Andai Soe Hok Gie Bangkit Kembali

Andai Soe Hok Gie Bangkit Kembali

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 17 Februari 2024
Judul : Catatan Seorang Demonstran
Penulis : Soe Hok Gie
Penerbit : LP3S, Jakarta
Tahun terbit : Oktober, 1989
Jumlah halaman: 494 halaman

Soe Hok Gie, nama yang tidak lekang digerus zaman, sosoknya masih terus hidup dalam ingatan masyarakat. Gie, abadi dalam tulisan kritisnya yang gagah berani meski dengan segala keterbatasan dalam kebebasan berpendapat pada Orde Lama. "Catatan Seorang Demonstran" merupakan rekam jejak pemikiran Gie, buku ini berisikan catatan harian Gie semasa hidupnya.

Dalam buku ini, Gie menuliskan pengalaman hidup dan opini terhadap demokrasi di era Orde Lama. Ia selalu memengang teguh cita-cita besar untuk kepentingan orang banyak, terutama kaum terpinggirkan. Pada zaman ia berkuliah, kampus selalu menjadi ajang perdebatan kaum terpelajar yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno.

Perjuangan yang dilakukan Gie lebih banyak melalui tulisan. Kerap kali ia menulis kritikannya melalui media massa maupun catatan harian. Gie ibarat pemuda Indonesia sejati, ia berani melontarkan pendapat atau kritikan secara terang-terangan terhadap pelbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia seperti masalah kesenjangan, kebijakan pemerintah terhadap rakyat minoritas, dan kepentingan golongan.
Buku karya Soe Hok Gie ini terbagi menjadi delapan bagian. Bagian I: Soe Hok Gie, Sang demonstran; Bagian II: Masa Kecil; Bagian III: Diambang remaja; Bagian IV: Lahirnya seorang aktivis; Bagian V: catatan seorang demonstran; Bagian VI: Perjalanan ke Amerika; Bagian VII: Politik, Pesta dan Cinta; Bagian VIII: Mencari makna.

Pemikiran kritis Soe Hok Gie yang kerap kali menjadi bahan perbincangan kaum intelektual berangkat dari kebiasannya dalam membaca dan menulis. Pada bagian II, dijelaskan bahwa ia menyukai buku bacaan sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Jika anak seumurannya masih bermain layang-layang, kelereng dan keluyuran, maka Gie menghabiskan masa kecil hingga remajanya dengan membaca puluhan satra klasik, filsafat, sejarah, hingga biografi tokoh-tokoh terkenal dunia.

Gie menulis, ”Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka”. Pemikiran semacam inilah yang seharusnya hadir dalam kepala muda-mudi di masa kini, dimana nalar kritis benar-benar perlu dikembangbiakkan sebab Indonesia butuh jiwa muda yang bebas tanpa kekangan dan perintah dari siapapun yang berkepentingan. Gie berjalan sesuai dengan hati nurani dan pemikirannya. Ia tahu betul dengan apa yang diperjuangkannya.

Belakangan ini, masyarakat beramai-ramai menyoroti Pemilu yang konon katanya merupakan ”pesta rakyat”. Banyak politikus yang menganggap dirinya mementingkan rakyat, namun kenyataannya omong kosong. Pada masa kampanye, pejabat pemerintah, misalnya saja presiden, mereka mengatakan tidak akan korupsi, akan menjamin kesejahteraan rakyat, akan memenuhi hajat orang banyak dan tidak akan membungkam pendapat masyarakat. Namun pada kenyataannya, itu hanya isapan jempol semata. Di masa lalu misalnya, Jokowi pada tahun 2018 berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat masa lalu. Namun hingga kini, komitmen tersebut tidak kunjung terealisasikan, keluarga korban HAM berat masih melakukan aksi Kamisan di depan gedung Istana Merdeka, Jakarta.

Sebagai muda mudi yang intelektual, hal ini kiranya harus menjadi perhatian bersama. Sayangnya, jangankan berbicara soal hal besar, dalam konteks menjadi mahasiswa saja kita sering apatis terhadap kondisi sekitar. Misalnya saat mengungkapkan pendapat ketika dosen melakukan kesalahan, alih-alih memberikan saran, mahasiswa justru memilih diam bahkan menjilat dosen semata-mata hanya untuk mendapat nilai bagus. Gie pernah menuturkan bahwa guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau.

Dibandingkan hanya menjadi mahasiswa yang sibuk mengikuti tren, sudah saatnya mahasiswa mulai mengasah pikiran sebagai seorang intelektual, mahasiswa harus aktif dalam membentuk dan menciptakan perubahan. Hal itu bisa dimulai dari hal sederhana seperti membiasakan diri untuk membaca buku.

Akhir kata, buku ini menjadi salah satu karya yang wajib dibaca oleh para mahasiswa, khususnya yang mengatasnamakan dirinya sebagai aktivis Indonesia. Dengan adanya buku ini bisa menjadi inspirasi atau pedoman agar generasi penerus bisa mencontoh hal yang dilakukan oleh Soe Hok Gie. Bagi saya, buku ini sangat bagus, meski banyak ejaaan yang masih mengunakan ejaan lama sehingga membutuhkan cukup banyak waktu untuk saya memahami buku ini.

Aisyah Nurainy Kusuma Wardani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi