Antara Jokowi dengan Prabowo, Saya Mantap Golput

Antara Jokowi dengan Prabowo, Saya Mantap Golput

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 17 Februari 2019


Di dalam film Black Phanter, kita akan mengenal sebuah negeri pimpinan T’challa bernama Wakanda, negeri dengan kemajuan teknologi dan limpahan sumber daya alam. Bagaimanapun, Wakanda hanyalah negeri imajiner. Sebuah negeri yang dikarang oleh seorang penulis naskah film.

Namun ada bagian cerita yang menarik ketika negeri Wakanda melaksanakan kompetisi untuk melakukan pergantian raja. Kompetisi yang sekaligus tradisi di Wakanda bisa dibilang musabab awal terjadinya konflik. Hal ini terjadi ketika Killmonger berhasil menjatuhkan T’challa yang merupakan seorang pewaris resmi Wakanda.

Jika negeri Wakanda adalah fiksi, maka Indonesia adalah faktanya. Negeri ini hampir persis dengan Wakanda. Seluruh dunia tidak ada yang meragukan akan sumber daya alam dan pangan yang melimpah dari negara ini. Tradisi pergantian pemimpin juga sedang mewarnai Indonesia.

Jika di Wakanda pertarungan terjadi antara T’challa dengan Killmonger, maka di Indonesia ada Jokowi dan Prabowo.

Taruhlah sekarang peran T’challa dipegang oleh Jokowi sebagai petahana, dan Killmonger diperani oleh Prabowo yang merupakan seorang penantang. Sebaiknya Jokowi tak perlu takut. Hal ini dikarenakan tidak ada jaminan Prabowo akan menduduki parlemen untuk sementara. Selain itu kilas dari Prabowo ini cukup lama dan rumit, seperti ketika mendampingi Megawati, menggandeng Hatta rajasa, dan sekarang dengan Sandiaga Uno. Namun kembali lagi, nasib baik tidak ada yang tahu seperti rekam jejak gubernur Jawa Timur yang baru dilantik beberapa hari yang lalu, Khofifah.

Kita kembali ke pertarungan antara Jokowi dengan Prabowo. Jika di Wakanda pertarungan dilakukan dengan mempertaruhkan harga diri dengan cara menyerah atau berlaga sampai mati, maka di Indonesia petarungannya dilakukan dengan embel-embel demokrasi dan saling ujar kebencian. Hal ini terjadi karena untuk mempertaruhkan harga diri, sempat dicegah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sangat disayangkan memang, hal itu pernah dilakukan oleh KPU yang bertindak layaknya wasit. Padahal Indonesia bukan sembarang negara, maka yang akan memimpinnya pun harus bukan sembarang orang.

Tidak ada salahnya sistem yang seharusnya dipakai dalam pertunjukan pertarungan perebutan kekuasaan hanya melibatkan petahanan dan penantang, antara Jokowi dan Prabowo saja. Berhubung kultur yang menjamur di negara kita adalah adanya keterlibatan di dalam partai politik, baik pendukung petahana maupun penantang, maka yang ikut berantem juga merambah ke banyak kalangan.

Baik, sejak Prabowo mendeklarasikan dirinya menjadi penantang dengan menggandeng Sandiaga, maka sejak saat itu banyak kejadian yang dinaungi politik. Sebenarnya, hal ini tidak bisa dikategorikan maklum karena akan terus selalu ada jalan untuk menang dalam perpolitikan.

Hoax, ujaran kebencian, kriminalitas, serta kebijakan-kebijakan yang menunggu momentum adalah warna dalam kontestasi politik, di Indonesia Khususnya. Ya, Ratna Sarumpaet, Abu Bakar Ba’asyir, Ahmad Dhani, Rocky Gerung dan rentetan aparatur negara yang menjadi tersangka korupsi adalah peristiwa-peristiwa yang saya yakin anda mengetahuinya.

Pertarungan dengan gaya pecundang juga sering kita saksikan dalam beberapa bulan ini antara kedua belah pihak kubu. Bagaimana tidak pecundang, pertarungan bukan terjadi dengan saling bertemu di area tarung. Malahan kini kedua kubu saling sindir di media sosial. Ada juga yang nampak berkelas dengan menggunakan sindiran lewat sastra dengan membuat puisi seperti Fadli Zon.

Hal semacam ini tidak hanya terjadi antara kubu Jokowi maupun Prabowo. Bahkan relawan-relawan yang membawa almamater pendidikanya juga banyak ikut serta. Akhirnya, hal ini dari setiap kubu malah memanfaatkan situasi untuk saling berebut dukungan. Mirisnya, dari setiap kubu juga saling klaim siapa yang lebih islami, seperti adu membaca Al-quran dan sholatnya dimana.

Syahdan, kekonyolan pertarungan antara kedua kubu merembet sampai tingkat lebih intim, seperti dalam keluarga. Banyak kisah keluarga yang tidak akur hanya gara-gara perbedaan dalam memilih presiden. Saya sampai bingung, apaan sih untungnya?

Walaupun saya adalah pihak ketiga, yakni pihak yang tidak perduli dengan siapa yang akan memenangkan pemilihan presiden, tapi sering saya dibuat jengkel olehnya. Ada-ada saja tingkah politisi kita yang suka bikin gemas. Tapi tidak jarang saya juga sering terhibur dengan tingkah konyol mereka. Sampai sini jangan tanya yang gaji saya siapa.

Sepertinya ada juga dampak baik dari carut-marutnya kontestasi tahun ini. Orang-orang di sekitar saya menjadi sedikit melek terhadap politik dan perkembangan kabar terbaru.  Seperti update kabar terkini, meskipun hanya kabar kebaikan jagoannya, maupun kabar keburukan dari bukan jagoannya, yang akan disampaikan kepada yang lain sebagi bentuk provokasi.

Sudahlah! Saya saran, jangan terlalu radikal terhadap jagoanmu. Jika masih tahap fanatik, saya rasa tidak masalah. Tidak perlu mengkoarkan jagoanmu pada khalayak umum. Bukankah asas dalam pemilu kita masih memakai Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBERJURDIL)?

Terakhir, biar jagoanmu yang anda dukung itu bertarung habis-habisan. Seperti yang terjadi pada T’challa dengan Killmonger, kemudian nantinya dalam pertarungan ada salah satu yang ‘mati’, maka sudah jelas siapa akan menjadi pemenangnya. Baiknya, bisa dipastikan tidak ada kesempatan untuk balas dendam karena sudah tidak bernyawa. Ataupun kedua belah pihak mau kongsi-kongsi untuk menyudahi kestressan banyak pihak. Andai saja.

Birar Dzillul Ilah  (Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UTM)