Esai: Setiap May Day Demo Terus, Hasilnya Apa?

Esai: Setiap May Day Demo Terus, Hasilnya Apa?

LPM Spirit - Mahasiswa
Rabu, 30 April 2025
Seperti namanya, May Day! Kerap diperingati dengan aksi demonstrasi yang menyuarakan hak-hak buruh. Setiap tanggal 1 Mei, para buruh di seluruh dunia, termasuk Indonesia akan turun ke jalan, dengan membentangkan spanduk, baliho, dan pengeras suara. Berharap, pejabat hingga atasan mereka mengerti tentang apa yang dirasakan oleh para buruh ini.

Sejarah May Day memang tak pernah bisa dilupakan, mulai dari gerakan buruh Amerika yang menuntut hak 8 jam kerja, di saat pada waktu itu, normalnya jam kerja buruh adalah 10-16 jam sehari. Tentunya perjuangan ini tidak gratis, karena ratusan orang tertangkap, dan setidaknya 4 orang dihukum mati pada demonstrasi itu, karena diduga telah melakukan pengeboman terhadap warga sipil dan juga polisi. Meskipun begitu, hingga kini dalang pengeboman tersebut tidak pernah terbukti.

May Day, harusnya tidak hanya sebagai pengingat bagi kita para pejuang kelas yang pada akhirnya memenangkan perlawanan buruh proletariat melawan kaum borjuis kapitalis! Akan tetapi, juga dapat menjadi momentum bersatunya seluruh buruh di dunia, seperti yang dikatakan Karl Marx.

Berbicara tentang buruh dan Karl Marx, nampaknya adalah satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Apalagi alasan terbentuknya May Day ini juga dikarenakan gelombang protes dari gerakan buruh sosialis Prancis. Jadi, stigma buruh adalah kaum kiri, marxis, sosialis, leninis, denis, dan is-is yang lain, tidaklah salah.

Namun, yang perlu kita renungkan sebagai kaum buruh adalah bahwa gerakan buruh sudah tidak sedahsyat dulu lagi. Kenapa begitu?

Saya mendengar dari wawancara Mas Jumhur Hidayat, selaku Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang menyatakan jika aksi May Day 2025 ini, pemerintah akan menggandeng serikat-serikat buruh yang ada di Indonesia untuk mengadakan May Day Fiesta uang. Menariknya, konon acara May Day ini akan dihadiri langsung oleh Presiden kita, Pak Prabowo. Mas Jumhur telah mengeklaim bahwa setidaknya nanti akan ada 4 serikat buruh yang akan bergabung dalam gerakan May Day 2025 ini. Melihat hal itu, Mas Jumhur menyatakan sikapnya akan terus konsisten untuk bersama rakyat dan memilih posisi yang berseberangan dengan pemerintah dan serikat buruh lainnya. Dirinya dan kawan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) telah berkomitmen untuk tidak akan menghadiri aksi May Day Fiesta tersebut.

Ini menjadi menarik, karena banyak orang yang mengira jika gerakan buruh telah dipecah dan digembosi oleh pemerintah dengan cara kolaborasi-kolaborasi seperti ini.
Menurut saya, masyarakat berlebihan jika sinis terhadap tindakan pemerintah yang mengadakan May Day Fiesta ini. Hal ini dikarenakan penggembosan aksi buruh ini bukan dilakukan melalui aksi kolaborasi seperti ini. Bahkan menurut saya, jauh sebelum itu.

Jika merujuk pada organisasi Mas Jumhur tadi, dalam akronim KSPSI tadi tidak tertera sama sekali diksi buruh. Namun yang tertera adalah diksi pekerja. Kenapa hal ini penting untuk disoroti?

Karena untuk saat ini, nama buruh telah terkesan buruk di pandangan umum masyarakat. Istilah buruh kerap kali di artikan dengan pekerja yang ada di kalangan kelas bawah, kondisi yang menyedihkan, suka demo, dan seterusnya. Berbeda dengan istilah pekerja. Padahal, diksi buruh telah memiliki sejarah panjang, bahkan banyak penulis, teoritis, bahkan sastrawan menggunakan diksi ini untuk menggambarkan perjuangan kelas yang dilakukan kaum pekerja untuk menentang kezaliman majikan mereka.

Menurut segelintir orang mungkin akan menganggap saya alay atau berlebihan, karena mempermasalahkan penamaan seperti ini. Terkesan receh memang, silakan saja jika berpikir begitu. Tapi mbah saya Michell Foucault, telah menyatakan bahwa setiap kata yang ada di dunia ini tidak boleh hanya dimaknai sebagai rangkaian huruf yang digunakan untuk menandai suatu hal, namun juga penamaan-penamaan di dunia ini penuh dengan wacana, khususnya jika itu berurusan dengan pemerintah. Wacana dalam konteks ini adalah makna yang sengaja dibangun untuk membentuk citra tertentu agar kata tersebut memiliki kesan dan mengarah pada pesan tertentu.

Dalam hal ini, kata buruh yang beralih atau sengaja dialihkan menjadi pekerja, akan membentuk stigma jika para buruh memang normalnya bekerja saja, tidak perlu memusingkan urusan hak mereka, selama mereka di gaji oleh majikannya, berapapun itu, maka teruslah "bekerja".

Begitu, kira-kira makna yang bisa saya tangkap.

Hal ini bisa teman-teman lihat di kalangan pekerja kantoran. Mereka yang memakai seragam rapi, wangi, sepatu pantofel, dan berdasi, apakah sudi jika mereka dipanggil buruh? Atau kalian pernah nampak mereka yang ada di kantor dengan pakaian seperti itu melakukan demonstrasi setiap tanggal 1 Mei atau demo-demo yang lain? Kenapa kira-kira mereka tidak mau demo?

Inilah yang saya maksud sebagai upaya penggembosan paling dahsyat daripada ajakan kolaborasi pemerintah kepada para serikat buruh untuk melakukan aksi May Day Fiesta. Hal ini karena labelisasi bahwa buruh itu buruk, dan pekerja itu baik, dapat mengaburkan semangat perjuangan kelas. Mereka yang sebenarnya juga sama-sama buruh, tapi merasa seolah dirinya juga majikan, dan merasa lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disebut buruh.

Namun saya juga tidak bisa menyalahkan kaum pekerja juga ketika mereka tidak ingin bergabung pada gerakan buruh. Hal ini karena tanggung jawab perjuangan kelas ini seolah memang diserahkan pada pundak para buruh yang sebenarnya setiap harinya sudah pusing memikirkan urusan perut mereka. Harusnya, kalangan akademisi seperti guru, dosen, profesor, peneliti, bahkan influencer dan konten kreator, yang notabenenya memiliki kekuatan untuk menggerakkan massa juga, untuk ikut mengawal spirit perjuangan kelas ini.

Pada akhirnya, istilah buruh hanya terkotak pada orang yang bekerja di sektor manufaktur atau industri, seperti buruh pabrik kasar, dan sejenisnya. Padahal, selama mereka bukan pemilik modal, selama itu pula status mereka adalah buruh.

Akhirnya, tak jarang aksi buruh mendapatkan respon negatif, tidak hanya dari kalangan atas pemilik modal saja, tapi juga dari kalangan buruh yang merasa dirinya juga dari kalangan atas, seperti supervisor, HRD, dan sejenisnya.

Tapi ini tidaklah salah, karena kapitalisme sejatinya sudah berkembang. Dan menurut saya, sudah saatnya mindset perlawanan kelas kita juga harus berkembang. Tidak bisa jika kita hanya mengandalkan spirit Marxisme atau sosialisme yang nyatanya sudah tidak relevan di zaman sekarang.

Menurut saya, perjuangan kelas saat ini, khususnya di Indonesia telah kehilangan sosok yang bisa dijadikan pemersatu gerakan.

Coba deh, lihat film Joker (2019). Awalnya, pembunuhan 3 orang pria di kereta bawah tanah yang dilakukan Joker motifnya adalah keterpaksaan. Hal ini dilakukan Joker hanya untuk membela dirinya yang saat itu dianiaya oleh 3 orang tersebut. Namun, blunder yang dilakukan oleh Thomas Wayne pada saat itu adalah menyebut jika pembunuhan 3 pria tersebut dipelopori oleh semangat anti orang kaya.

Oleh karenanya, alasan tersebut akhirnya yang berkembang luas dan diterima oleh masyarakat. Gotham City yang notabenenya saat itu sedang dilanda kekacauan sosial-ekonomi, menjadi relevan ketika masyarakat yang sudah lama resah ini kemudian menemukan alasan untuk memberontak. Joker yang mendadak menjadi simbol perlawanan kelas bawah saat itu, telah berhasil menumbangkan kekuasaan kaum atas. Meskipun pada akhirnya Gotham City menjadi kota paling berbahaya.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah perjuangan kelas atau gerakan sosial haruslah memiliki simbol. Jika gerakan buruh masih saja berkutat pada gerakan-gerakan kecil yang tak terorganisir seperti ini, apalagi dengan adanya dikotomi pengertian antara buruh dan pekerja ini, membuat gerakan buruh menjadi tidak efektif.

Pada akhirnya, gerakan buruh hanya sebagai euforia formalitas satu tahun sekali pada tanggal 1 Mei. Jangan sampai, demo yang dilakukan para buruh ini hanya menghasilkan insta story, kemudian lupa dengan esensi perjuangan kelasnya.

Selamat Hari Buruh, dan bersatulah seluruh buruh di dunia!

Ajie Rahmat Hidayat