Media

Media

LPM Spirit - Mahasiswa
Jumat, 17 Mei 2013

Oleh : Ghinan Salman

“Independensi merupakan hal yang penting. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi karena sesuai dengan etika. Keberimbangan, liputan dua belah pihak, dan independensi yang tinggi yang membuat surat kabar layak dikonsumsi”
–Amir Siregar, mantan Sekretaris Jenderal Serikat Penerbit Surat kabar (SPS)

Media massa memiliki peranan sebagai penyebar pesan dan informasi yang melibatkan jumlah komunikan banyak, tersebar dalam area geografis yang luas. Namun akhir-akhir ini, tiras media cetak mengalami kemerosotan. Pers umum makin kehilangan kemampuannya dalam menggali realitas. Sebagian pers umum di Indonesia saat ini gagal meredefinisikan fungsinya di tengah-tengah perubahan drastis. Telah terjadi semacam kekagetan yang menyebabkan disorientasi dalam menghadapi berbagai masalah yang mencuat ke permukaan.

Perubahan yang terjadi dari distorsi media umum kekinian, terutama secara politik, mengakibatkan persoalan-persoalan di negeri ini carut-marut. Banyak kasus-kasus yang belum bisa tertuntaskan oleh media umum. Media umum bukan lagi sebagai pemberi informasi yang baik bagi khalayak publik. Dalam perilaku media itu sendiri, keuntungan tertentu yang mendukung kepentingan pemodal justru tidak mencerdaskan bangsa, tapi malah menjerumuskan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4psQGTne5ElXSRr2cPDCwOsyOaV3HJ1TL84Tq53fV3fCuBn4z_q7lh7IpcDYhzQ2kNroBwu-ENcnoSLcNCvuVweLObej_0wSptGAwgVZ5S4A8jW_bj80EHOkN1WhkXzfZzdTXGFrDOck/s1600/Segi3+Media.jpgNamun demikian, telah menjadi kekuasaan pemodal untuk mendukung dan mencapai tujuan politiknya. Disadari atau tidak, pengaruh media sangat kuat dalam upaya mempengaruhi pikiran publik komunikan. Subjektivitas pemodal diagung-agungkan dengan alatnya, media itu sendiri. Media ditekan menjadi layanan propaganda yang notabene para pelaku media itu sendiri adalah elite partai yang berkuasa.

Tidak adanya keberagaman konten atau isi, barangkali menjadi salah satu penyebabnya, di samping banyaknya kecurangan lain. Terlebih pemilik modal di negeri ini hanya segelintir saja. Dan kebanyakan dari pemilik media tersebut adalah orang-orang yang berpengaruh di partai politik. Sudah pasti, para pemilik media saling baku hantam untuk mendapatkan posisi tertinggi dalam mempengaruhi asumsi masyarakat.

Publik komunikan yang rata-rata anonim hanya bisa pasrah dan menelan begitu saja tanpa melakukan proses evalusi dan menelaah secara mendalam terkait pemberitaan-pemberitaan yang muncul ke permukaan publik. Media yang seharusnya berpihak kepada kepentingan publik bukan lagi sesuatu yang wajib yang mesti diutamakan.

Apalagi media umum cenderung memberikan tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Contohnya seperti pencabulan, perampokan, korupsi, kekerasan dan kerusuhan. Tayangan-tayangan semacam ini dapat mengkonstruksi pikiran publik dan membentuk stigma negatif pola pikir masyarakat dalam mencerna isi media saat ini. Pemahaman terhadap pengaruh media umum menurut hemat saya perlu untuk diketahui publik. Sudah selazimnya publik komunikan diajarkan tentang kesiapan diri untuk mengaktualisasi pikiran pembaca melalui media yang ditawarkan.

Di lihat dari sisi pendidikan dalam kaitannya dengan pers atau media mainstream, institusi atau lembaga pendidikan di Indonesia dinilai kurang dan jarang sekali memberikan pemahaman terhadap peserta didik tentang pengaruh media yang semakin menderas, terutama belakangan ini. Hal ini semestinya menjadi ultimatum, bom waktu yang sewaktu-waktu bisa saja membumi-hanguskan alam bawah sadar bila terus menerus didiamkan.

Satu hal yang ingin saya ajukan sebagai pertanyaan, barangkali bisa menjadi pertimbangan. Sejauh ini, apakah lembaga atau institusi pendidikan sudah menerapkan cerdas media atau melek media kepada khalayak umum, terlebih kepada para peserta didik? Pendidikan di Indonesia menjadi sangat relevan sekaligus urgen mengingat sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi memiliki kelimpahan akses pada media.

Cerdas media atau melek media yang dimaksudkan di sini adalah proses kritis dalam menganalisis dan mengevaluasi mana tayangan atau pemberitaan yang layak dilihat, dibaca dan mana yang tidak layak. Sehingga, para pemirsa atau pembaca memiliki pertimbangan subjektif untuk menentukan sendiri perspektif yang dimiliki dan tidak terkungkung dengan arus konstelasi politik yang muncul dalam pusaran media umum saat ini.

Pers Alternatif Menjadi Nilai Tawar Ketika Pers Umum Sudah Tidak Lagi Independen

Sejarah organisasi pers mahasiswa di Indonesia selama ini kurang diperhitungkan. Pers mahasiswa acap kali diposisikan sebagai organisasi yang terpinggirkan dalam bingkai sejarah pergerakan mahasiswa. Tidak banyak kalangan yang mengulasnya. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai salah satu organisasi pers mahasiswa, dapat menjadi suatu pertimbangan untuk merespon arus besar perubahan sosial-politik.

Penegasan orientasi pers mahasiswa pada isu-isu kerakyatan merupakan bentuk konsistensi untuk mengawal perubahan demi kebaikan bersama. Pers mahasiswa lebih memilih jalan sunyi untuk menjaga jarak dengan kekuasaan agar tetap konsisten menjaga independensi dan semangat idealisme pers mahasiswa, serta keberpihakan kepada rakyat.

Tugas pers mahasiswa sebagai organisasi yang bergerak di bidang permediaan, tentunya memiliki caranya sendiri. Bedanya dengan pers umum, pers mahasiswa menekankan arah geraknya –melalui medianya sendiri– untuk memberi penyadaran kepada para pembaca, publik komunikan melalui media alternatif untuk menyuarakan kepentingan publik tanpa ada intervensi dari partai politik maupun elite politik.

Banyak fungsi dan harapan yang tersandar pada pers mahasiswa sebagai pembela kemerdekaan yang membeberkan kebanaran objektif kepada publik. Meski, sampai saat ini independensi pers mahasiswa selalu coba dikebiri. Di kampus-kampus seluruh Indonesia terdapat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang bernaung dalam tubuh PPMI. Para lakon pers mahasiswa ini selain menerbitkan buletin, koran, jurnal dan majalah, mereka juga kerap kali memberikan pelatihan-pelatihan jurnalistik dan pemahaman mengenai media literacy di berbagai kampus di Indonesia.

Dibandingkan dengan pers umum, media alternatif yang berbasis di kampus-kampus jauh lebih konsisten dan tetap setia memperjuangkan idealismenya dalam bermedia. Pers mahasiswa tetap setia mengawal isu-isu yang berangkat dari kepentingan publik dan megkaji berbagai kasus yang belum terselesaikan dalam bentuk konkret. Pers mahasiswa menjadi ujung tombak terakhir di tengah ketidakpastian media umum yang berpihak pada golongan tertentu untuk mencapai tujuan pemodal.

Ketika pers umum tidak lagi independen, satu-satunya cara adalah memberikan pemahaman yang mereduksi pola pikir masyarakat, agar mampu mencerna dan tidak terjebak dalam konspirasi politik media. Konspirasi politik media yang dimaksudkan di sini adalah persekongkolan antara pemodal, pemerintah, para aktor elite partai politik, arus pasar global dan tentunya media itu sendiri.

Apabila kesadaran ini mampu di terima oleh masyarakat, barangkali masyarakat pembaca bisa berpikir selektif dalam mengkonsumsi isi media yang ditawarkan pers umum. Maka, dengan semangat pers mahasiswa –wartawan tanpa bayaran– yang mengatas-namakan kebenaran demi tercapainya kebaikan bersama, pers mahasiswa berangkat dari kebentingan publik mau tidak mau harus mengubah paradigma pola pikir masyarakat untuk mewujudkan arah tujuan hidup yang baik dalam upaya mencerdaskan bangsa. Dan kebaikan hidup bersama merupakan harga mati yang tidak bisa terbantahkan.