Pixabay/Mohammed_hassan
WKUTM – Sejumlah mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menyampaikan laporan penipuan online ke Kepolisian Resor (Polres) Bangkalan, Bank Rakyat Indonesia (BRI), hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) usai terjerat modus penipuan yang mengatasnamakan Shopee.
Salwa Ainiya Tsabitha, mahasiswi Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum, salah satu korban, menjelaskan kronologi penipuan yang menimpanya. Mulanya, ia membeli sandal selop di aplikasi Shopee, tetapi sandal selop yang diterima tidak sesuai dengan gambar dan deskripsi yang tertera. Alhasil mengajukan pengembalian pada aplikasi Shopee.
”Hari Jumat tanggal 29 November barang tersebut datang sesuai alamat rumah saya, setelah dibuka tidak sesuai akhirnya saya mengajukan pengembalian pada tanggal 30 November,” jelasnya (23/12).
Perempuan yang akrab disapa Salwa mengungkapkan, Shopee akhirnya memberikan arahan untuk menggunakan ekspedisi SPX Express. Dengan dua opsi pilihan, yaitu diantar pada SPX Express atau dijemput kurir SPX Express. Salwa memilih opsi kedua untuk penjemputan oleh kurir SPX Express. Meskipun dijanjikan penjemputan oleh aplikasi Shopee melalui SPX Express, kurir SPX Express tak kunjung mengambil barang tersebut, hingga Salwa mencari informasi sendiri melalui aplikasi Instagram.
”Saya mencari informasi melalui Instagram dan menemukan akun spx_madiun. Akun Instagram tersebut memberikan informasi nomor telepon admin Gudang. Saya menghubungi nomor tersebut, dan menanyakan kapan barang tersebut akan dijemput, tetapi tidak ada respons,” ungkap mahasiswa angkatan 21 tersebut.
Pada hari tersebut juga, Salwa menerima telepon melalui Whatsapp, yang memperkenalkan diri sebagai admin SPX. Pihak yang mengaku sebagai admin SPX tersebut menanyakan Salwa apakah sudah menautkan akun rekeningnya pada akun Shopee. Dengan dalih hal tersebut merupakan kebijakan baru Shopee, karena pengembalian dana hanya bisa dilakukan melalui rekening pribadi, tidak melalui Shopeepay. Tak hanya itu saja, pihak yang mengaku admin SPX tersebut menyuruhnya mengaktifkan akun Spinjam dan Spaylater.
Setelah mengikuti arahan pihak admin SPX, terdapat sejumlah transaksi mencurigakan dari aplikasi BRI Virtual Account (BRIVA) miliknya secara dua kali, hingga menyisakan saldonya yang awalnya sekitar Rp1.983.125 berkurang menjadi Rp183.126. Tak hanya itu saja, secara tiba-tiba dirinya juga menerima pemasukan uang dari SPinjam sebesar Rp2.871.000, setelah itu pada pukul 22:30 WIB terjadi pengeluaran melalui BRIVA miliknya sebesar Rp2.843.000.
”Setelah mengikuti instruksinya, uang saya berkurang, selain itu ada pemasukan uang secara mencurigakan dari SPinjam,” ungkapnya.
Kejadian kembali berulang, pelaku meminta Salwa untuk mengunduh sejumlah aplikasi. Buntut kejadian itu, Salwa merasa curiga, sehingga melaporkan kejadian tersebut pada Polre Bangkalan, BRI, dan OJK. Serta dirinya juga telah meminta bantuan pada dosen Fakultas Hukum (FH).
”Kejadian ini telah saya laporkan ke Polres Bangkalan dan juga pihak Bank BRI, pihak BRI meminta saya untuk membuat surat pernyataan penipuan, serta melakukan pengajuan pemblokiran rekening untuk menghentikan penipuan lebih lanjut, saya juga melaporkan kejadian ini ke pihak OJK dengan menyerahkan bukti-bukti terkait, termasuk Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Kepolisian, dan bukti transaksi yang tercatat. Namun hingga sekarang kasus saya belum mendapat titik terang,” jelasnya.
Hal serupa juga dialami oleh Sabila Wiyanti, mahasiswi Prodi Ilmu Psikologi, tetapi berbeda dengan Salwa, Sabila mengungkapkan bahwa tidak melakukan pengajuan pengembalian barang. Meski begitu, dirinya sempat menerima telepon dari pihak yang mengaku dari Shopee dengan menyatakan bahwa dirinya mendapatkan uang sebesar Rp2.000.000. Dengan memberikan bukti berupa Pemenang, KTP dan kartu kantor di mana ia bekerja. Setelah itu pelaku juga menanyakan mengenai hadiah berupa uang tersebut akan dikirimkan kemana pada korban.
”Setelah percakapan yang lama orang itu pun bertanya uang akan ditransfer ke mana. Saya menjawab langsung ditransfer di Shopeepay. Tapi orang itu menyuruh saya untuk mengaktifkan SPinjam dulu. Saya menuruti arahannya, akan tetapi tidak bisa diaktifkan, alhasil saya disuruh mengaktifkan akun di salah satu aplikasi Pinjaman Online (Pinjol) AdaKami. Akibat arahan orang tersebut saya membuat utang sebesar Rp7.000.000,” ujarnya (26/12).
Tak berhenti di situ saja, pelaku juga memberitahu Sabila bahwa dirinya tidak akan mengeluarkan uang sepersen pun. Pelaku menyuruh Sabila kembali untuk mengaktifkan aplikasi Pinjol Kredivo, tetapi tidak mendapatkan limit. Selanjutnya pelaku menyuruh ia untuk mengunduh lagi aplikasi Pinjol Kredit Pintar dengan iming-iming agar mudah dalam proses pencairan uang tersebut.
”Saya sudah merasa aneh di Kredivo dan orang itu bilang bahwa itu hanya pengaktifan bukan utang. Saya mulai gelisah dan memprotes orang tersebut bahwa saya sudah memiliki utang, namun saya pun diancam bahwa harus membayar utang tersebut dan jika tidak mau bayar maka ikuti arahan terakhirnya,” ungkap mahasiswa asal Pamekasan tersebut.
Akhirnya Sabila menceritakan peristiwa tersebut pada temannya. Karena terindikasi penipuan, dirinya segera melaporkan kejadian itu ke Pihak Polres Bangkalan.
”Sampai sekarang saya belum menerima informasi lebih lanjut, hanya saja saya diperintahkan untuk menunggu,” ucapnya.
Tanggapan Pihak Kampus
Surokim selaku Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Alumni menanggapi, bahwasanya dirinya belum menerima laporan terkait peristiwa penipuan online tersebut. Namun, pihak kampus telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Larangan Judi Online dan Pinjaman Online Bagi Pegawai dan Mahasiswa di Lingkungan UTM.
Pihaknya juga mengimbau agar mahasiswa waspada, cermat dan memiliki bekal mengenai literasi keuangan, serta menyarankan agar mahasiswa yang menjadi korban akibat penipuan online melaporkan pada pihak yang berwenang.
”Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah menguatkan literasi keuangan yang sudah menjadi modul pendidikan karakter mahasiswa UTM. Sedangkan untuk tindakan kuratif, melaporkan kepada pihak berwajib bagi yang dirugikan dan menjadi korban,” jawabnya (28/12).
Rusmilawati Windari, selaku dosen pidana Fakultas Hukum UTM menjelaskan, bahwa penipuan online merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan termasuk dalam kategori tindak pidana di bidang siber. Penipuan online saat ini memang marak terjadi sehingga perlu diwaspadai oleh semua pihak, baik masyarakat, penegak hukum, pihak perbankan dan unit-unit usaha yang menjalankan usaha secara online.
”Pelaku penipuan online dapat dikenakan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur tentang penyebaran pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik, dengan ancaman sanksi pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal sebesar 1 miliar rupiah,” jelasnya.
Mengenai kerugian yang dialami korban, pihaknya menjelaskan bahwa korban tidak hanya mengalami kerugian secara materiel tapi korban juga mengalami kerugian secara non materiel.
”Selain sejumlah uang, korban juga mengalami kerugian non materiel dapat berupa kerugian waktu, tenaga, pikiran, emosi, dan yang paling fatal adalah kebocoran data pribadi yang bisa jadi ditanggung korban penipuan online. Adanya kebocoran data pribadi korban, berpotensi besar korban akan menjadi korban kejahatan siber lainnya,” ucapnya.
Wiwin menambahkan, mengenai kasus tersebut, korban dapat mengadukannya ke pihak berwenang. Seperti kepolisian, Customer Service, OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta pihak bank terkait.
”Tentu saja yang pertama adalah Kepolisian kemudian Customer Service dari platform digital yang digunakan korban, OJK, Kemenkominfo, pihak bank terkait. Pihak perbankan bisa melakukan pengamanan akun dan mengubah sandi akun pemblokiran rekening. Sedangkan kalau OJK juga dapat membantu pemblokiran, menutup aktivitas pinjaman dan investasi ilegal,” imbuhnya.
Wiwin berharap, bahwa semua pihak lebih waspada dan membentengi diri dari kejahatan siber seperti kasus penipuan online ini. Serta selalu mencari tahu informasi terkait modus maupun bentuk penipuan online.
“Jangan sembarangan mengeklik tautan-tautan atau pesan-pesan dari orang-orang tidak dikenal dan jangan sembarangan memberikan informasi dan data pribadi kita, apalagi secara online, baik KTP, Paspor maupun kode OTP.” harapnya (tfa/sha)