Suka makan gula? Atau suka yang
manis-manis? Namun sadar tidak kalau yang manis bisa mematikan? Tidak percaya?
Tahukah saat ini konsumsi gula terbesar
dipegang oleh Chili, Belanda, Honggaria, dan Israel? Hasil ini diukur dari
konsumsi gula yang melebihi 100 gram/hari. Padahal WHO (World Health Organization)
sudah memberikan peringatan dengan batasan untuk mengonsumsi gula seminimal
mungkin hanya 25 gram/hari.
Lalu di sisi yang lain bahwa saat ini
Indonesia menyatakan dirinya darurat narkoba. Hingga memiliki tekad bersih dari
narkoba di tahun 2015. Namun slogan ini hanya slogan basi dikarenakan sampai
detik ini penyalahgunaan dan peredaran narkoba masih ada.
Banyak pengguna, pengedar, bahkan gembong
narkoba sudah bersarang di bui sampai berakhir mati di tangan algojo. Mulai
dari pejabat, artis, pengusaha, pengangguran, kampret, dan para kecebong sudah
terkena ciduk.
Kenapa penulis membandingkan antara gula
dan narkoba? Sebab keduanya ternyata memiliki kesamaan risiko yang amat
berbahaya bagi kesehatan. Zat yang dikandung gula tak kalah mematikannya dengan
peredaran narkotika di pasaran. Bahkan salah satu informasi mengatakan, ekstrak
gula dapat digunakan dalam pembuatan bahan peledak. Hmmm.. ngeri nggak lu yang penyuka gula?
Siapa pula yang tidak ingin melahap donat
gembul yang penuh dengan toping lucu dan mencicip manisnya coklat serta lelehan
dari es krim yang lembut? Tentu rasa manis tersebut karena kandungan gula.
Umumnya manis disukai.
Dulu gula adalah barang yang sangat mahal.
Tidak salah bila pemerintah kolonial Belanda memerintahkan tanam paksa dan
mendirikan banyak pabrik gula untuk meraup keuntungan. Namun, sejak abad 19,
gula menjadi makanan murah. Saat itulah awal industri manis mulai menggeliat.
Gula itu manis. Semua kalangan pasti suka
dengannya. Apalagi di saat puasa, kita yang muslim dianjurkan untuk berbuka
dengan yang mau manis.
Tetapi fatal kalau kita mengonsumsinya
dengan serakah. Konsumsi gula secara berlebih dapat mengakibatkan obesitas,
diabetes, dan penyakit jantung. Si manis ini sedikit demi sedikit yang akan
menggerogoti kita secara perlahan-lahan bilamana kita tetap mengonsuminya
dengan serakah.
Betul tidak bahwa saat ini kita hanya
berpikir narkoba adalah satu-satunya zat berbahaya? Pemikiran tersebut mungkin
akan tertanam seperti itu terus. Sedangkan gula dianggap zat yang aman dan
tidak perlu khawatir dalam mengonsumsinya. Namun, bagaimana bila gula turut
bisa mematikan jiwa?
Ini layaknya Kurawa yang antagonis namun
dengan keantagonisannya menyimpan cinta yang amat mendalam dengan Shinta.
Mungkin narkoba mirip dengan Kurawa yang sebenarnya punya sisi baiknya, bukan?
Karena di balik dampak narkoba menyimpan kandungan yang biasa dipakai dalam
medis untuk pengobatan dengan takaran yang cukup. Kita boleh tertipu dengan
mulut manis, tapi cobalah menahan godaan dari si manis.
Rasakan saja. Bila penggunaan narkotika
secara berlebihan, ini dapat mengakibatkan ketergantungan. Organ-organ manusia
akan cepat rusak bilamana takaran yang dipakai berlebihan ancaman overdosis dan
kematian bisa saja terjadi kapanpun.
Narkoba sendiri telah memakan 3,3 juta
penduduk Indonesia mati dengan tidak hormat gara-gara narkoba dan mengakibatkan
dampak sosial yang luas. Sedangkan jumlah pasien diabetes mencapai 10 juta jiwa
dan menduduki peringkat ke tujuh di dunia. Penderita diabetes ternyata tidak
hanya menyerang usia tua, namun yang masih muda pun, kita, bisa saja mengidap
diabetes.
Efek gula tak sekadar omong kosong. Efek
gula yang kita konsumsi menimbulkan efek yang sama dengan nikotin, kokain,
maupun morfin. Keduanya sama memacu kinerja otak karena memberikan perasaan
puas dan hati gembira. Sifatnya juga membuat candu layaknya zat narkotika.
Lalu kira-kira seberapa jauh sih kita
berpikir sedangkal ini tentang gula dan dampaknya? Manis tapi racun, emang kamu
mau? BNN dengan lantang berbicara generasi muda yang mati karena narkoba. Namun
sadar atau tidak, banyak generasi muda yang mati pula lewat gula.
Hukum Indonesia telah mengatur tentang
narkoba serta ancaman yang jelas. Para gembong narkoba terpaksa harus dihukum
mati ditangan algojo sebab hukum telah berkata. Para pengguna sudah dijerat dan
banyak yang sudah masuk kandang rehabilitasi.
Kedua zat ini sama-sama berbahaya, namun
nyatanya tak ada larangan dan batasan mengonsumsi gula, bila dilihat dari
dampak yang dimiliki. Mungkin saja karena negeri ini memandang apa yang tidak
boleh dan boleh dari faktor halal dan tidak halal, bukan dari yang timbul
darinya.
Gula memang disepelekan. Kalau berpikir
mendalam, mungkin Belanda masih menjajah kita, mewariskan pabrik-pabrik gula
untuk bangsa ini. Sehingga pabrik ini terus mengepul menyebarkan zat-zat racun
yang berasa manis dan menggerogoti nyawa-nyawa di negeri ini (hanya menduga
saja).
Masihkah kita harus mencari gembong-gembong
narkoba dan menyatakan perang terhadapnya sedangkan ternyata ada bom waktu yang
ada di pojok rumah-rumah kita? Nyatanya, si manis lebih jahat ketimbang
narkoba.
Bingar Bimantara
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum