Memetik Pelajaran dari Samsudin, Tukang Sapu Jalan di UTM

Memetik Pelajaran dari Samsudin, Tukang Sapu Jalan di UTM

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 19 Oktober 2024
Feature - Lebih baik kerja di daerahmu daripada kerja di daerah orang lain. Lebih baik kerja di negaramu daripada bekerja di negara lain

Begitulah celetukan yang keluar dari mulut seorang Cleaning service (petugas kebersihan) bagian tukang sapu jalan. Di lingkungan Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Samsudin bukanlah sosok yang mencolok di antara hiruk pikuk mahasiswa dan staf kampus. Namun bagi mereka yang memperhatikan, ada sosok pria sederhana dengan senyuman yang hangat, setia menyapu jalan-jalan kampus sejak pagi hingga menjelang malam demi menghidupi keluarga.

Samsudin lahir pada tahun 1975 sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, layaknya pria dewasa yang tinggal di Madura, ia sempat merantau mencari penghidupan di kota besar. Surabaya menjadi tujuannya. Di sana, Samsudin bekerja di sebuah pabrik dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran saat itu, mencapai 4,7 juta rupiah per bulan, sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) di Surabaya. 

Namun, nasib kadang tak bisa ditebak, setelah empat tahun bekerja, Samsudin harus menghadapi kenyataan pahit: pabrik tempat ia bekerja bangkrut, dan ia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Meskipun jalan yang dilaluinya cukup berat, tapi tak sedikit pun menyerah. Ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Madura, dengan berbekal cerita dari teman-temannya, pada 2012 ia melamar sebagai petugas kebersihan di UTM bersama 70 pelamar lainnya. Tak disangka, keberuntungan kembali berpihak padanya. Ia diterima bekerja. 

”Saya berhenti dari kerja karena di-PHK, lalu banyak teman saya yang kerja di sini. Kemudian saya coba-coba melamar di UTM, dan akhirnya keterima,” katanya sambil mengingat masa-masa sulit tersebut. (17/10).

Menurut rekan kerjanya, yakni Linda, hidup Samsudin tak pernah lepas dari pengabdian, baik untuk pekerjaan maupun keluarganya. Bahkan sejauh ini, Samsudin masih belum memiliki istri dan anak. 

Sebelum ibunya meninggal setahun yang lalu, ia selalu berada di sampingnya, dan merawat ibunya dengan sepenuh hati. Meskipun memiliki saudara-saudara lain yang berada di rumah, sang ibu lebih memilih Samsudin untuk merawatnya saat sakit.

Dengan penuh kesabaran, Samsudin menjalani hari-harinya dengan ritme yang padat. Pagi hari, ia harus berangkat lebih awal untuk menyapu jalanan kampus, menyelesaikan tugasnya dengan cepat agar bisa pulang sebentar untuk mengurus ibunya, sebelum kembali lagi bekerja di siang hari.

Saat mengenang hari-hari merawat ibunya, mata Samsudin sedikit berkaca-kaca, ”Ibu saya selalu ingin dirawat oleh saya, meskipun ada saudara lain. Ya, saya jalani saja. Sekarang ibu sudah tidak ada, tapi saya tetap bekerja di sini, karena saya percaya, lebih baik kerja di daerah sendiri, dekat dengan keluarga, daripada harus merantau lagi,” katanya lirih.

Selain itu, Samsudin juga percaya bahwa bekerja di tempat asalnya lebih memberikan kedamaian yang tak bisa ditukar dengan materi. Meskipun gaji yang ia terima sebagai petugas kebersihan di kampus tidak sebesar yang ia dapatkan di Surabaya, tetapi ia merasa hidupnya lebih bermakna karena dekat dengan saudara-saudaranya di kampung Madura.

Lebih lanjut ia menceritakan suka duka yang telah ia lewati selama 12 tahun bekerja di UTM. Salah satunya saat hujan tiba-tiba turun di pagi hari, memaksanya bekerja lebih lambat. Selain itu ia juga bercerita tentang kekesalannya ketika ada mahasiswa yang melintas dengan sepeda motor dengan kecepatan tinggi saat ia sedang menyapu. 

”Kadang saya kesal, tapi saya sadar, mungkin mereka buru-buru. Kita sebagai pekerja harus bisa memaklumi. Setiap orang punya kepentingan masing-masing,” ucapnya dengan bijak.

Namun, bukan hanya keluhan yang ia bagikan. Samsudin juga menemukan banyak kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang mungkin tak pernah diperhatikan orang lain. Di balik bangunan lama belakang Gedung Fakultas Kedokteran, Samsudin bersama teman-teman sesama petugas kebersihan sering berkumpul saat istirahat. Di sana, mereka berbagi cerita, bercanda, dan saling mendukung satu sama lain. Bagi Samsudin, momen-momen seperti inilah yang membuat pekerjaannya terasa lebih ringan. 

”Kami saling mendukung. Kalau ada yang sedang sedih atau kesulitan, kami bantu. Kebersamaan itu yang penting,” katanya dengan senyum penuh syukur.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Samsudin, dari kerendahan hati dan pengabdiannya pada orang tua. Samsudin juga berpesan pada mahasiswa untuk terus meningkatkan akhlaknya, sebab itu merupakan langkah awal untuk bisa memajukan nama baik kampus. Juga memperhatikan keseriusan dalam belajar, sebab di sini memang tempat untuk belajar, bukan untuk main-main.

”Benar-benar belajarlah. Jangan kesini untuk main-main. Mungkin bagi yang orang tua yang mampu tidak masalah dengan biaya, tapi kalau yang tidak mampu, kasihan dengan orang tua di rumah. Karena kesempatan itu tidak datang dua kali,” ungkapnya. (NRA)