Oleh: Citra D. Vresti Trisna
Martabat usia tua dengan jelas turun. Sejak
pengertian pengalaman dijatuhkan nilainya. Masyarakat teknokratis modern
berpendapat bahwa pengetahuan bukannya jadi bertambah banyak bersama jalannya
waktu, melainkan malah jadi ketinggalan jaman.
La Vieleillesse – Simone de Beauvoir
Karena yang tua-tua akan meneruskan
kepongahannya. Menjadi bandit atas kehidupan. Maka sebaiknya mereka dilupakan.
Sekarang giliran yang muda-muda.
Kalau kehidupan ibarat sebuah edisi, maka edisi
kali ini lebih banyak bicara pemuda. Sosok yang selayaknya menjadi tokoh
penggerak kehidupan. Jadi bolehkah yang muda dibiarkan otaknya nganggur?
Sebab semua mesti berubah. Anggapan basi bila
semua bisa dikondisikan sesuai dengan kehendak mereka yang tua-tua. Semuanya
benar, tapi tidak bisa dibenarkan. Kaum tua pergerakan, sistem dan rezim yang
uzur sudah mesti angkat kaki. Kalau pada pemilihan presma kemarin menjadi
kemenangan rezim, sekaligus tanda bila tokoh muda tidak bisa mendayagunakan logikanya
dalam memilih. Maka sudah selayaknya pergeseran dan penyadaran pada mahasiswa
baru (aktivis muda) agar bisa lebih maju dalam berpikir demokratis.
Kalau tokoh tua DPM (dewan perwakilan mahasiswa)
melawak soal pesta demokrasi, kita perlu mengerti dari mana demokrasi itu.
Demokrasi bisa berarti kemenangan dan puncak dari keagungan logika dan
pemikiran kebebasan. Sehingga dalam prakteknya, para pelakunya mesti bisa
mendayagunakan logikanya. Pemilih muda mesti mengakhiri dirinya untuk jadi alat
kemenangan rezim. Menjadi bebek yang bisa digiring kemanapun sesuai kehendak
pengembalanya, karena Tuhan menciptakan akal manusia tidak hanya sekedar untuk
menjadi gembala kehidupan. Lantas dimana fungsi mahasiswa sebagai sosok man
of analysis?
Kemenangan rezim kemarin membuatku sedikit
berburuk sangka bila fungsi man of analysis pada mahasiswa sudah menjadi
mitos yang ‘pernah’ ada. Dalam artian sekarang sudah tidak ada, atau boleh jadi
ada, ketika ada proyek-proyek basah. Mengapa tokoh muda sekarang cuma
memposisikan dirinya sebagai murad (yang dikehendaki), tidak lantas menjadi
murid (yang berkehendak). Karena konsep murid dan murad tidak hanya ada dalam
proses menuntut ilmu saja, tapi pada menentukan pilihan dan menjadi pemilih
yang memberikan suaranya berdasarkan kesadaran logis.
Ajaran dan dokrin kaum tua kepada yang muda
sebaiknya mesti di telaah lebih jauh. Organisasi pergerakan tidak serta merta
ada bila hanya untuk menjadi belenggu yang menghalangi kebebasan berpikir, tapi
menyelenggarakan iklim untuk kebebasan berpikir dan berdialektika adalah
sebenar-benarnya fungsi. Selain itu gerakan mahasiswa diramalkan akan segera
bangkrut bila cuma bergeser fungsi untuk menjadi afiliasi partai politik.
Karena tidak selamanya anak kecil bisa terus di bohongi dengan bunga-bunga
perjuangan yang sebenarnya buah pikiran tanpa solusi dari kaum pergerakan
sebelumnya. Organisasi pergerakan sekarang sudah menjadi mandul dengan
kompromi-kompromi mereka atas keadaan. Sehingga kaum muda harus meninggalkan
pola pemikiran kaum tua yang ketinggalan jaman, benih-benih pragmatis telah
lama tumbuh dari organisasi yang mestinya menjadi harapan kaum muda.
Hai kaum muda. Mau kemana kalian sekarang?
Kalau hidup cuma sekedar ikut-ikutan, letakkan
saja predikat kita sebagai seorang terpelajar yang beradab. Menjadi purba, dan
hidup bebodoran adalah pilihan mereka yang tidak bisa berpikir dan menentukan
pilihan berdasarkan kesadaran logis.
“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu
negeri dimana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini.
Kata dongeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan
kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu
dalam kenyataan.” – Pramoedya Ananta Toer –
Sebuah negeri yang besar adalah yang pemudanya
bisa berpikir maju dan mengakhiri, memangkas, menghancurkan dengan bengis,
tanpa ampun dan kompromi, pada kebobrokan kaum tua. Di kampungku, kaum mudanya
loyo dan bebodoran macam ini. Negeri dongengan itu tak akan pernah ada di
Hindia, atau Indonesia ini, Pram.
Seterusnya cuma dongengan.
Desember 2010