Benci Sifat

Benci Sifat

LPM Spirit - Mahasiswa
Senin, 13 April 2020

"Do, mau ikutan, nggak" ajak Narko.
"Mau kemana?" Tanya Edo.
"Udahlah, ayo kalo mau ikut!" 
"Iya, tapi kemana yang jelas kenapa?" Jawab Edo kesal.

Belum dijawab pertanyaannya, Narko langsung keluar kamar meninggalkan Edo sendirian. Minggu-minggu ini tampak membingungkan, keduanya jarang ngobrol, kalau tidak ada satu dari mereka yang mengawali obrolan, padahal toh satu kamar. Tanpa didasari masalah yang jelas, Edo mengira bahwa Narko cemburu karena semakin dekat dengan Liberata. Tapi sebelumnya, orang seperti Narko memang tidak pernah bicara soal cinta. Mungkin membahas soal cinta adalah hal privat bagi Narko dan tidak begitu penting ketika dibicarakan. 

Menurut Narko lebih penting bicara soal keadilan, penindasan, dan perlawanan, ketimbang soal percintaan. Suatu bahasan atau informasi akan membantu manusia jika isu yang dibicarakan dirasa penting bagi manusia luas. Soal percintaan hanya penting bagi kedua manusia. Kurang lebih begitu kutipan yang pernah Edo ambil waktu mengikuti diskusi. 

***
Malam itu Edo berniat ke kos Liberata, memberikan sebuah bubur ayam. Karena dirasa pola makannya kurang baik menurut mahasiswa olahraga. Melukis hingga pagi, setelah itu kuliah. Jelas dirasa kesehatan seorang mahasiswa seni rupa dirasa belum bisa dikatakan sehat. National Sleep Foundation dalam laporan utamanya di Sleep Health Journal, menyebutkan bahwa tidak ada jumlah waktu isitirahat sempurna bagi orang berumur 18-25 tahun yaitu selama tujuh sampai dengan sembilan jam setiap harinya. Semua organ yang lelah beraktivitas tentu membutuhkan waktu istirahat, termasuk otak. Pada saat tidur, informasi yang masuk ke otak akan disusun dengan rapi, sehingga saat bangun tidur sering kali menemukan solusi dari masalah di hari sebelumnya.

Edo deg-degan ketika hendak mengetuk pintu kamar Liberata. Baginya berkunjung ke kos perempuan malam hari adalah tindakan yang kurang sopan. 

"Aku ini seorang mahasiswa, punya pengetahuan dan rasa kemanusiaan terhadap semua yang ditangkap, tapi sekarang aku berkunjung ke kos perempuan malam-malam" pikirnya.

Dengan mengumpulkan keberaniannya, ia memulai mengetuk pintu. Tidak lama ada perempuan membukakan pintu, tapi sayang itu bukan orang yang Edo cari.

"Maaf bang, mau nyari siapa?"
"Ehm ... eh ... Liberata ada, mbak?"
"Oh Liberata, ya, tunggu sebentar saya panggilikan"

Lalu Edo duduk di kursi yang disediakan untuk tamu lekaki ketika berkunjung. Dua kursi di teras kos, adalah hal bersejarah oleh siapapun yang pernah berjam-jam ngobrol dengan pacar sampai larut malam yang akhirnya menjadi kenangan. Di depan kos perempuan seperti tagline yang tiap penggunjung, khususnya lelaki melihatnya "Lelaki dilarang masuk!" adalah pemandangan lumrah. Kali ini tepat di kos Liberata. Sebuah tulisan "Lelaki radius 5 meter dari pintu", dikira bencana mungkin pikir Edo.  Setelah membaca tulisan itu Edo tertawa sendiri di beranda. Tidak sadar ada perempuan yang sudah duduk di kursi sebelahnya. 

"Tumben, Do kesini? Tau kosku dari mana?" tanya Liberata.
"Kebiasaan, pelan-pelan kalau nanya. Aku mau ngasih ini ke kamu dan tahu kosmu dari Narko, katanya dia sering kesini," Jelas Edo.
"Eh ... Maaf ngerepotin kamu aja, Do," ujar Liberata sambil bercanda.
"Yaelah ... Gak ngrepotin kok ..." sahutnya sembari tertawa.

Tak terasa malam semakin larut, namun keduanya merasa baru lima belas menit ngobrol. Edo berdiri, kemudian Liberata ikut berdiri. Keduanya mendadak mematung. 

"Apakah ini sudah saatnya? Jangan terburu-buru, Do. Kamu baru mengenalnya dua minggu lalu, tapi dia seperti perempuan yang datang di dunia baru," dalam hatinya berkecamuk tanya.

Dari kejauhan terdengar suara motor mendekat, juga sudah saatnya kedua manusia tadi berpisah agar tidak terjadi salah paham. Kembali ke aktivitas masing-masing, kembali pada kesibukan masing-masing. Andai malam itu Edo sudah berani menggungkapkan isi hatinya. Tidak mungkin ia mengerutu di sepanjang jalan arah pulang. Lagi pula, sebelumnya juga belum menyusun rencana. Tapi siapa yang menyangka, cinta tidak membutuhkan rencana. Cinta tumbuh seadanya dan tiba-tiba.

***
Kedai kopi tempat biasa Liberata dan Narko bertemu, juga tempat Edo pertama kali mengenal dunia keadilan dan penindasan berkat perempuan bebas itu. Bahkan seluruh karyawan kedai mengenal perempuan itu. Kata salah satu karyawan kedai, hampir setiap hari perempuan itu ke sini dan selalu ngobrol dengan Bung Fery, keduanya memang menyukai seni. Tidak jarang keduanya saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan siapapun. Bahwa seni jangan sampai lupa kepada rakyat, artinya seni harus terhadap rakyat, bukan penguasa. Meski setiap seniman memiliki sudut pandang sendiri mengenai kondisi masyarakat pada waktu itu. Kata Bung Fery saat bertemu dengan Liberata.

Kebanyakan orang memiliki pendapat yang hampir sama mengenai seni, seni adalah keindahan. Bahkan orang awam mengamini pendapat tersebut. Memang benar adanya, tapi jauh lebih keren jika keindahan seni tidak terlepas dari rasa kemanusiaan. Apapun pekerjaanya, mau dosen atau petani jika tidak memiliki rasa kemanusiaan, maka ia adalah hewan. Karena bagi seorang manusia adalah memanusiakan manusia lainnya. 

Tiba-tiba seseorang ikut gabung di meja Liberata dan Bung Fery, diulurkan tangannya itu dan ...

"Karno," memperkenalkan diri kepada Liberata.
"Apa kabar mas, semoga baik!" Tanyanya dengan logat segan.
"Masih seperti yang kemarin, kamu sendirian ke sini?" Tanya Bung Fery.
"Iya mas, lagi ada masalah pekerjaan." Jelasnya.
"Kamu diPHK lagi?" 
"Benar, mas. Padahal tidak ada malasah yang jelas eh tahu-tahu diPHK, bahkan seluruh karyawan," keluhnya.
"Sabar, ya ... belum jalannya mungkin"
"Aku heran padamu, mas, meski gak bekerja tetep saja bisa bahagia." 
"Lah tinggal bahagia kok gak bisa." Jawab Bung Fery bercanda.
"Ya bukan begitu maksudku, mas. Kan mas jarang manggung sekarang dan jarang sekali mas mau menerima bayaran dari yang mengundang nyanyi. Disitu aku terheran-heran, kok bisa orang menolak uang." Tanya Karno.
"Hahaha ... Liberata yang menjawab, ya!" Canda Bung Fery.
Liberata kaget 
"Loh kok aku, Bung? Aku kan belum pernah bernyanyi di panggung."
"Haha... santai jangan tergesa. Bukan semua orang yang mengundang itu kutolak pengganti tenaga (bayaran), kamu tahu sendiri, No. Tempat yang mengundangku bernyanyi, sebagian besar tempat terjadinya konflik. Pengusuran lahan petani, penggusuran ruang hidup, dan sejenisnya. Ya masak aku tega menerima bayaran itu. Padahal di tempat itu sedang butuh-butuhnya uang, pangan, dan tempat tinggal." Jelas Bung Fery.

"Hehe.. iya juga, mas. Aku baru sadar" jawab Karno cengegesan.
Liberata mengangguk, tanda dia sepemikiran dengan Bung Fery. 
"Eh ... mbaknya kerja atau kuliah di sini?" Tanya Karno.
"Kuliah, mas, seni rupa," Ucap Liberata.
"Oh.. beruntung sekali kamu bisa kenal Bung Fery ini. Dia orangnya asik dan jenius, mbak"
"Jangan percaya dia, Ta, omongannya gak ada data satupun," 
"Eh, mas aku ada sedikit pesangon dari manajer setelah diPHK. Mari kita minum!" Ajak Karno.

"Karno ... Karno ... kapan kamu berubah, kan lebih baik uangmu itu ditabung untuk kebutuhan lainnya. Eh malah minum-minuman. Dengan minum-minuman keras, kamu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada masalah itu hilang sementara dan setelah kamu sadar dari mabuk, masalahmu tetap saja belum terselesaikan" jawab Bung Fery.

"Anggap saja perayaan kecil-kecilan mas. Lagian sudah lama kita nggak minum bareng," Rayu Karno.
"Sudah simpan saja uangmu itu. Kita minum fermentasi buatan teman-teman kedai. Liberata boleh nyobain, tapi nggak boleh banyak-banyak." 
Liberata kaget dengan ajakan Bung Fery. Tapi dia tahu diri. Jika menolak, sama halnya tidak menghargai orang-orang di depannya.
"Hehe ... baa ... iik, mas" jawab Liberata terbata.
"Gila makin keren aja teman-teman kedai. Bisa buat minuman sendiri." 

"Kamu tau sendiri, No. Teman-teman kedai ini kalau mau minum patungannya pasti banyak. 100 ribu sampai 500 ribu tidak ada eman-emannya sama sekali. Jadi waktu itu ada teman dari Bandung yang datang kemari memberikan saran. Agar kebiasaan patungan berlebihan itu bisa dirubah dengan membuat minuman sendiri secara kolektif." Jelas Bung Fery.

Kemudian seorang karyawan kedai menyarankan agar minum di dalam kedai saja. Supaya tidak menganggu suasana penggunjung lainnya. Setelah acara minum selesai Liberata izin mau ke luar dan merokok di samping kedai dengan duduk dekat api unggun. Tak lama Karno menyusul. 

"Rokok, Mas" tawar Liberata kepada Karno.
"Oh iya, Ta makasih," jawab Karno.
"Kamu kenapa? Kok langsung keluar, Ta?" tanya Karno.
"Nggak kenapa-kenapa kok, Mas" jawab Liberata.
"Mata kamu menyimpan sesuatu, Ta. Apa yang kamu sembunyikan" 
"Hehehe nggak ada, Mas. Cuman pengen di luar sana" Liberata segan bicara buka-bukaan dengan orang yang baru dikenal.

"Kepercayaanmu kepada Bung Fery sebagai senior mulai hilang? Atau kamu nggak menyangka bahwa ia juga peminum?," tanya Karno.
"Kurang lebih begitu, Mas, tapi jangan ceritakan ke Bung Fery aku malu." 
"Hahaha ..." Karno tiba-tiba tertawa.
"Kenapa, Mas? Kok tertawa." 
"Liberata ... aku hanya berbagi pengalaman saja, ya. Tidak bermaksud menggurui. Karena semua orangpun muak ketika digurui. Bung Fery itu yang menyelamatkanku ketika kecanduan narkoba. Entah  kalau waktu itu nggak ketemu Bung Fery pasti aku sudah meninggal. Dia memberiku saran agar melampiaskan kecanduan narkoba itu ke minuman. Sungguh keren, bukan? Jangan hilangkan kepercayaanmu ke Bung Fery itu. Tetap saling berkomunikasilah. Dia itu orangnya keren. Selalu bertanggung jawab dengan setiap pilihan yang diambil. Jika kamu membenci Bung Fery ketika tahu bahwa ia minum-minuman keras. Itu salah. Bencilah sifatnya yang minum-minuman keras. Bukan orangnya."
"Kalian sedang bicara apa? Kok nggak ngajak-ngajak," Tiba-tiba Bung Fery muncul dari belakang.

Widhi Hidayat 
Litbang LPM Siar 
Universitas Negeri Malang