Agak siang, saya berangkat ke TPS
yang nampaknya sudah sepi. Malah mungkin saja, saya merupakan orang terakhir
yang datang. Terlihat para petugas sibuk mengurus segala urusan pemilihan dan
seraya tersenyum bertanya, “kok baru datang, kenapa tidak dari tadi saja?”
Setidaknya saya tidak terlambat
untuk melaksanakan pemilu pemilihan calon presiden dan legislatif pertama saya.
Dengan urutan kehadiran 166 dari
221 daftar pemilih tetap (DPT), saya akhirnya dipanggil petugas dan mereka
menyerahkan 5 lembar surat suara, yaitu surat suara untuk memilih presiden dan
wakil presiden, DPD-RI, DPR-RI, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota. Saya lantas menuju bilik suara. Dengan
tertegun, saya membuka surat suara satu persatu dan mengamati masing masing
runtutan nama dan foto dari calon legislatif.
Sejujurnya, saya tidak bisa
mengenali semua karakter dari sejumlah nama yang panjang tersebut, apalagi
dengan adanya foto para calon semakin kreatif saja mengingat ada yang memakai
jas maupun baju adat. Ada yang membawa padi, bahkan ada yang memakai sorban dan
kopiah dengan senyum ramah.
Naasnya, saya tidak mengenal
satupun dari mereka dari banyaknya nama calon. Hal ini layaknya perjudian bagi
saya jika memilih orang yang tidak saya kenal sama sekali. Bagus jika orang
yang saya pilih ini memiliki track record
yang baik, berkompeten, dan bertanggung jawab. Jika yang saya pilih nyatanya
jauh dari itu semua, lantas bagaimana? La
wong saya saja tidak kenal.
Sejujurnya, dengan diadakannya
pemilihan presiden dan legislatif secara bersamaan ini agak membingungkan. Bahwa,
saya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami perasaan serupa. Saya yakin
akan hal itu.
Terpecahnya fokus menjadi salah
satu faktor utama karena banyaknya calon yang harus dipilih dalam satu kesempatan.
Mungkin benar ini adalah cara yang paling efisien, akan tetapi secara efektif
ini tidak. Ini mungkin bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah pada pemilu
2024 mendatang.
Memang benar KPU sudah
menyarankan para calon pemilih untuk mencari tahu dan mengenali para
calon-calon legislatif dengan cara langsung ataupun tanya-tanya orang sekitar,
media sosial, maupun dari banner-banner yang
dipasang di pinggir jalan.
Akan tetapi, tetap saja dengan
semua cara itu bukan bekal yang cukup untuk para pemilih agar mengenal mereka.
Bahkan rakyat Indonesia tidak mengerti bagaimana mekanisme pencalonan mereka,
sehingga para nama-nama itu bisa tiba-tiba menjadi sesuatu yang harus mereka
pilih, tanpa mereka kenali sekalipun.
Sejujurnya, sebelum pemilihan
terjadi, saya terus menanti para calon tersebut supaya mereka menggunakan waktu
kampanye dengan lebih baik.
Bisa kita ketahui, di Amerika
Serikat untuk menjadi calon wakil rakyat atau calon presiden, orang tersebut
harus melakukan perjalanan menemui para rakyatnya atau lebih kita kenal dengan blusukan. Ini adalah cara yang berat dan
melelahkan, lebih berat ketimbang calon tersebut harus pergi naik gunung untuk
puasa, semedi dan mendapat wangsit. Berambisi menjadi wakil rakyat dan presiden
merupakan hal yang lumrah dan wajar. Akan tetapi, secara kasarnya para calon
tersebut harus mengemis terlebih dahulu. Ia harus mengemis restu dulu kepada
rakyat.
Kampanye sendiri sebenarnya
adalah proses mengemis. Namun di masa lalu tidak demikian, di abad ke-19, para
calon cukup duduk di rumah, lalu salah satu panitia datang mengetuk pintu dan
mengabarkan kepadanya bahwa salah satu komite pemilihan nasional memimilih anda
untuk menjadi calon presiden. Nah disitulah, si penerima kepercayaan itu bisa
melakukan pidato penerimaan, bisa juga tidak perlu melakukan pidato penerimaan.
Hal serupa dilakukan oleh Abraham Lincoln di tahun 1860. Sedangkan lawannya,
Stepen Douglas mengunjungi pelosok negeri untuk memperoleh suara malah banjir
kecaman, ”itu adalah cara baru yang amat disesalkan, karena tak layak dilakukan
orang dengan jabatan calon presiden”.
Akan tetapi, saat ini cara
seperti itu sudah semestinya menjadi keharusan. Turun ke masyarakat langsung di
berbagai daerah, mengunjungi pasar, sawah, pemukiman kumuh, melempar janji, dan
menebar senyum. Saat ini seorang calon presiden dan wakil rakyat harus menjadi
salesman, dengan menawarkan dirinya dan cita-citanya serta memberikan harapan
memabukkan kepada rakyat. Demi hal itu mereka harus rela lelah, basah, kotor,
dengan tangan lecet karena saking seringnya bersalaman.
Buat apa? Demi apa? Agaknya
masyarakat sendiri sudah tahu jawabannya. Jika memang hal itu berjalan dengan
mulus, rasanya ancaman golput yang meningkat pada pemilu tahun ini bisa tidak
begitu perlu dikhawatirkan. Kita semua tahu dengan mereka menebar janji,
membacakan visi-misi, atau memaparkan program kerja jika terpilih, rakyat yang
pergi ke TPS untuk memilih pasti yakin dan percaya bahwa semua itu akan
tercapai.
Setidaknya para calon itu sudah
mengalami jerih-payahnya mengemis restu pada rakyat. Akan tetapi seiring
berjalanya waktu mereka juga akan lupa menghargai suara dari rakyatnya. Mereka
itu angkuh dan begitu buta.
Saya melipat surat suara dan
berharap semua akan baik-baik saja. Siapapun yang terpilih pasti akan menerima
tugas yang amat berat, dan seharusnya mereka tidak memasang senyuman pada foto
pencalonannya.
Muhammad Ardico Haidhar F
Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi
Universitas Trunojoyo Madura