Seekor Kucing yang Menembak Mati Lelaki Gendut

Seekor Kucing yang Menembak Mati Lelaki Gendut

LPM Spirit - Mahasiswa
Jumat, 29 Juli 2022
Pict. Dina

Pernahkah kau mendengar kisah seekor kucing yang menembak mati seorang lelaki gendut? Terdengar tidak logis dan gila kan? Namun ini sungguh pernah terjadi. Kucing-kucing di kota itu bisa melakukan pekerjaan manusia seperti mencuci baju dan mengepel lantai. Bahkan wali kota sempat mengusulkan agar salah seekor kucing menjabat menjadi kepala polisi di kota itu berkat kepiawaiannya. 

Kemampuan kucing-kucing ini diawali setelah seorang ilmuwan menemukan sebuah ramuan yang dapat mengubah seekor kucing memiliki kemampuan seperti manusia: berjalan seperti manusia, berpikir seperti manusia, dan melakukan kegiatan sosial. Wali kota yang sangat senang dan merasakan angin segar dengan temuan ini kemudian meminta si ilmuwan untuk membuat dan membagikan ramuan itu kepada seluruh kucing. Setelahnya wali kota juga meminta kucing-kucing itu agar membantu pekerjaan manusia (meskipun pada akhirnya banyak kucing tetap memilih menjadi hewan manja dan pemalas setelah meminum ramuan itu).
 
Kembali pada kisah seekor kucing yang menembak lelaki gendut. Kisah ini sangat melegenda dan terkenal di kota itu karena terjadi tepat saat si ilmuwan meninggal. Dan apakah kalian sudah mendengar kisahnya? Jika belum maka izinkan aku untuk menyampaikan kisah itu pada tulisan yang sedang kalian baca ini. Cerita tersebut merupakan cerita milik seekor kucing hitam yang akan kalian akui pesonanya meski hanya dalam sekali lihat. Ekornya panjang dan matanya besar. Ya, kucing hitam itu adalah aku. Ini adalah kisah nyataku. Begini ceritanya.

***

Pagi itu aku kembali sakit hati oleh perkataan lelaki gendut di seberang rumah. Sudah salah kaprah, rasis pula. Dia menjelek-jelekkan diriku di depan pacarku yang notabenenya adalah kucing betina miliknya. Katanya, aku ini tidak pernah mandi dan suka pipis sembarangan. Setelah itu dia juga membandingkan ras kami yang tidak sepadan karena aku hanya seekor kucing kampung sedangkan pacarku dari ras Ragdoll. Ah, dasar lelaki sinting! Apa jangan-jangan dia sendiri yang ingin kawin dengan kucingnya? Masa pacaran saja tidak boleh.

“Jangan dekat-dekat sama kucing hitam itu. Dia sudah tua, tidak pernah mandi, pipis sembarangan dan cuman kucing kampung. Kamu jangan sampai terjerat dengan kata-kata ataupun janji manisnya. Itu bohong. Dia pasti akan meninggalkanmu seperti pacar-pacarnya yang lain,” ucapnya kala itu. 

“Lagian kamu juga masih kecil. Belum genap satu tahun,” sambungnya. Kulihat lelaki gendut itu mengelus-elus pacarku dan memberinya vitamin.

Aku benar-benar sakit hati mendengarnya. Apalagi lelaki gendut itu selalu menghalangiku untuk bertemu pacarku. Pernah suatu kali aku disemproti air sampai dilempari batu karena mencoba masuk ke rumahnya. Tapi aku tidak putus asa. Pada hari selanjutnya aku menyusun strategi lain. Malam hari saat dia tertidur diam-diam aku bertemu pacarku. Aku masuk ke dalam rumah itu lewat pintu samping menggunakan kunci cadangan yang kubuat sendiri. Kami berdua akan bercakap-cakap sambil menatap bintang yang jauh dari atas genting.

“Besok aku ke sini lagi,” janjiku pada Ariel. Itu adalah nama pacarku yang diberikan tuannya. Ya, si lelaki gendut itu.

“Tapi bagaimana jika tuanku memergokimu? Lebih baik kita jangan sering bertemu,” kata Ariel.

“Jangan khawatir, itu nggak bakal terjadi. Aku kan selalu hati-hati,” jawabku menenangkannya.

“Jangan. Aku nggak mau. Aku takut kalo ketahuan,” katanya. Suaranya terdengar gemetar, apa dia memang setakut itu jika kami ketahuan bertemu diam-diam?

“Tidak ap—”

“Tidak mau!” potongnya sambil berteriak. Aku takut jika lelaki gendut itu bangun karena mendengarkan suara kami. Akhirnya aku memilih untuk pergi dan mengalah pada Ariel. Kubilang tidak akan menemuinya besok meski sejatinya aku sedang dibuat penasaran besar dengan tingkahnya yang aneh.

***

Esok malamnya meski aku tidak pergi ke rumah lelaki gendut itu, namun aku diam-diam tetap melewati rumahnya. Aku diam beberapa saat di depan rumah yang remang itu dengan tatapan sendu. Aku rindu. Tapi tidak ingin mendapatkan risiko besar jika memaksa masuk dan bertemu Ariel. Pacarku itu bisa kecewa kalo aku memaksa bertemu dan salah-salah aku bisa terpergok oleh lelaki gendut yang rasis itu. 

“Hah, bagaimana ya?” gumamku.

Sesaat aku kalut. Sejujurnya aku sangat ingin bertemu Ariel. Ah bukan, melihat wajahnya saja. Aku ingin melihat wajah ayunya. Bolehkah? Lagian Ariel hanya melarang kami untuk bertemu sementara waktu bukan melarangku untuk melihatnya. Jika aku memanjat atap rumah itu dan melihat Ariel dari atas tidak apa-apa bukan? Alasan lain aku juga khawatir dengan tingkah lakunya yang aneh kemarin.

“Apa yang kau lakukan bodoh!”

Saat aku mencoba memanjat atap rumah itu melalui teras depan, secara tiba-tiba terdengar suara bentakan laki-laki dari dalam. Aku yakin itu bukan suara milik si lelaki gendut karena aku mengenal suaranya yang cempreng. Apa jangan-jangan itu suara perampok? Apakah Ariel diculik? Bagaimana ini, aku takut.

Dengan kemampuan yang kubisa, aku secepat mungkin menerobos rumah si lelaki gendut. Aku tidak jadi memanjat atap rumahnya (dan karena tidak membawa kunci cadangan) beralih masuk melalui jendela kaca di samping rumah yang memang memiliki sedikit celah karena kacanya hancur. Sesaat aku merasakan nyeri di tubuhku karena terkena bagian kaca jendela yang runcing. 

“Sial,” kataku setelah menemukan kandang Ariel yang kosong. Aku kembali bergegas mencarinya di sudut lain. Sungguh, saat ini rasa nyeri di tubuhku semakin menjadi-jadi.

“Jangan lakukan itu bodoh! Dia bisa mati. Bukankah katamu dia belum genap satu tahun!”

Oh, itu suara pria tadi. Aku tidak ingin mengamini skema di kepalaku bahwa lelaki itu sedang bersama Ariel, tapi perkataannya yang menyebutkan umur kurang dari satu tahun, mau tak mau mengingatkanku pada Ariel. Aku takut, hatiku tidak tenang dan tubuhku benar-benar nyeri. Aku bahkan bisa melihat tetesan darah keluar dari bulu-buluku yang cantik. 

“Hentikan, Max. Kucingmu bisa mati,” teriakan lelaki itu kembali terdengar.

“Diam, brengsek,” sahut si lelaki gendut.

Oh, Tuhan. Aku tidak pernah membayangkan hal ini. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana si lelaki gendut itu melecehkan pacarku. Ariel sedang terkapar di sana dan menangis tanpa suara. Sesaat mata kami bertemu. Dari gerakan mulutnya aku bisa menangkap jika dia memintaku pergi seperti janjiku kemarin untuk tidak menemuinya. Ah, persetan dengan janji itu! kurasakan diriku mendidih, aku marah dan sakit hati. 

Kudekati lelaki gendut itu setelah menyambar pistol desert eagle berwarna hitam di atas meja.  Tanpa memedulikan tatapan protes pacarku, aku menembak lelaki gendut itu di bagian kepalanya yang botak, di bagian kemaluannya yang kurang ajar, dan di mulutnya yang bisa-bisanya menipu Ariel yang polos. Lelaki gendut itu selalu melarang Ariel bertemu denganku tapi sendirinya melakukan hal bejat pada Ariel.

Aku sakit hati.

Ulul Faricha Luqman
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Trunojoyo Madura