Polemik Penempatan TNI/Polri di Jabatan Sipil

Polemik Penempatan TNI/Polri di Jabatan Sipil

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 31 Maret 2024
WKUTM - Pemerintah Republik Indonesia tengah melakukan upaya penyempurnaan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), sebagai aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Adanya RPP tersebut nantinya akan mencakup Asas Resiprokal (perbuatan timbal balik agar tercapai keseimbangan) untuk manajemen ASN, yakni jabatan sipil yang bisa ditempati anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) serta sebaliknya. Adapun fenomena ini menuai tanggapan dari sejumlah akademisi Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Yudi Widagdo Harimurti, selaku guru besar Hukum Tata Negara UTM menjelaskan terciptanya UU TNI berasal dari peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang dulu memiliki dwifungsi, yaitu fungsi sipil dan fungsi militer. Kemudian, setelah runtuhnya rezim Orde Baru, militer hanya difokuskan pada bidang keamanan dan ketertiban. Sehingga dalam UU tersebut dijelaskan bahwa TNI/Polri yang ingin menjabat sebagai ASN harus mengundurkan diri atau pensiun dari jabatan militer.

”Karena itu memang sudah menjadi amanat reformasi, kalau sekarang ingin mewujudkannya, harus dilihat apakah UU TNI/Polri memiliki prosedur yang menyatakan hal tersebut atau tidak,” jelasnya saat ditemui di ruang guru besar Fakultas Hukum (FH) (25/3).

Lebih lanjut pihaknya menyatakan seharusnya Indonesia bisa konsisten dengan amanat reformasi, yakni warga sipil harus menjabat dengan sebaik mungkin. Karena jika militer kembali menduduki jabatan publik, hal itu sama saja dengan kembali ke zaman Orde Baru.

”Kalau kemudian, sipil itu tidak bisa dipercaya untuk menduduki jabatan publik, pada akhirnya militer yang akan menggantikannya,” pungkas pria asal Klaten tersebut.

Pihaknya juga menambahkan jika TNI/Polri sudah menduduki jabatan sipil, maka TNI/Polri harus meninggalkan jabatannya di militer. Kemudian jika nantinya Peraturan Pemerintah (PP) tersebut sudah disahkan dan bertentangan dengan UU yang menjadi landasannya, maka bisa dilakukan uji materi atau menguji ulang aturan tersebut.

Sementara itu, Imam Sofyan selaku dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi UTM sekaligus Pengamat Politik berpendapat bahwa adanya RPP, dapat menyalahi amanat reformasi yang telah dibangun oleh masyarakat Indonesia. Salah satu dari semangat Reformasi yang diperjuangkan sejak tahun 1998 adalah menghapus dwifungsi ABRI dengan tujuan untuk memperkuat supremasi sipil. Dengan begitu, TNI akan bisa fokus pada persoalan keamanan, sedangkan Polri bisa fokus pada penegakan hukum.

”Atas dasar itu, saya termasuk pihak yang kurang sependapat bila TNI dan Polri masuk lagi di jabatan sipil atau pemerintahan,” tulisnya saat dihubungi melalui WhatsApp (25/3).

Kemudian, Imam juga menambahkan apabila nantinya TNI/Polri bisa mengisi pada jabatan sipil, maka sebaliknya, sipil juga seharusnya bisa mengisi jabatan di TNI/Polri. Imam berharap perlu dilakukannya peninjauan kembali terkait urgensi dari rencana pengisian jabatan sipil untuk TNI/Polri, sehingga nantinya bisa layak berdasarkan kompetensi terbaik dengan menjunjung prinsip keadilan.

”Harapan saya, rencana pengisian jabatan sipil untuk TNI/Polri ini bisa ditinjau ulang urgensinya. Jadi harus selayaknya, sesuai kebutuhan, dan dengan menjunjung prinsip keadilan,” harapnya.

Di sisi lain, Taufiqur Rohman, selaku mahasiswa Fakultas Hukum (FH) mengungkapkan, RPP mengenai TNI/Polri yang bisa menduduki jabatan sipil hanya berlaku untuk jabatan tertentu saja. Sebab, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) yang telah disahkan sebelumnya, yaitu PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), hal terkait TNI/Polri yang bisa menduduki jabatan sipil memang sudah dijelaskan di dalam PP tersebut. Namun dari segi penerapannya, memang kurang tegas dalam pelaksanaannya.

”Makanya RPP ini dikaji ulang, untuk diperbaharui, yang mana akan disahkan tanggal 30 April mendatang. Jadi istilahnya revisi, bukan buatan baru dan sudah ada PP mengenai PNS sebelumnya,” jelas mahasiswa yang mengambil konsentrasi pemerintahan tersebut (26/3).

Menurut Taufiq, RPP ini sesuai dengan kebutuhan hukum di Indonesia. Alih-alih seperti mengambil alih jatah ASN, adanya RPP ini justru memberikan motivasi kepada mereka untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki. Selain itu, aturan ini juga membuka kesempatan bagi TNI/Polri untuk mendapat pengalaman menjadi abdi negara, bukan hanya di ranah mereka saja, tapi juga di pelayanan publik. Kendati demikian, tidak semua jabatan sipil bisa diduduki oleh mereka nantinya.

”Jadi tidak mengambil alih punya ASN. Siapapun boleh, selama mempunyai kapasitas dan kompetensi yang mumpuni,” jelasnya melalui pesan suara via WhatsApp.

Selaras dengan Taufiq, Firman Nurdiansyah, selaku mahasiswa FH juga turut menjelaskan, jika mengacu pada UU, baik itu UU tentang TNI, Polri, ASN bahkan putusan MK Nomor 15 Tahun 2022, secara tidak langsung Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia memang memperbolehkan TNI/Polri untuk menduduki jabatan yang ada di pemerintahan. Hanya saja, jabatan yang dimaksud hanya mencakup jabatan tertentu, sebagaimana yang tertuang dalam UU TNI Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 34 tahun 2004. ”Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.”

”Jadi, dalam UU sendiri, itu disebutkan juga mengenai klasifikasi jabatan mana saja yang boleh diduduki. Kalau tidak salah ada sembilan klasifikasi jabatannya,” jelasnya melalui voice note di WhatsApp (26/3).

Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Firman menilai tidak ada salahnya ketika TNI/Polri yang memiliki tugas utama menjaga keamanan pertahanan negara ikut andil dalam ranah pemerintahan. Menurutnya, TNI/Polri tidak hanya mempertahankan keamanan dan pertahanan negara, tetapi juga bisa menjalankan tugasnya dengan menduduki jabatan yang masih mempunyai relevansi dengan pertahanan dan keamanan negara. Jadi, selagi jabatan tersebut masih berkaitan dengan tugasnya, maka tidak ada salahnya bagi TNI/Polri untuk ikut andil di dalamnya.

”Kenapa tidak boleh? TNI/Polri juga sebagai instansi atau lembaga yang memiliki pemahaman dan berkompeten di bidang keamanan dan pertahanan negara, sehingga mereka pihak yang paham terkait apa yang diperlukan, apa yang harus dilakukan, dan apa solusi yang bisa diberikan,” tutur mahasiswa asal Gresik tersebut.

Selanjutnya, Firman berharap semoga dalam pembentukan RPP ini bukan didasarkan atas kepentingan golongan tertentu, melainkan semata-mata untuk kebaikan pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri. Ia juga menyarankan, jika nantinya TNI/Polri jangan terlalu terlibat secara mendalam dalam jabatan sipil, kecuali jabatan yang diduduki memang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara.

”Karena jika TNI/Polri terlalu terlibat dalam jabatan sipil, maka bisa jadi akan menimbulkan intervensi di jabatan atau tugasnya. Inilah yang kemudian akan merusak citra dan integritas dari lembaga tersebut,” pungkasnya. (STV/WN)