Mengemislah Kepada Rakyat

Mengemislah Kepada Rakyat

LPM Spirit - Mahasiswa
Rabu, 17 April 2019




Agak siang, saya berangkat ke TPS yang nampaknya sudah sepi. Malah mungkin saja, saya merupakan orang terakhir yang datang. Terlihat para petugas sibuk mengurus segala urusan pemilihan dan seraya tersenyum bertanya, “kok baru datang, kenapa tidak dari tadi saja?”

Setidaknya saya tidak terlambat untuk melaksanakan pemilu pemilihan calon presiden dan legislatif pertama saya.

Dengan urutan kehadiran 166 dari 221 daftar pemilih tetap (DPT), saya akhirnya dipanggil petugas dan mereka menyerahkan 5 lembar surat suara, yaitu surat suara untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPD-RI, DPR-RI,  DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota. Saya lantas menuju bilik suara. Dengan tertegun, saya membuka surat suara satu persatu dan mengamati masing masing runtutan nama dan foto dari calon legislatif.

Sejujurnya, saya tidak bisa mengenali semua karakter dari sejumlah nama yang panjang tersebut, apalagi dengan adanya foto para calon semakin kreatif saja mengingat ada yang memakai jas maupun baju adat. Ada yang membawa padi, bahkan ada yang memakai sorban dan kopiah dengan senyum ramah.

Naasnya, saya tidak mengenal satupun dari mereka dari banyaknya nama calon. Hal ini layaknya perjudian bagi saya jika memilih orang yang tidak saya kenal sama sekali. Bagus jika orang yang saya pilih ini memiliki track record yang baik, berkompeten, dan bertanggung jawab. Jika yang saya pilih nyatanya jauh dari itu semua, lantas bagaimana? La wong saya saja tidak kenal.

Sejujurnya, dengan diadakannya pemilihan presiden dan legislatif secara bersamaan ini agak membingungkan. Bahwa, saya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami perasaan serupa. Saya yakin akan hal itu.

Terpecahnya fokus menjadi salah satu faktor utama karena banyaknya calon yang harus dipilih dalam satu kesempatan. Mungkin benar ini adalah cara yang paling efisien, akan tetapi secara efektif ini tidak. Ini mungkin bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah pada pemilu 2024 mendatang.

Memang benar KPU sudah menyarankan para calon pemilih untuk mencari tahu dan mengenali para calon-calon legislatif dengan cara langsung ataupun tanya-tanya orang sekitar, media sosial, maupun dari banner-banner yang dipasang di pinggir jalan.

Akan tetapi, tetap saja dengan semua cara itu bukan bekal yang cukup untuk para pemilih agar mengenal mereka. Bahkan rakyat Indonesia tidak mengerti bagaimana mekanisme pencalonan mereka, sehingga para nama-nama itu bisa tiba-tiba menjadi sesuatu yang harus mereka pilih, tanpa mereka kenali sekalipun.

Sejujurnya, sebelum pemilihan terjadi, saya terus menanti para calon tersebut supaya mereka menggunakan waktu kampanye dengan lebih baik.

Bisa kita ketahui, di Amerika Serikat untuk menjadi calon wakil rakyat atau calon presiden, orang tersebut harus melakukan perjalanan menemui para rakyatnya atau lebih kita kenal dengan blusukan. Ini adalah cara yang berat dan melelahkan, lebih berat ketimbang calon tersebut harus pergi naik gunung untuk puasa, semedi dan mendapat wangsit. Berambisi menjadi wakil rakyat dan presiden merupakan hal yang lumrah dan wajar. Akan tetapi, secara kasarnya para calon tersebut harus mengemis terlebih dahulu. Ia harus mengemis restu dulu kepada rakyat.

Kampanye sendiri sebenarnya adalah proses mengemis. Namun di masa lalu tidak demikian, di abad ke-19, para calon cukup duduk di rumah, lalu salah satu panitia datang mengetuk pintu dan mengabarkan kepadanya bahwa salah satu komite pemilihan nasional memimilih anda untuk menjadi calon presiden. Nah disitulah, si penerima kepercayaan itu bisa melakukan pidato penerimaan, bisa juga tidak perlu melakukan pidato penerimaan. Hal serupa dilakukan oleh Abraham Lincoln di tahun 1860. Sedangkan lawannya, Stepen Douglas mengunjungi pelosok negeri untuk memperoleh suara malah banjir kecaman, ”itu adalah cara baru yang amat disesalkan, karena tak layak dilakukan orang dengan jabatan calon presiden”.

Akan tetapi, saat ini cara seperti itu sudah semestinya menjadi keharusan. Turun ke masyarakat langsung di berbagai daerah, mengunjungi pasar, sawah, pemukiman kumuh, melempar janji, dan menebar senyum. Saat ini seorang calon presiden dan wakil rakyat harus menjadi salesman, dengan menawarkan dirinya dan cita-citanya serta memberikan harapan memabukkan kepada rakyat. Demi hal itu mereka harus rela lelah, basah, kotor, dengan tangan lecet karena saking seringnya bersalaman.

Buat apa? Demi apa? Agaknya masyarakat sendiri sudah tahu jawabannya. Jika memang hal itu berjalan dengan mulus, rasanya ancaman golput yang meningkat pada pemilu tahun ini bisa tidak begitu perlu dikhawatirkan. Kita semua tahu dengan mereka menebar janji, membacakan visi-misi, atau memaparkan program kerja jika terpilih, rakyat yang pergi ke TPS untuk memilih pasti yakin dan percaya bahwa semua itu akan tercapai.

Setidaknya para calon itu sudah mengalami jerih-payahnya mengemis restu pada rakyat. Akan tetapi seiring berjalanya waktu mereka juga akan lupa menghargai suara dari rakyatnya. Mereka itu angkuh dan begitu buta.

Saya melipat surat suara dan berharap semua akan baik-baik saja. Siapapun yang terpilih pasti akan menerima tugas yang amat berat, dan seharusnya mereka tidak memasang senyuman pada foto pencalonannya.

Muhammad Ardico Haidhar F
Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi
Universitas Trunojoyo Madura