Janji Tak Lagi Suci

Janji Tak Lagi Suci

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 13 September 2020

Janji menjadi hal yang penting sebagai pengikat sebuah kesepakatan, apalagi di zaman yang serba menuntut ini. Pentingnya nilai sebuah janji, membuatnya menjadi salah satu tolok ukur kepribadian seseorang. Namun sayangnya, belakangan ini banyak sekali orang yang menabur janji begitu saja. 
Beberapa orang membuat janji hanya untuk menghindari beban dan tanggung jawabnya. 

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengar kawan yang tengah terlilit utang saat jatuh tempo kemudian memelas dan berkata, “Besok, ya. Maaf banget masih belom bisa  bayar. Soalnya bla.. bla.. bla.” Mungkin perasaan lega datang beberapa detik setelah mengucapkan kata tersebut. Namun, percayalah beban karena janji yang telah terucap kembali itu, seyogyanya semakin bertambah di pundaknya.


 Sebab, bukan berarti masalah pun selesai setelah mengucapkan kata sakti tersebut. Karena, kata-kata seperti itu hanyalah pelarian,  bukan menjadi solusi dari permasalahan tersebut, kalau ditanya apa solusi yang tepat? Ya, bayar saja utangmu. 


Hal tersebut juga sering terjadi di ranah birokasi. Baik birokrasi pemerintahan maupun birokrasi kampus. Kalau orang biasa, jika ditagih janjinya hanya berucap, “Besok akan saya bayar,” atau, “Uangnya belum cair, jika sudah cair pasti akan saya bayar,” maka para birokrat akan memakai  kata-kata yang lebih elegan atau formal, tapi tetap gaplek i. Seperti,  “Akan kami usahakan,” atau  “Akan kami tampung, nanti akan kami laporkan ke pimpinan.” Diplomatis sekali, kan?


Di sisi lain, janji sudah menjadi atribut dalam sebuah perhelatan pemilihan umum, baik di tingkat masyarakat maupun tingkatan mahasiswa. Janji-janji di masa yang demikian seperti sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam perebutan tonggak kepemimpinan. Dengan alasan memberi visi-misi ataupun program kerja, janji-janji diobral, janji-janji disemai begitu saja seperti tanpa beban tanggungan. Lucunya, biarpun masyarakat atau mahasiswa yang lain sudah semakin jenuh dan merasa bodo amat akan janji-janji yang dilontarkan, namun, cara seperti itu masih saja ramai digunakan (tentunya setelah menggunakan jasa dukun, pengumpulan suara sesama kader, atau atau mungkin manipulasi data dan sebar-sebar amplop kepada pemilih).


Selain untuk pemilu, janji  juga digemari para kaum muda-mudi yang tengah kasmaran, dalam hal ini seringnya pria (yang selanjutnya dicap sebagai 'buaya darat’) untuk menggaet wanita pujaannya. Ini hal bodoh, namun ketika diingat kembali menjadi hal yang lucu. Lontaran janji seperti, “Aku enggak bakal meninggalkanmu;” “Aku akan selalu di sini untukmu;” “Aku pasti ada untukmu kapan pun;” janji manis itu biasanya dikeluarkan ketika hendak atau setelah melakukan pengencrotan  yang  hanya berlaku sampai setelah bangun tidur.


Syukurnya, dari sekian banyak janji-janji yang tak ditepati, beberapa orang kreatif  memanfaatkan keadaan tersebut menjadi sebuah karya. Orang-orang kreatif itu, mengkonversi realitas tersebut ke dalam tulisan-tulisan tentang keperawanan  yang sudah hilang keresahan hati maupun lagu-lagu. Tidak dipungkiri, banyak lagu yang hitz mengusung tema tentang janji yang tidak ditepati, seperti Kartonyono Medot Janji yang diciptakan oleh Deny Caknan.  Duh, seng sabar, yo, Mbak. Yang sabar~. 


Kini, janji bukan lagi menjadi hal yang sakral. Bahkan,  semakin banyak orang skeptis terhadap setiap janji hanya karena pernah tersakiti. Sampai mungkin pada akhirnya, janji suci hanya milik Nagita dan Raffi –uwu I love you,  Mbak Nagita.


Janji sudah bertebaran di mana-mana. Bahkan secara sadar ataupun tidak, hal itu  yang saya lakukan ataupun lingkungan sekitar. Saking bosannya diingkari janji, muncullah pribahasa yang bijak, lidah tak bertulang. Hal tersebut dapat kita artikan sebagai nyangkem  sak penak e dewe atau bahasa Indonesianya, mudah membuat janji namun juga mudah mengingkari.


Menurut saya,  janji bukan hanya sekedar sekedar kepercayaan, namun juga  rasa keterikatan antar individu. Saya pun tidak heran jika banyak pejabat ketika berhasil menduduki jabatan yang ia dambakan ingkar dalam janji-janji yang ia berikan kepada masa kampanye. Bukan lain perkara tidak adanya kepercayaan ataupun rasa keterikatan dari kelompok masyarakat kepada individu, kenal saja tidak apalagi kedua hal tersebut. Maka dari itu saya lebih menghormati ketua Rukun Tetangga (RT) 02 Desa Kedungmalang dari pada pejabat tinggi negara.


Keterikatan, kepercayaan, dan janji inilah yang sering diusung dalam film-film berlatar cerita mafia, seperti film yang menurut saya film terbaik sepanjang masa dan banyak laki-laki yang terinspirasi  yaitu the Godfather. Banyak quotes yang bagus dalam film tersebut, salah satunya “He made no empty promises, nor the craven excuse that his hands were tied by more powerful forces in the world than himself.”


 Rasa kerikatan antar satu sama adalah hal  yang harus dipupuk pada setiap manusia. Jika keterikatan itu sudah mulai kuat, niscaya menepati hanyalah perkara kecil sebab menjaga, membangun, dan merawat keluarga menjadi hal yang lebih rumit.


Dan sebaliknya jika janji tidak ditepati juga bisa menjadi indikator dari kepercayaan maupun keterikatan antar individu. Yang berarti, jika semakin banyak orang yang mengingkari janji, rasa akan kekeluargaan dan keterikatan sangat minim. Bukan hanya itu kepercayaan dari orang lain pun tidak ada, padahal kepercayaan menjadi penting dalam kehidupan ini seperti kepercayaan bahwa uang adalah barang berharga bahkan kepercayaan kepada tuhan. Maka cara yang paling aman adalah jangan membuat janji jika memang kita ragu untuk menepati dan tidak siap dengan resikonya.