SETTING & KEKEJAMAN

SETTING & KEKEJAMAN

LPM Spirit - Mahasiswa
Rabu, 16 Juli 2014
           http://thewirelessincome.com/wp-content/uploads/2013/01/goal-setting.jpg 
Kelak akan datang suatu masa dimana hanya untuk uang beberapa dolar, ribuan nyawa bisa tumpas dalam sekejap. Untuk saat ini membunuh adalah perkara mudah yang tidak perlu banyak pertimbangan. Karena membunuh hanya urusan satu tarikan pelatuk. Atau hanya dengan menekan tombol enter di keyboard kompter di satu meja dalam sebuah ruang ber-AC sebuah negara porak poranda dalam sekejap. Seperti Yunani misalnya. Selanjutnya kita hanya menunggu dampaknya: krisis ekonomi berkepanjangan, kelaparan, sampai pada rakyat di satu negara saling bunuh karena sepotong roti. Pembunuhan yang masuk dalam agenda-agenda besar dunia tak akan pernah bisa sampai kita logikakan oleh akal sehat dan dipecahkan dengan teori sosial biasa yang mengaku humanis. Pembunuhan yang dilakukan sebagai jalan menuju sesuatu, setting, bisa dilakukan dengan begitu biasa, rapi dan dingin. Kita tentu tak bisa melupakan bagaimana ribuan orang Yahudi di giring ke kamar gas oleh algojo rezim Nazi saat Hitler berkuasa. Ribuan warga muslim di Bosnia dibantai dengan sangat keparat oleh Serbia di bawah komando Slobodan Milosevic.

 Dan yang baru-baru ini terjadi, ribuan warga sipil harus jadi korban krisis Suriah. Di luar kelompok yang “berseteru”, atau jaringan kelompok yang berkuasa atas setting, kita dibuat untuk meyakini bila “pemusnahan” sebuah kelompok adalah hal yang alami. Atau mengutip kata-kata Stalin: kematian satu orang adalah tragedi, tapi kematian jutaan orang adalah statistik. menjadi benar, karena sampai saat ini kita masih bisa menonton drama Korea dan keluar masuk mall dengan tenang, atau bahkan makan di restaurant paling mewah, menonton film terbaru di gedung bioskop tanpa perlu merasa rikuh atau sungkan-sungkan dan ingat akan ribuan orang yang mungkin saudara kita di bawah ancaman arteleri. Dari kacamata pemikiran humanisme, segala kekejian yang terjadi adalah bagian dari kita sesuatu yang mestinya kita pikirkan bersama penyelesaiannya.

Tapi, sekali lagi, itulah setting yang membuat segalanya mustahil. Televisi dan surat kabar hanya membuat kita yakin bila apa yang terjadi benar-benar di luar dari kolektivitas yang punya kuasa untuk melakukan pembunuhan keparat.Media mengarahkan agar kita berpikir, satu orang harus dikorbankan demi kesucian kolektivitas yang sebenarnya mesti bertanggung jawab. Sekala prioritas hidup dibelokkan hanya menjadi urusan yang sifatnya personal dan pragmatis. Opini publik sebagai dampak media menjadi senjata paling ampuh untuk mempengaruhi banyak hal. Yang paling mengerikan dari itu semua adalah ketika televisi yang sekarang menjadi bagian dari keluarga kita membuat orang-orang awam menghakimi orang-orang yang tak seharusnya menerima.

Andai logika kita sanggup menganalisa benar salah yang terjadi dan melatar belakangi kekejian, kondisi psikologis masa yang apatis membuat kita sublim, merasa sendiri dan menunggu. Sementara kita tau pembantaian yang terjadi di Suriah masyarakat di Desa Toula, wilayah Houla tidak bisa menunggu kita berdiskusi di kampus-kampus dan berdemo untuk menuntut pemerintah melakukan pengecaman dan memberikan pernyataan sikap. Kekejaman butuh lebih dari sekedar pengecaman biasa, butuh lebih dari sekedar diskusi dan membicarakan pembunuhan hanya dalam angka-angka statistik dan teori sosial. Ditambah lagi: pernyataan sikap bagi negara yang tidak sanggup berdiri dengan kakinya sendiri hanya serak yang ditelan sunyi. Dalam sejarah dunia, berbagai tragedi pelenyapan masal hanya selesai sebagai sejarah untuk bercermin dan pamer kebijaksanaan; dimana seakan-akan kita telah melakukan sesuatu dan bebas dari rasa bersalah. Pada dasarnya rasa bersalah hanya mungkin ketika kita menjadi pelaku. Tidak ada cara belajar paling baik kecuali dengan mengalami sendiri. Tanpa itu semua, kita hanya menjadi penggembira yang merayakan sejarah dengan sikap paling bijak.

Bagi pelaku, setelah semua berlalu, mereka hanya sekumpulan masyarakat yang sentimentil yang siap dengan kekejaman selanjutnya, baik sebagai subjek atau objek. Karena saya sangat percaya bila kecenderungan untuk menindas dimulai dan dipelajari saat sedang tertindas. Dan untuk siapa yang akan menindas dan ditindas, semua murni karena urusan momentum. Lain tidak. Momentum untuk sebuah tujuan besar suatu kelompok, negara, hanya mungkin ketika bisa berkehendak, bukan dikehendaki. Dan berkehendak dalam sebuah kelompok, negara, bisa terjadi ketika mampu untuk mandiri. Tapi, bisakah kita mandiri bila untuk bernapas pun harus dengan bantuan lembaga-lembaga donor yang membantu dengan kompensasi paling mencekik. Hal ini juga merupakan kekejaman dalam bentuk lain, ketika kita tak sanggup keluar dari jerat hutang, kesanggupan satu-satunya agar tidak berlanjut pada agresi militer adalah melacurkan diri. Menggadaikan sikap adalah langkah awal yang ditempuh, sebelum kita diperkosa dengan cara tidak hormat. Seperti masalah freeport di Papua, misalnya.

Diam-diam aku merindukan keberanian suku-suku Indian yang lebih memilih mati ketimbang jadi bulan-bulanan gelandangan kulit putih Eropa yang cari peruntungan. Keyakinan mereka akan harga diri, kepercayaan akan kebebasan, keseimbangan, dan keberanian menghadapi rasa sakit, membuat tanah mereka jadi berdarah-darah. Keteguhan filsafat mereka sebelum kalah perang patut dihargai. Tapi, apa semua harus selesai dengan amuk? Apakah jalan berkompromi menjadi begitu rumit dan berliku di tengah gempuran badai sejarah yang terus berulang? Pada sebuah sesi omong kosong, saya bercerita pada seorang kawan tentang arti dari sebuah harga diri yang tidak ditempuh dengan jalan berdarah-darah adalah eufimisme dari sikap pengecut. Intinya, kekejaman harus dilawan dengan bedil yang terkokang, ketapel, atau mungkin pisau dapur. Membodohkan diri untuk melupakan lawan-lawan kita punya senjata otomatis, nuklir, senjata biologis. Meyakini bila setiap orang memiliki ketakutan dan kegelisahan yang sama.

 “Kita ini bukan mereka. Bukan orang Indian seperti kata-katamu. Kita hidup di negara berkembang yang sudah semestinya melakukan perjuangan-perjuangan lewat taktik dan strategi. Mengawali segala perjuangan dan jerat halus kapitalisme dengan jalan kesadaran intelektual. Kita masih bisa menghalau tank dengan jalan berdiplomasi secara sehat. Kalau seperti apa yang kau katakan, untuk apa kita sekolah tinggi-tinggi?” Tukasnya. Aku berbaik sangka dengannya, sebab kadar intelektualnya sudah jauh di atas orang yang bukan pecandu perkuliahan sepertiku. Kesimpulannya, kontrol sosial dan tindakan kongkrit yang perlu dan relevan adalah membawa kembali kekejaman yang sudah bukan lagi wacana ke dalam diskusi-diskusi mingguan kampus dan membicarakannya seperti seorang resi cabul yang hanya bisa mendakwah dan pamer kebijaksanaan.

Saat itu juga aku membayangkan bila dosen-dosen yang mengajari mereka teori sosial adalah Lenin, salah satu yang memenangkan dunia dengan komunismenya, yang melakukan perubahan (revolusi) dengan bedil dan darah. Mungkin kita lupa tragedi 11 September adalah salah satu bagian dari setting yang mampu menghabisi rakyatnya sendiri untuk bisa sekedar menggelorakan perang melawan terorisme. Kalau kekejaman berarti sebuah invasi untuk memporak-porandakan negara lain demi tujuan-tujuan tertentu, lantas dengan tragedi 11 September jalan untuk memfitnah Osama dan rombongannya untuk melegitimasi Bush memekikkan terorisme bukan sebuah kekejaman? Lalu apa yang lebih kejam dari kekejaman itu sendiri? Kalau yang kita katakan purba adalah menarik pelatuk ke kepala bayi-bayi yang tidak bersalah. Lalu bagaimana dengan perilaku diskusi dan kajian permasalahan sosial, semantara satu menit waktu yang kita pakai diskusi berarti satu kepala tertembus peluru? Apa yang lebih purba dari purba itu sendiri? Menurut logika setting, beragam kekejaman yang terjadi di Suriah adalah jalan masuk untuk melakukan pembenaran untuk melenyapkan rezim Presiden Bashar Al-Assad, karena mungkin dia adalah pion-pion setting yang keras kepala dan tidak mau disingkirkan, sedangkan waktu untuk dia berperan sudah habis. Konflik dan kekejaman yang berangkat dari setting adalah jalan menuju sesuatu; untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang hampir mustahil kita tau. Karena yang biasa terjadi adalah ketepatan-ketepatan analisa yang terlambat terkait agenda setting. Itu sudah biasa terjadi: kita baru saja sadar, semua telah musnah. 

Mei, 2012