Judul : Retorika (Seni Bicara)
Penulis : Aristoteles
Jenis : Essai
ISBN : 978-602-6651-98
Tahun : 2018
Sebuah Cacian
Kebanyakan orang memiliki otak sudah dikotori dengan segala sesuatu yang
berorientasi pada perut bahkan sampai kemaluan. Terlebih bagaimana yang terjadi
pada politisi Indonesia. Seharusnya, dengan mengisi otak setidaknya
mementingkan arti kemanusiaan bukan malah terbentur kepentingan, partai politik
dan persetan dengan omong kosong lainnya.
Loro piker adalah istilah yang akrab di desa
saya untuk menggambarkan kondisi seorang yang dalam tahap berpikir saja sudah
salah. Sudah tentu tindakannya akan lebih menyimpang dari sebagaimana mestinya.
Melirik kondisi sekarang yang terjadi pada politisi kita misalnya – dalam tahap
berpikir saja sudah salah. Walau bagaimanapun tidak dapat kita hindarkan ada banyak
faktor hal seperti itu sudah terjadi.
Adalah Sebuah Resensi
Retorika. Seni yang memang seharusnya dipakai
untuk membungkus bagaimana pemikiran seseorang (pola pikirnya). Baik dalam seni dalam
berargumentasi, pidato, debat, interogasi atau setidaknya dalam bahasa
sehari-hari. Tidak lain tujuannya adalah bagaimana menyembunyikan persuasi kita
untuk pendengar agar senada dengan apa yang kita pikirkan. Selain itu, untuk
mengupayakan diksi yang dipakai agar lebih efektif dan mudah dipahami oleh
lawan bicara.
Seni seperti ini sebagaimana yang dikenalkan
oleh Aristoteles, dalam buku ”RETORIKA (seni berbicara)” setebal 416 halaman
yang diterbitkan oleh basa-basi,
bertujuan memberikan dasar, tumpuan dan pijak untuk urusan persuasi melalui beretorika.
Walaupun, tidak sepenuhnya buku ini melulu menjabarkan secara teknis penyusunan
kalimatnya. Jadi, untuk lebih mendalam terkait retorika bisa memperdalam disiplin
ilmu lain, logika misalnya.
Bahwa, retorika masih dekat dengan dialektika,
logika, dan politik. Tentunya keempat perkara tersebut adalah anak turun dari
filsafat. Berawal dari filsafat yang menurunkan banyak fase, dari naturalis
sampai dengan postmodern – lebih spesifik misalnya dalam konstruksi berpikir
kita kenal dengan Materialisme Dialektika Logika (Madilog), Tan Malaka, yang berawal dari ketidaksetujuannya pada
Materialisme Dialektika Histori (MDH). Lebih lanjut pada tahap logika masih
menurunkan banyak cabang, salah satunya yaitu terkait silogisme. Juga; filsafat
menurunkan disiplin baru yaitu politik. Sedangkan kaitannya dengan semua itu,
retorika digunakan untuk membungkus dan menyajikannya dalam berargumentasi.
Saya tidak akan membahas lebih jauh yang bukan
tentang retorika. Dan betapa rakusnya anda ketika menuntut saya untuk menjabarkan
semuanya.
Saya kira, retorika memang sangat dibutuhkan
untuk berbicara agar lebih berseni. Walaupun kadang, retorika dapat digunakan
untuk mematahkan argumen dan fakta dari lawan berbicara, dengan atau tanpa kita
mengetahui kebenarannya. Seperti: ketika kita terjebak dalam suatu perdebatan
yang lawan bicara kita lebih mumpuni dalam tema tersebut, bisa kita mematahkan argumen
atau fakta yang dipaparkan oleh lawan bicara kita, asal kita bisa menemukan
celah atau premis yang dibangun oleh lawan kita yang kurang logis.
Misalnya;
”Untuk urusan biologi tentunya saya lebih
darimu yang kuliah hukum,” ucap Ando.
”Siapa yang berani menjamin?” tanya Sualow.
”Antara kita bedua, saya tentunya,” balasnya.
”Atas dasar apa kamu bisa menjamin? Setidaknya
diskusi perkara tersebut saja belum pernah kita coba,” balasnya.
”…,” Ando terdiam.
”Baiklah! Binatang apa yang durasi bercintanya
paling cepat?” tanya Sualow.
”Mana aku tahu. Lagian apa pentingnya juga,”
sanggah Ando.
”Kamu bilang lebih mumpuni. Bagaimana kita akan
melanjutkan sebuah perdebatan jika hal itu saja belum kamu ketahui,”
Ando hanya diam karena tidak bisa melempar
wacana lain. Selain itu dia terjebak kalimat terakhir yang disuguhkan Sualow.
”Ah, pasti kamu juga tidak tahu mana saja titik
rangsang dari perempuan,” tambah Sualow yang membuat Ando semakin terdiam.
Karena dia tahu bahwa sampai sekarang Ando masalah bercinta selalu terhenti
pada tahap niat.
”Biasanya, hanya orang-orang yang dangkal isi
otaknya selalu menganggap bahwa dirinya lebih dari orang lain,” tutup Sualow
mengakhiri percakapan.
Setelah kejadian tersebut diketahui bahwa Ando
langsung pulang ke rumah dan langsung membuat Indomie pakai telur dan
memakannya di kamar mandi (plis, jangan anggap serius).
Masih banyak kegunaan retorika, seperti yang
terkenal adalah jargon berpidato seperti
Obama – yang selanjutnya Shel Leane menulis sebuah buku ‘Berbicara dan Menang Seperti Obama’.
Karena gaya bicara dan pidato Obama dikenal karena mampu membakar, mengesankan
dan meningkatkan gairah siapapun yang mendengarnya. Gaya pidato yang singkat
dan padat tersebut yang mampu mengantarkan Barrack Obama terpilih menjadi
presiden kulit hitam pertama di Amerika.
Lebih dalam, ngeles dan mencari pembenaran juga keunggulan dari retorika.
Dalam hal ini, dikenal juga dengan ilmu mantiq (logika) dan ilmu balaghoh yang tidak jauh beda dengan
retorika. Walaupun antara retorika dengan mantiq
– balaghoh berbeda dalam hal tujuan dan ruang lingkupnya.
Keunggulan dari buku ini sangat banyak dan
bermanfaat. Untuk kekurangan, saya kira begitu kurang ajar dan tidak tahu diri
ketika bisa memaparkan kekurangan dari buku ini. Dan tentu, buku ini masih
relevan dibaca sampai sekarang untuk kalangan SMA ke atas.
Buku ini sangat ringan untuk dibaca karena
memang bahasanya mengalir. Saya sendiri, hanya perlu menghabiskan 8 batang
rokok untuk menyelesaikannya. Rata-rata waktu yang saya butuhkan satu batang
rokok adalah lima belas menit atau sembilan ratus detik. Dalam kurun waktu
tersebut bisa sampai lima puluh halaman, jadi rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk perlembarnya hanya delapan belas detik.
Banyak waktu kita terbuang sia-sia, padahal
bisa kita gunakan untuk membaca buku, Retorika-nya Aristoteles salah satunya.
Syahdan. Awal-awal pembahasan dalam buku ini
membahas peran juri dalam persidangan untuk menentukan bersalah atau tidak pada
seorang. Namun, saya malas membicarakan lebih jauh soal hukum, di Indonesia
khususnya yang berisi pembenaran, pembenaran, dan pembenaran.
Namun, tidak ada salahnya kita melihat sebuah
film yang menyangkut peran juri, yang tentunya retorika dalam film tersebut
sangat berguna, 12 Angry Man.
Bagaimana tidak, satu orang mampu membuat 11 juri lainnya merubah keputusannya.
Caranya? Lihat saja filmnya, ya.
Sebuah Cerita
Alkisah dalam sebuah forum. Seorang nabi
menyudahi membicarakan segala hal yang ada di dalam perut bumi dan di atas
langit. Dalam forum yang diikuti banyak jamaah tersebut disediakan makanan,
kurma utamanya. Ketika nabi menyudahi pembicaraan lalu melemparkan sebuah
pernyataan untuk mendinginkan suasana.
”Baik semuanya. Kita telah membicarakan banyak
hal. Sekarang, bisa kita lihat siapa diantara kita semua yang paling rakus
makannya,” tutur nabi tersebut.
Diketahui bahwa pernyataan tersebut untuk
menyudutkan seorang di sampingnya – bahwa, ketika nabi selesai makan kurma
bijinya ditaruh di depan pemuda tersebut.
Seisi ruangan tersebut saling lihat satu sama
lain dan berhenti pada pemuda disamping nabi, karena biji kurmanya lebih
banyak.
”Tidak seperti yang anda lihat semua,
saudaraku,” sanggah pemuda yang merasa dijebak.
”Sebenarnya ada yang lebih rakus sampai bijinya
dimakan,” tambahnya. Yang sekaligus ditujukan kepada seseorang yang berada di
sisi lain nabi, karena memang tidak ada biji kurma di depannya. Padahal dia
tidak memakan kurma, konon katanya dia merokok.
Dari pernyataan tersebut membuat seisi ruangan
menjadi tertawa. Menyikapi pernyataan cerdas tersebut, nabi langsung memuji
keceradasannya dan memberitahukan kebenarannya.
”Lihatlah saudara-saudara. Betapa cerdasnya
dia. Dia adalah pintunya ilmu,” ucap nabi.
”Jika saya pintunya ilmu, maka engkaulah
kotanya,” balasnya.
”Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah
pintunya,” ucap nabi.
Bahwa, pemuda tersebut adalah Ali Bin Abi
Thalib, yang dikenal akan kecerdasannya. Dalam cerita lain, ada sepuluh orang
yang bukan golongan Ali memberikan pertanyaan yang sama untuk mengetahui cerdas
atau tidaknya Ali. Selain itu adalah bentuk upaya menggugurkan perkataan dari
nabi tersebut. Namun, Ali mampu menjawab sepuluh pertanyaan sama dari orang yang
berbeda, dengan jawaban yang berbeda pula.
*Terinspirasi dari sebab turunya hadis Muhammad yang menyatakan dirinya
adalah kotanya ilmu dan Ali pintunya.
Cacian Stadium Lanjut
Oh, tidak saudaraku. Walaupun pemilu serentak
telah usai dengan masih menyisahkan saling klaim kemenangan. Tapi, kita tidak
boleh bahwa sumber kerusuhan sampai ke grup Whatsapp
keluarga ada Jokowi – Prabowo wa kampret dan cebong yang menyertainya.
Masih ingatkah kita dengan pernyataan Jokowi
yang mengatakan ’kebangeten’ untuk BPJS karena urusannya sampai ke mejanya. He?
Pakde mungkin sedang loro piker,
bagaimana tidak, seolah presiden tidak mau tahu urusan tersebut. Namanya juga
presiden, harus tahu segala hal yang terjadi di negara yang dipimpinnya. Dan
tentu, harus bertanggung jawab atas segala hal yang menyertai dalam masa
pemerintahannya.
Juga; masih ingatkah kita dengan pernyataan
Jokowi akan melawan siapa saja yang mengatakan dirinya yang bukan-bukan.
Seperti itukah logika seorang yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyatnya?
Begitu juga dengan rivalnya, Prabowo. Pernah
suatu ketika dia menyatakan bahwa Indonesia akan bubar jika dirinya tidak
terpilih menjadi presiden. Sungguh, Ghost
Flat yang merupakan karya fiksi menjadi acuan Prabowo untuk menobatkan
dirinya – bahwa, nasib keutuhan bangsa ada di pundaknya ketika menjadi
presiden.
Sudah? Tentu belum. Pernah ramai isu bahwa
pimpinan tidak boleh dikritik dengan keluarnya UU MD3 – katanya, untuk menjaga
marwah wakil rakyat. Yang lebih parah seperti yang dikatakan Fahri Hamzah
bahwa, DPR tidak boleh dikritik dan yang boleh dikritik adalah presiden karena
memiliki kekuasaan. Selain itu, presiden digaji untuk mendegarkan kritik pedas
dari rakyat. Fiks, loro piker.
Pertama, tentunya DPR juga memiliki kekuasaan.
Sebagaimana trias politika berjalan,
teori pembagian ’kekuasaan’. Tentu baik MPR (yudikatif), Presiden
(eksekutif), DPR (legislatif) sama-sama memiliki kekuasaan, digaji rakyat, dan
seharusnya jika mengacu dari perkataan Fahri Hamzah maka, semua digaji untuk
mendegarkan kritik pedas dari rakyat.
Lalu, ada juga Budiman Sujatmiko, bisa kita
lihat rekam sejarahnya memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Namun, sayang,
pihaknya masih menyanggah dengan pembenaran bahwa pada masa Jokowi tidak ada
lagi kebakaran hutan. Payah!
Jadi?
Memang, kita tidak bisa menilai seorang
berkompeten atau tidak dari caranya beretorika. Namun, tidak perlu juga
memaksakan menggunakannya. Tapi walau bagaimanapun, untuk menjadi seorang lebih
’kritis’ menelan informasi, alangkah baiknya kita mendalami disiplin ilmu ini.
selain itu, setidaknya banyak manfaatnya daripada kerugian yang akan kita dapat
mempelajari suatu ilmu, dan mau bagaimanapun
sebagai rakyat biasa seharusnya tidak mudah tertipu dengan statement yang dikeluarkan pejabat kita.
Seperti: ketika quick count memenangkan pasangan 01, banyak wartawan yang bertanya
kepada Anis Baswedan jika Sandiaga kembali menjadi wakil gubernur? Untungnya,
Anis sadar bahwa pertanyaan tersebut adalah jebakan, karena secara tidak
langsung ada makna bahwa Sandiaga gagal menjadi wakil presiden.
Lalu, bisa kita temui logika dan pola pikir
salah di sekitar kita, misalnya bahwa, rakyat harus takut kepada pimpinan,
tidak demikian. Seharusnya, siapapun pemimpinnya itu harus takut kepada
rakyatnya. Sekali lagi, kita rakyat yeng memiliki kedaulatan tertinggi sesuai
konstitusi, yang seharusnya ditakuti oleh setidaknya pejabat kelas teri sampai
tingkat presiden.
Btw, kok tidak bahas Rocky Gerung sih?
Birar Dzillul Ilah
Anggota Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa