruk? Belum tentu!
Diresensi oleh: Sirajudin
LPM Spirit Mahasiswa menerima kontribusi karya berupa cerpen, puisi, opini, dan esai untuk ditayangkan di media LPM SM. kirim karyamu ke spiritmahasiswa.lpm@gmail.com