Akademisi UTM Tanggapi Keterlibatan Jokowi dalam Pemilu 2024

Akademisi UTM Tanggapi Keterlibatan Jokowi dalam Pemilu 2024

LPM Spirit - Mahasiswa
Kamis, 08 Februari 2024
WKUTM - Sejumlah akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI) dan perguruan tinggi lain mengirim petisi kepada Presiden Joko Widodo untuk mengingatkan pemerintah agar pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dilakukan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber Jurdil). Selain petisi, juga disertai kritik berkenaan dengan sikapnya yang dinilai tidak netral. Fenomena tersebut menuai tanggapan dari sejumlah dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Menanggapi hal tersebut, Yudi Widagdo Harimurti, dosen Konsentrasi Pemerintahan Fakultas Hukum (FH) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menjelaskan, kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden harus memenuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan. Serta menjalani cuti di luar tanggungan negara. Hal tersebut tertuang dalam pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

”Bukan presiden boleh berkampanye, aturannya melibatkan, jadi pasif. Presiden berhak kampanye tergantung presiden menggunakan hak atau tidak,” jelasnya via WhatsApp (7/2).

Berkenaan dengan presiden yang dianggap tidak netral, Yudi mengungkapkan bahwa secara hukum tidak ada peraturan yang menyatakan presiden boleh memihak salah satu Pasangan Calon (Paslon), namun dalam penyelenggaraan negara terdapat Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AAUPB) yang di dalamnya terdapat asas ketidakberpihakan.

”Dalam penyelenggaraan negara ada etika penyelenggara negara dan dalam pemerintahan ada AAUPB,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Yudi juga mengomentari terkait dinasti politik secara hukum dan konstitusi tidak dilarang, namun hendaknya para politisi harus menggunakan kesempatan dengan bijak dan mengutamakan kompetensi untuk menduduki jabatan. Yudi memberikan contoh keberadaan politik dinasti di sejumlah negara seperti Pakistan, India, Filipina, dan Amerika Serikat.

”Presiden Filipina sekarang Ferdinand Marcos Junior, dan di Amerika Serikat keturunan John F. Kennedy banyak yang jadi pejabat bahkan keponakannya, Robert F. Kennedy maju menjadi calon presiden,” pungkasnya.

Sementara itu, Rio Kurniawan, dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi, menjelaskan ketika Jokowi turun langsung dan dilibatkan oleh salah satu Paslon, jika ditinjau dari etika politik, hal tersebut mencederai demokrasi dan Reformasi. Meski secara Undang-Undang menyatakan boleh berkampanye asal tidak melibatkan atribut negara, Rio mencontohkan bahwa ketika Jokowi ikut membagikan Bantuan Sosial (Bansos), ia masih menggunakan atribut negara.

”Jokowi sejak awal memang berpihak, sudah bukan rahasia umum mulai dari yang ke konstitusi, mencalonkan anaknya, dan juga Bansos, itu masih menggunakan atribut negara kecuali dia mengundurkan diri dari presiden,” jelasnya (6/2).

Terkait politik dinasti, Rio mengembalikan semua pada rakyat, ia tidak mempermasalahkan Jokowi mencalonkan anaknya, bahkan sebagai presiden pun, asalkan tidak melanggar aturan. Bahkan di luar negeri dan di Bangkalan sendiri juga terdapat dinasti politik. Namun, yang dipermasalahkan adalah adanya rekonstruksi ulang yang dilakukan Jokowi secara sistematis dari awal sehingga membuat sebagian orang geram.

”Misalkan Jokowi selaku orang tua dan kebetulan adalah presiden kemudian mencalonkan anaknya itu fair, terserah rakyat mau pilih atau tidak, akan tetapi dari awal yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan,” tuturnya.

Rio berharap, Pemilu mendatang tidak terjadi kecurangan, semisal pun ditemukan kecurangan agar segera diusut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) sehingga Pemilu mungkin dapat diulang.

”Harapannya di Pemilu ini tidak curang, sebenarnya kecurangan bisa dilakukan oleh semua Paslon, dan yang menjadi masalah kita tidak pernah tahu hasil yang muncul itu ranah curang atau tidak,” pungkasnya. (TFA/GIE)