Jony dan Sampah yang Sebenarnya

Jony dan Sampah yang Sebenarnya

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 20 Oktober 2018


Sebuah persoalan yang luput dari sebagian pandangan mata; sampah. 

Tidak ada yang memungkiri bila sampah adalah salah satu perkara berskala besar di Indonesia dan negara bagian Asia khususnya. Sementara itu, 5 negara yang menduduki kursi dengan kuantitas sampah terbanyak adalah Cina, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Sri Lanka.


Sampah berkapasitas paling besar adalah sampah plastik. Hingga akutnya persoalan tersebut untuk menimbang daur ulang membutuhkan waktu cukup lama, Natgeo dan Natgeo Asia khususnya membahas hal demikian. Dengan polemik memilih planet atau plastik dalam majalahnya.

Melihat persoalan demikian dari lingkup institusi juga tidak jauh berbeda, misalnya di ranah Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Hal ini bisa kita lihat dari sisi yang tidak tampak di sebagian besar kalangan  civitas akademika. Tepatnya di sebelah barat gedung asrama atau selatan food court terdapat saksi bisu metabolisme sampah di universitas. Kurangnya perhatian dari sudut pandang pihak manapun merupakan hal mutlak yang patut disebutkan.

Syahdan, untuk mengetahui persoalan sampah di UTM saya membuat janji dengan salah satu cleaning service untuk ikut membakar sampah, kebetulan saya sudah pernah berbincang-bincang sebelumnya dengan dia.


Panggil saja Jony, nama samaran dari belasan tahun lalu ketika pertama kali menginjakkan kakinya di UTM. Lelaki yang sudah tidak lagi muda ini berasal dari Kediri, sebenarnya nama aslinya Kadimin. Dia adalah salah satu sosok di balik pengurangan minimnya sampah UTM. Dia tidak hanya mengambili sampah di Ruang Kuliah Bersama (RKB), tapi juga membakarnya.

Hal demikian merupakan tuntutan yang diterima. Jika tidak demikian, ia akan mendapatkan amarah dari dekan-dekan di fakultas sebab sampah tidak bersih.

Ketika saya mengikutinya, dia memulai dengan mengumpulkan sampah dari tong sampah yang disediakan di setiap fakultas dengan gerobak kuning yang ditarik dengan motor bebeknya. Setelah terkumpul baru dibawa ke tempat pembuangan akhir, kemudian akan dibakar sore atau paginya.

Ketika berbincang Jony, dia menuturkan berbagai persoalan perihal banyaknya sampah di kampus. Salah satunya adalah ulah mahasiwa yang semaunya sendiri. Dengan dalih mereka membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) mereka bisa membuang sampah sembarangan. Jika mendengar alasan tersebut dia tidak dapat berkata lain, dibakarlah kejengkelannya bersama  sampah-sampah tersebut.


Persoalan pemberontakan norma atas dalih mengikuti regulasi dengan alasan ikut membayar adalah alasan klasik.

Sebenarnya, persoalan siapa yang sebenarnya sampah adalah lain cerita. Seperti kata Citra Dara Vresti Trisna salah satu wartawan madya di ibukota Jakarta,  dia memaparkan ketika mengamati pengerukan sampah di kali Ciliwung Jakarta Pusat. "Mau berapa kali dikeruk setiap minggunya tidak akan mengatasi persoalan demikian. Karena sampah yang sebenarnya tidak ada yang mengatasi," tutur Citra.


Memang demikianlah adanya. Butuh waktu berapa lama akan menghasilkan jawaban konkrit bahwa sampah sebenarnya adalah metabolisme dari manusia yang tidak dikondisikan. Misalnya, masih kurangnya kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya.


Mengutip kajian yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan (Himala) UTM terkait hulu hilir sampah di Kamal, bahwa empat faktor yang menyebabkan menumpuknya sampah di daerah tersebut, khususnya sebelah pelabuhan timur adalah pola hidup yang kurang baik, kurangnya kesadaran, kurang adanya edukasi, dan kekurangan tempat pembuangan. Bahkan setelah melakukan bersih-bersih sampah, ternyata sampah kembali lagi dari masyarakat sekitar tidak ada satu jam setelahnya. Pola semacam ini bisa terjadi di mana saja, dan kapan saja selama pola pikir masih kurang sehat.

Lalu, siapa yang sebenarnya sampah? (Bir/Wuk)