Pelatikan 48 menteri dan 5 pejabat setingkat menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta (21/10). (Rahmat/Jay/Humas Sekretariat Kabinet)
WKUTM – Pemerintahan Prabowo-Gibran disebut membentuk kabinet zaken, kabinet yang mengedepankan keahlian dan kompetensi alih-alih afiliasi partai politik. Kendati demikian, mengutip Center of Economics and Law Studies (Celios), kabinet yang dinamakan Merah Putih tersebut justru didominasi oleh politisi daripada akademisi. Rinciannya yaitu, Politisi 55,6%, Profesional 15,7%, Tni/Polri 8,3%, Pengusaha 7,4%, Akademisi 5,6%, Tokoh agama 4,6%, Selebriti 2,8%.
Nurus Zaman, selaku dosen Politik dan Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menilai Kabinet Merah Putih tidak berlandaskan zaken. Sebab, pola pemerintahan sekarang cenderung politik balas budi karena dominasi politikus yang menduduki kursi pemerintahan.
“Meski begitu, memang politikus ada yang pintar dalam bidang tertentu,” ujar dosen asal Bangkalan tersebut (24/10).
Ia menjelaskan, kabinet zaken idealnya diisi oleh praktisi profesional dan akademisi. Sebab, Nurus berpendapat, keduanya bisa berkolaborasi dalam menjalankan pemerintahan.
”Separuh praktisi yang berpengalaman di lapangan, yang satu pihak yang mematangkan konsep,” ungkapnya.
Di sisi lain, Surokim selaku pengamat politik sekaligus Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UTM mengungkapkan, bahwa kabinet zaken idealnya berasal dari kalangan profesional dan independen. Namun, dia menilai hal tersebut tidak mudah diterapkan di Indonesia karena menerapkan sistem multipartai.
”Karena ada konteks relasi kuasa politik yang membuat politik harus akomodatif dan realistis terhadap kepentingan Partai Politik (Parpol),” ungkapnya melalui pesan WhatsApp (22/10).
Kendati demikian, Surokim tetap optimis terhadap Kabinet zaken yang dibentuk oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
”Sepanjang presiden punya semangat membangun kebersamaan, maka kabinet zaken masih mungkin dan bisa dilakukan akomodasi di bawah level menteri,” ujarnya.
Sedangkan Mohammad Afifuddin, Dosen Sosiologi Politik menyatakan, jika pemerintahan Prabowo-Gibran ingin membentuk kabinet zaken pasti ada konsekuensinya. Sebab, Indonesia menerapkan sistem presidensial dan presiden terpilih memerlukan backup kuat dalam sistem parlementer.
”Presiden harus kompromi, seperti dalil ilmu politik no free lunch, tidak ada makan siang gratis,” ujarnya (24/10).
Kabinet zaken murni memang susah untuk diterapkan. Tetapi, bukan berarti politikus yang menduduki kursi menteri tidak berkompeten. Sebab, kemampuan kerja dan kompetensi tidak harus seratus persen diduduki kalangan profesional.
”Memang kebanyakan adalah jatah untuk partai politik,” ungkap dosen yang berdomisili di Gresik tersebut.
Ia menilai, presiden terpilih Prabowo Subianto tidak menginginkan adanya kegaduhan di masa transisi pemerintahan Jokowi dan Pemerintahannya. Maka, Prabowo berusaha untuk merangkul orang terdekatnya.
”Karena tidak bisa dipungkiri pemecahan beberapa kementerian, terkesan bagi-bagi kekuasaan,” ujarnya kepada reporter Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa.
Meski demikian, beberapa pemecahan bidang dalam kementrian disebut layak untuk dilakukan. Misalnya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Kebudayaan.
”Tujuannya untuk menata fokus, biar tidak tumpang tindih. Namun, apakah nanti hasilnya itu sesuai? Kita belum tahu," ungkap Afif di ruangannya (24/10).
Di sisi lain, pemecahan kementerian akan mempengaruhi proses adaptasi masing-masing kementerian. Afifuddin menilai, ada indikasi awal sebagian dari lembaga baru yang dibentuk Prabowo tidak akan berfungsi dalam waktu singkat.
Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan dan Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan yang belum mempunyai kantor. Sebab, kementerian itu masih baru dan belum mempunyai pegawai dan staf eselon 1-2.
”Target 100 hari kerja pemerintahan Prabowo itu nggak mungkin tercapai (red-Kementerian baru). Nggak mungkin birokrasi bisa berbenah secepat itu, minimal setahun cari kantornya. Kemudian, 1—2 tahun itu dalam fase adaptasi,” bebernya.
Nurus berharap siapapun orang yang ditunjuk presiden dalam menjalankan kursi pemerintahan dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai amanat institusi.
”Dengan demikian tujuan negara tercapai, kemudian rakyat jangan sampai terbebani,” pungkas dosen hukum tersebut. (KHA/FRD)