Upah Kerja Paruh Waktu Mahasiswa UTM, Sepadan kah?

Upah Kerja Paruh Waktu Mahasiswa UTM, Sepadan kah?

LPM Spirit - Mahasiswa
Kamis, 06 Juni 2024
                      Ilustrasi youngontop.com

Masyarakat Madura patut berbangga diri memiliki Universitas Trunojoyo Madura (UTM) sebagai satu-satunya universitas negeri di daerah yang dijuluki pulau garam ini. Hal lain yang cukup membuat masyarakat Madura patut berbesar hati adalah biaya hidup dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ada di UTM tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan kampus negeri lain. UKT tertinggi di UTM hanya sebesar 3 juta rupiah. Namun, apakah biaya hidup yang murah ini mampu meningkatkan kesejahteraan mahasiswa yang berkuliah di UTM?

Sebagai kampus negeri dengan biaya hidup yang tergolong murah, UTM tentu banjir peminat. Pada tahun 2023 saja, UTM mampu menerima mahasiswa baru sejumlah 5.254 orang. Dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit, UTM mampu menjadi jantung perekonomian di Kecamatan Kamal, khususnya Desa Telang. Dengan jumlah penduduk hanya 2.613 jiwa (termasuk lebih sedikit jika dibandingkan desa lain di Kamal), adanya UTM memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian warga Desa Telang.

Paska terjadinya pandemi Covid-19, 4 tahun silam telah terjadi perubahan yang cukup signifikan pada lingkungan di sekitar UTM. Jika diamati sekilas, sepanjang jalan raya Telang, telah berdiri toko sembako, kafe, warung kopi, warung makan, bahkan pasar modern seperti Alfamart dan Indomaret. Tidak ketinggalan kos-kosan yang berjajar baik satu lantai maupun kos bertingkat. Roda-roda perekonomian tersebut tumbuh berkembang dengan pesat selayaknya jamur di musim penghujan. Meski, cukup disayangkan pesatnya pertumbuhan ekonomi ini tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang baik, buktinya, banyak terparkir motor-motor mahasiswa yang sedang asyik menghabiskan waktu di warung kopi, kendaraan-kendaraan tersebut kenyang memakan bahu jalan.

Kita kesampingkan persoalan infrastruktur UTM yang mungkin tidak akan pernah ada habisnya jika dibahas. Tulisan ringan kali ini kita arahkan untuk membawa pembahasan singkat tentang kesejahteraan mahasiswa-mahasiswi UTM. Berkuliah di kampus dengan biaya hidup yang tergolong murah tidak lantas membuat seluruh mahasiswa UTM hidup sejahtera. Tidak sedikit mahasiswa UTM yang rela kuliah sambil bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Banyak mahasiswa yang tidak mendapat kiriman uang saku rutin dari orang tua, mahasiswa bondo nekat istilahnya orang Jawa atau keng amodal bengal beih kata orang Madura.

Ada berbagai jenis kerja paruh waktu yang dilakukan oleh mahasiswa di UTM, mulai dari menjadi ojek mahasiswa, penjaga foto copy, perjokian, pekerja laundry, pengajar les, penjaga stan makanan hingga penjaga kafe dan warung kopi. Kebanyakan dari mahasiswa tersebut, khususnya yang bekerja pada sektor Food and Beverage (F&B), bekerja selama 7 hingga 8 jam per hari. Itu artinya, mahasiswa tersebut rata-rata menghabiskan waktu selama 49 jam/minggu atau 245 jam/bulan. Dengan jam kerja tersebut, mereka mendapatkan upah 500 hingga 750 ribu atau kurang dari 30 ribu per hari.

Jika mau ditilik lebih mendalam, pemerintah telah menetapkan aturan terkait waktu kerja dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 dimana pekerja dapat menghabiskan a.) 7 jam/hari atau 40 jam/minggu untuk 6 hari kerja, atau b.) 8 jam/hari atau 40/minggu untuk 5 hari kerja. Sedangkan terkait upah masih dalam aturan yang sama, upah bagi pekerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Kesepakatan upah tersebut sekurang-kurangnya sebesar presentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang. Data BPS 2024 menyebutkan rata-rata pengeluaran perkapita untuk makanan dan non-makanan dalam sebulan di Kabupaten Bangkalan mencapai 800 ribu rupiah.

Barangkali, realita inilah yang coba dijelaskan oleh Karl Marx dalam buku Das Kapital yang mengkritik kapitalisme. Bilamana dikaitkan dengan kondisi mahasiswa bekerja paruh waktu, terdapat ketidaksetaraan jam kerja dengan gaji yang diperoleh memberikan gambaran bahwa owner mengambil untung lebih dengan pemberian upah kecil kepada mahasiswa. Sedangkan mahasiswa yang bekerja di warung kopi misalnya, dalam tujuh sampai delapan jam sehari, harus melayani pembeli, menyiapkan makanan dan minuman, mencuci gelas dan piring, menyapu, mengumpulkan sampah-sampah, dan terkadang pekerja juga harus mengawasi kendaraan bermotor pelanggannya, mengingat maraknya kasus curanmor di lingkungan kampus UTM.

Maka mahasiswa yang bekerja pada sektor F&B tidaklah mudah dengan upah dan resikonya. Jika dibandingkan dengan data rata-rata upah bersih sebulan pekerja sektor informal di kabupaten Bangkalan tahun 2022 mencapai Rp1.509.388, sedangkan mahasiswa menerima upah rata-rata Rp750.000. Marx juga membagi dua kelas yakni, kelas Borjuis (pemilik modal atau owner) dengan kelas Proletar (ibaratkan pekerja mahasiswa), yang mana owner menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melalui pemanfaatan pekerja mahasiswa.

Apakah keadaan yang demikian berarti ketetapan pasti yang tidak dapat diubah? Belum tentu. Pemerintah misalnya, memiliki andil yang cukup besar dalam mengatasi persoalan semacam ini. Misalnya, keputusan mantan pemilik perusahaan Gojek, Nadiem Makarim yang kini menjabat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-ristek) dalam membuat program Magang Studi Independen Bersertifikat (MSIB) (termasuk dalam rangkaian Kampus Merdeka) dapat menjadi solusi terhadap masalah waktu dan upah kerja mahasiswa yang melakukan kerja paruh waktu atau part time, apabila penerapannya tepat sasaran.

Salah dua keuntungan yang diperoleh mahasiswa MSIB adalah mahasiswa akan memperoleh pengalaman magang atau kerja di berbagai mitra Kemendikbud-Ristek, selain itu mahasiswa juga mendapat uang saku dan uang transportasi. Bayangkan apabila mahasiswa yang mengikuti program tersebut adalah mahasiswa-mahasiswi yang membutuhkan upah magang untuk membiayai kehidupannya. Artinya, peribahasa sekali dayung dua tiga pulau terlampaui sangat mewakili program ini.  

Kemendikbud sendiri dalam program MSIB menggandeng berbagai lembaga pemerintahan dan perusahaan terkemuka di Indonesia, misalnya saja DPR-RI, dinas pemerintah daerah, Bank Indonesia, Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), hingga media masa seperti RCTI, SCTV, dan Kompas. Mahasiswa akan dengan mudah mencari pengalaman selain di kampus asalnya. Maka mahasiswa sebagai generasi penerus masa depan seharusnya diupayakan menguras sebanyak-banyaknya pengalaman dan ilmu pengetahuan selama menduduki bangku perkuliahan. Karena belum tentu mahasiswa ketika lulus kuliah memperoleh gelar mentereng tidak bisa mengulangi previlege dan menjalin relasi kerja untuk masa depannya.

Rakha' Raditya
Mahasiswa Program Studi Sosiologi