Di dalam film
Black Phanter, kita akan mengenal sebuah negeri pimpinan T’challa bernama Wakanda, negeri dengan kemajuan teknologi
dan limpahan sumber daya alam. Bagaimanapun, Wakanda hanyalah negeri imajiner.
Sebuah negeri yang dikarang oleh seorang penulis naskah film.
Namun
ada bagian cerita yang menarik ketika negeri Wakanda melaksanakan kompetisi
untuk melakukan pergantian raja. Kompetisi yang sekaligus tradisi di Wakanda
bisa dibilang musabab awal terjadinya konflik. Hal ini terjadi ketika
Killmonger berhasil menjatuhkan T’challa yang merupakan seorang pewaris resmi
Wakanda.
Jika
negeri Wakanda adalah fiksi, maka Indonesia adalah faktanya. Negeri ini hampir
persis dengan Wakanda. Seluruh dunia tidak ada yang meragukan akan sumber daya
alam dan pangan yang melimpah dari negara ini. Tradisi pergantian pemimpin juga
sedang mewarnai Indonesia.
Jika di
Wakanda pertarungan terjadi antara T’challa dengan Killmonger, maka di
Indonesia ada Jokowi dan Prabowo.
Taruhlah
sekarang peran T’challa dipegang oleh Jokowi sebagai petahana, dan Killmonger
diperani oleh Prabowo yang merupakan seorang penantang. Sebaiknya Jokowi tak
perlu takut. Hal ini dikarenakan tidak ada jaminan Prabowo akan menduduki
parlemen untuk sementara. Selain itu kilas dari Prabowo ini cukup lama dan
rumit, seperti ketika mendampingi Megawati, menggandeng Hatta rajasa, dan
sekarang dengan Sandiaga Uno. Namun kembali lagi, nasib baik tidak ada yang
tahu seperti rekam jejak gubernur Jawa Timur yang baru dilantik beberapa hari
yang lalu, Khofifah.
Kita
kembali ke pertarungan antara Jokowi dengan Prabowo. Jika di Wakanda
pertarungan dilakukan dengan mempertaruhkan harga diri dengan cara menyerah
atau berlaga sampai mati, maka di Indonesia petarungannya dilakukan dengan
embel-embel demokrasi dan saling ujar kebencian. Hal ini terjadi karena untuk
mempertaruhkan harga diri, sempat dicegah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sangat disayangkan memang, hal itu pernah dilakukan oleh KPU yang bertindak
layaknya wasit. Padahal Indonesia bukan sembarang negara, maka yang akan
memimpinnya pun harus bukan sembarang orang.
Tidak
ada salahnya sistem yang seharusnya dipakai dalam pertunjukan pertarungan
perebutan kekuasaan hanya melibatkan petahanan dan penantang, antara Jokowi dan
Prabowo saja. Berhubung kultur yang menjamur di negara kita adalah adanya
keterlibatan di dalam partai politik, baik pendukung petahana maupun penantang,
maka yang ikut berantem juga merambah ke banyak kalangan.
Baik,
sejak Prabowo mendeklarasikan dirinya menjadi penantang dengan menggandeng
Sandiaga, maka sejak saat itu banyak kejadian yang dinaungi politik. Sebenarnya,
hal ini tidak bisa dikategorikan maklum karena akan terus selalu ada jalan
untuk menang dalam perpolitikan.
Hoax,
ujaran kebencian, kriminalitas, serta kebijakan-kebijakan yang menunggu
momentum adalah warna dalam kontestasi politik, di Indonesia Khususnya. Ya,
Ratna Sarumpaet, Abu Bakar Ba’asyir, Ahmad Dhani, Rocky Gerung dan rentetan
aparatur negara yang menjadi tersangka korupsi adalah peristiwa-peristiwa yang
saya yakin anda mengetahuinya.
Pertarungan
dengan gaya pecundang juga sering kita saksikan dalam beberapa bulan ini antara
kedua belah pihak kubu. Bagaimana tidak pecundang, pertarungan bukan terjadi dengan
saling bertemu di area tarung. Malahan kini kedua kubu saling sindir di media
sosial. Ada juga yang nampak berkelas dengan menggunakan sindiran lewat sastra
dengan membuat puisi seperti Fadli Zon.
Hal
semacam ini tidak hanya terjadi antara kubu Jokowi maupun Prabowo. Bahkan
relawan-relawan yang membawa almamater pendidikanya juga banyak ikut serta.
Akhirnya, hal ini dari setiap kubu malah memanfaatkan situasi untuk saling
berebut dukungan. Mirisnya, dari setiap kubu juga saling klaim siapa yang lebih
islami, seperti adu membaca Al-quran dan sholatnya dimana.
Syahdan,
kekonyolan pertarungan antara kedua kubu merembet sampai tingkat lebih intim,
seperti dalam keluarga. Banyak kisah keluarga yang tidak akur hanya gara-gara
perbedaan dalam memilih presiden. Saya sampai bingung, apaan sih untungnya?
Walaupun
saya adalah pihak ketiga, yakni pihak yang tidak perduli dengan siapa yang akan
memenangkan pemilihan presiden, tapi sering saya dibuat jengkel olehnya.
Ada-ada saja tingkah politisi kita yang suka bikin gemas. Tapi tidak jarang
saya juga sering terhibur dengan tingkah konyol mereka. Sampai sini jangan
tanya yang gaji saya siapa.
Sepertinya
ada juga dampak baik dari carut-marutnya kontestasi tahun ini. Orang-orang di
sekitar saya menjadi sedikit melek terhadap politik dan perkembangan kabar
terbaru. Seperti update kabar terkini, meskipun hanya kabar kebaikan jagoannya,
maupun kabar keburukan dari bukan jagoannya, yang akan disampaikan kepada yang
lain sebagi bentuk provokasi.
Sudahlah!
Saya saran, jangan terlalu radikal terhadap jagoanmu. Jika masih tahap fanatik,
saya rasa tidak masalah. Tidak perlu mengkoarkan jagoanmu pada khalayak umum.
Bukankah asas dalam pemilu kita masih memakai Langsung, Umum, Bebas, Rahasia,
Jujur dan Adil (LUBERJURDIL)?
Terakhir,
biar jagoanmu yang anda dukung itu bertarung habis-habisan. Seperti yang
terjadi pada T’challa dengan Killmonger, kemudian nantinya dalam pertarungan
ada salah satu yang ‘mati’, maka sudah jelas siapa akan menjadi pemenangnya.
Baiknya, bisa dipastikan tidak ada kesempatan untuk balas dendam karena sudah
tidak bernyawa. Ataupun kedua belah pihak mau kongsi-kongsi untuk menyudahi
kestressan banyak pihak. Andai
saja.
Birar Dzillul Ilah (Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UTM)