Kesan pertama mengetahui soal fatwa golput adalah haram dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam esai yang diterbitkan redaksi Mojok.co (26/03),
yaitu antara bingung dengan marah. Hal itu karena belum bisa mencerna dan
membayangkan bagaimana bisa ada fatwa semacam itu. Namun, setelah berpikir
beberapa menit kemudian bisa tertawa
karena menganggap hal tersebut adalah lucu.
Atas didasari rasa penasaran yang lebih, saya putuskan untuk mencari
tahu dari berbagai sumber awal mulanya. Saat itu media mainstream yang
memberitakan soal fatwa haram golput terakhir pada tahun 2014 silam. Namun,
mendekati subuh Waktu Indonesia Barat (WIB) ternyata sudah banyak berita dari
media mainstream ataupun selentingan warganet yang membahas fatwa golput haram versi MUI. Seperti yang
dilansir Tirto.id terkait pendapat Fadli Zon yang menganggap fatwa tersebut
pemicu kontroversi atau seperti
selentingan Puthut EA baru-baru ini di akun media sosialnya. ”Tanggal 17
April nanti, bukan hanya ada laga antara Jokowi – Ma’ruf vs Prabowo – Sandi,
tapi ada laga antara MUI vs Golput. Golput akan membayar tuntas ancaman haram
dari MUI,” tulis Puthut EA di Instagram pribadinya.
Awalnya niat hati ingin masa bodoh dengan hal tersebut, namun sejak akun
instagram resmi Tempo.co mengutip statement Ma’ruf Amin yang menghimbau
menggunakan hak mencoblos dan tidak takut untuk memilih pasangan berbaju putih,
niat untuk bodoh amat akhirnya gagal. Selain itu mengingat bahwa Agustus 2018
lalu Ma’ruf Amin diminta melepas jabatannya sebagai Ketua Umum MUI ketika resmi
menjadi calon wakil presiden. Karena tidak boleh rangkap jabatan juga diatur
dalam pedoman AD/ART MUI Pasal 1 Ayat 6 butir f. Akhirnya, mencoba mencari
informasi lebih jauh lagi karena seperti ada yang tidak beres.
Fatwa menarik bahwa haramnya
golput adalah hasil dari ijtima’ para
ulama yang dilaksanakan pada 24 – 26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera
Barat. Fatwa yang resmi diumumkan MUI pada 13 Februari 2009 ini awalnya karena
ada tuntutan dari aktivis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat masyarakat
banyak yang memilih tidak mencoblos baik anggota legislatif ataupun pemilihan
presiden. Memang tidak hanya politisi PKS saja saat itu yang resah, namun
aktivis PKS yang mendesak agar golput difatwa haram oleh MUI dengan dalih
menimbulkan kemudharatan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Sempat berpikiran bahwa logika bengkok macam apa lagi terkait golput
dalam pemilihan seperti sekarang ini. Padahal sudah satu dasawarsa fatwa ini
bertahan, namun masih saja tidak memberikan kejelasannya. Selain itu,
kemarin-kemarin MUI kemana saja kok baru mensosialisasikan hal ini
diakhir-akhir masa kampanye? Padahal kebanyakan parpol dan dua calon presiden
yang sering menjadi sumber kisruh sama-sama sepakat berpihak ke milenial. Kan
belum tentu juga milenial dan pemilih baru mengetahui akan hal tersebut.
Walaupun menurut Emha Ainun Najib fatwa belum tentu benarnya, tapi tidak
seperti itu juga. Kontroversi gara-gara fatwa yang dikeluarkan MUI juga tidak
kali ini saja. Lalu, bagaimana status fatwa haramnya golput saat ini?
Mungkin, pendapat menarik dari Dr. Yusuf Al Qardlawi bisa menjadi acuan
untuk menilai fatwa tersebut. Bahwa, umumnya sekarang ini orang pemberi fatwa
bertindak gila, sebab sekarang ini kita mengetahui secara persis bahwa hampir
semua masalah yang ditanyakan, jawabannya kurang mantap, bahkan sering
membingungkan umat. Seringkali menambah keresahan pada masyarakat, padahal yang
masyarakat kehendaki adalah solusi hukum yang jelas dan tegas sesuai
nilai-nilai yang ada dalam Alquran dan sunah (Qardlawi, Yusuf, 1997).
Lalu, bagaimana dengan orang ramai mencibir fatwa golput haram?
Ibnu Qoyim berpendapat bahwa, ketetapan seorang pemberi fatwa cenderung
ditolak dan ditinggalkan dalam masyarakat karena kurang dan tanpa didasari
landasan agama. Selain itu kurang yakin dan bertanggung jawab atas menetapkan
keputusan. Jika pemberi keputusan bukan
yang kompeten dalam bidangnya sekaligus komprehensif terhadap ilmu pengetahuan
lain, maka cenderung fatwanya akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Belum sampai pada taraf fatwa tersebut ditinggalkan, bisa kita lihat dan
nilai, bukannya menuntun umat malah membuat kontroversi. Sebenarnya, saya
sepakat dengan argumentasi dari Emha Ainun Najib di atas. Seharusnya, membuat
kita tidak pusing gara-gara fatwa. Toh siapa yang berani menjamin bahwa fatwa
golput haram adalah benar? Bisa benar dan bisa juga banyak salahnya.
Sebagai seorang yang pernah belajar di pesantren walaupun hanya enam tahun, saya kira MUI seperti
kurang kerjaan saja. Padahal jika golput diharamkan, lalu setelah sepuluh tahun
bagaimana fatwa soal demokrasi? Jika urusan fatwa tidak tersandung urusan
politik dan murni atas dasar keresahan umat, maka fatwa yang keluar dari MUI
tidak akan menimbulkan perdebatan.
Selain itu, setelah enam tahun belajar di pesantren, tepatnya dua tahun
di pesantren modern dan empat tahun di pesantren salaf, hanya satu pedoman
untuk menilai tepat atau tidaknya suatu persoalan, yaitu untuk memaksimalkan
penggunaan akal sehat, sekaligus senada dengan Emha Ainun Najib, K.H Abdul
Ghofur pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat dan Rocky Gerung yang selalu
menggemborkan penggunaan akal sehat.
Seperti: kasus ini, saya berpikiran ada yang seharusnya menjadi
perhatian MUI selain golongan putih. Lagian, awalnya orang memilih pada salah
satu paslon karena selera mereka, bukan karena fatwa golput haram yang akhirnya
harus terpaksa memilih.
Syahdan, bagaimana dengan status fatwa dalam sistem perundang-undangan
negara?
Hal ini sudah banyak menjadi bahan diskusi ataupun dalam tema tulisan.
Jelasnya fatwa tidak mengikat semua warga negara, namun mengikat khususnya bagi
yang beragama Islam. Selain itu, fatwa juga tidak masuk dalam daftar hierarki
undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 tahun
2011. Paling mentok anggap saja fatwa MUI ibarat doktrin dalam sumber hukum.
Tapi, hal itu tidak bisa dipaksakan agar dipatuhi juga untuk nonmuslim.
Andai kata dengan digebernya fatwa golput haram agar orang menjadi memilih
karena takut dosa, saya tidak menjamin keefisienannya. Bagaimana
pertimbangannya dengan umat yang biasa minum alkohol dan berada di golongan
putih? Lagian susah juga berurusan dengan warga +62 soal ini, misalnya, tidak
mau makan daging babi karena haram tapi biasa minum arak, kan lucu. Apalagi
soal golput haram dan sok mau nyalahin masyarakat apabila terjadi chaos.
Seperti itu kah lucunya logika yang seharusnya mengayomi masyarakat?
Alasan memilih golput?
Banyak yang beranggapan siapapun yang jadi tidak akan berpengaruh pada
kehidupan pribadinya, seperti cuplikan wawancara Kumparan ataupun Mata Najwa
yang menanyakan alasan memilih golput. Selain itu juga banyak yang tidak peduli
dengan urusan yang menyangkut politik.
Saya misalnya, adalah contoh orang yang tidak pernah nimbrung dalam
urusan memilih dan dipilih. Saya selalu tidak perduli dengan siapa yang jadi
nantinya, tapi tidak juga menghujat siapapun yang terpilih. Walaupun mengamati
perkembangan dalam dunia sosial, hukum, dan politik itu perlu. Siapapun boleh
benci politik, tapi salah jika tidak tahu soal politik. Juga; saya teringat
dengan guru saya dulu, Fathur Rohim, pemegang rekor membaca puisi terlama
ketika masa akhir kuliahnya di Universitas Darul Ulum, Lamongan. Suatu ketika
dia menjadi juri dalam sebuah lomba teater, dalam keputusannya mengambil juara
tidak ada yang menduduki peringkat pertama. Melainkan yang menduduki juara dua
dari dua kelompok, karena dia menganggap belum ada yang pantas untuk menduduki
juara pertama. Sudah?
Dari cerita Fathur Rohim atau yang biasa disapa Sarkadek itu dan
alasan-alasan lain untuk bertahan di golongan putih. Berarti saya sebagai
muslim mendapat dosa karena melakukan perbuatan yang haram? Kayak dosa cuma
dari golput saja.
Saran saja buat MUI soal fatwa-fatwa mendatang. Bagaimana dengan
janji-janji pemimpin yang tidak ditepati?
Sudah menjadi semacam alur tebar janji bohong dalam dunia perpolitikan.
Lalu, seharusnya MUI tegas dalam menyikapi hal tersebut. Karena jelas pemimpin
semacam itu adalah contoh orang yang munafik, ketika berbicara berbohong,
berjanji mengingkari, diberi amanat menghianati, itu jelas adalah hadist nabi
panutan umat Islam. Kemudharatan
akibat pemimpin munafik semacam itu
memakan korban lebih luas, dan dalilnya juga jelas, bukan kayak golput. Jadi
bagaimana hukumnya, pak?
Saran, nih, pak. Misal kita terjebak dalam sistem dengan segala sesuatu
yang ditulis, bisa ambil jalan tengah dengan misalnya, janji-janji yang
dikoarkan ketika masa kampanye itu ada hitam di atas putih dan bermeterai agar
kekuatan hukumnya jelas. Setidaknya ketika yang tebar janji itu terpilih dan
tidak melaksanakan janjinya bisa dituntut secara hukum atau setidaknya bisa
kita teriaki ”neraka” bersama-sama karena sudah ada fatwa dari MUI yang
menyatakan pemimpin seperti itu haram, misalnya.
Birar Dzilul Ilah
Progam Studi Ilmu Hukum
Universitas Trunojoyo Madura