Rocky Gerung dalam Seminar Nasional. Foto : Jii |
WKUTM – Rocky Gerung mengomentari tiga isu nasional dalam
seminar nasional yang digelar di Gedung Graha Utama UTM Lt.10, Jumat (30/8).
Tiga isu tersebut antara lain pemindahan ibu kota, kerusuhan di Papua, dan
seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait pemindahan ibu kota, Rocky mengkritisi pidato
Presiden yang menyilahkan untuk mengkaji putusan pemindahan ibu kota ke
Kalimantan Timur. ”Harusnya keputusan dibuat sesudah kajian, lalu apa
pentingnya melakukan kajian jika sudah ada putusan? Saya tidak mengatakan
presiden dungu, tapi cara berpikirnya yang dungu,” kata Rocky
Isu mengenai pemindahan ibu kota, bagi Rocky, juga merupakan
letak intoleransi dan pembatasan kritis mahasiswa. Mahasiswa, menurutnya,
tengah dibelokkan dengan isu tersebut.
Padahal, nasib republik apabila Papua benar-benar memisahkan diri lebih penting
dari sekedar isu pemindahan ibu kota, ”Saya sepakat jika penempatan ibu kota
harus di pusat atau tengah negara. Akan tetapi yang menjadi persoalannya, apakah
Kalimantan Timur akan tetap berada di tengah jika Papua pisah?” ungkapnya.
Adapun mengenai pemilihan pimpinan KPK, Rocky berpandangan
kalau presiden berhak memilih langsung pimpinan KPK tanpa panitia seleksi.
Sebab KPK, menurut Rocky, merupakan alat presiden untuk memberantas korupsi,
yang jelas 90% komisioner KPK harus dari kalangan akademis karena untuk saat
ini yang terpenting bukan keahlian, tapi integritas.
Dalam kesempatan itu, Rocky juga mengkritisi pihak istana
yang dinilai tidak memiliki konsistensi pemikiran. Hal tersebut menurutnya
adalah akar dari gejala apatis yang ada di masyarakat. ”Keadaan Papua bergejolak,
tetapi masyarakat tenang-tenang saja, itu karena masyrakat juga merasa tidak
diurus oleh pemerintah. Padahal perintah konsitusi adalah sejahterakan rakyatnya,
cerdaskan bangsanya.”
Sebagai pungkasannya dalam seminar yang bertema Merawat
Indonesia dengan Pola Pikir Kritis Sebagai Bagian Dari DNA Mahasiswa itu, Rocky
mengungkapkan bahwasannya pembatasan internet dapat membuat kegagalan dalam
berlogika dan terhentinya DNA kritis. Sebab membangun nalar harus disertai juga
dengan pembudayaan literasi, ”Seringkali gagal soal logika dan DNA kritis
terhenti saat akses internet dibatasi. Untuk membangun nalar kritis harus
budayakan literasi,” kata Rocky.
Diadakannya seminar tersebut,
sebagaimana yang diungkapkan Heri Fathomullah selaku Ketua Pelaksana, bertujuan
untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran kritis dari mahasiswa agar tidak apatis
dengan permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia. Selanjunya, ia berharap
agar mahasiswa dapat memberi solusi dan bisa berperan aktif dalam pembangunan
yang ada di Indonesia. (Ir/S)