Sebuah persoalan yang luput dari sebagian pandangan mata;
sampah.
Tidak ada yang memungkiri bila sampah adalah salah satu
perkara berskala besar di Indonesia dan negara bagian Asia khususnya. Sementara
itu, 5 negara yang menduduki kursi dengan kuantitas sampah terbanyak adalah
Cina, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Sri Lanka.
Sampah berkapasitas paling besar adalah sampah plastik.
Hingga akutnya persoalan tersebut untuk menimbang daur ulang membutuhkan waktu
cukup lama, Natgeo dan Natgeo Asia khususnya membahas hal
demikian. Dengan polemik memilih planet atau plastik dalam majalahnya.
Melihat persoalan demikian dari lingkup institusi juga tidak
jauh berbeda, misalnya di ranah Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Hal ini
bisa kita lihat dari sisi yang tidak tampak di sebagian besar kalangan civitas akademika. Tepatnya di sebelah barat
gedung asrama atau selatan food court
terdapat saksi bisu metabolisme sampah di universitas. Kurangnya perhatian dari
sudut pandang pihak manapun merupakan hal mutlak yang patut disebutkan.
Syahdan, untuk mengetahui persoalan sampah di UTM saya
membuat janji dengan salah satu cleaning
service untuk ikut membakar sampah, kebetulan saya sudah pernah
berbincang-bincang sebelumnya dengan dia.
Panggil saja Jony, nama samaran dari belasan tahun lalu
ketika pertama kali menginjakkan kakinya di UTM. Lelaki yang sudah tidak lagi
muda ini berasal dari Kediri, sebenarnya nama aslinya Kadimin. Dia adalah salah
satu sosok di balik pengurangan minimnya sampah UTM. Dia tidak hanya mengambili
sampah di Ruang Kuliah Bersama (RKB), tapi juga membakarnya.
Hal demikian merupakan tuntutan yang diterima. Jika tidak
demikian, ia akan mendapatkan amarah dari dekan-dekan di fakultas sebab sampah
tidak bersih.
Ketika saya mengikutinya, dia memulai dengan mengumpulkan
sampah dari tong sampah yang disediakan di setiap fakultas dengan gerobak
kuning yang ditarik dengan motor bebeknya. Setelah terkumpul baru dibawa ke
tempat pembuangan akhir, kemudian akan dibakar sore atau paginya.
Ketika berbincang Jony, dia menuturkan berbagai persoalan
perihal banyaknya sampah di kampus. Salah satunya adalah ulah mahasiwa yang
semaunya sendiri. Dengan dalih mereka membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) mereka
bisa membuang sampah sembarangan. Jika mendengar alasan tersebut dia tidak
dapat berkata lain, dibakarlah kejengkelannya bersama sampah-sampah tersebut.
Persoalan pemberontakan norma atas dalih mengikuti regulasi
dengan alasan ikut membayar adalah alasan klasik.
Sebenarnya, persoalan siapa yang sebenarnya sampah adalah
lain cerita. Seperti kata Citra Dara Vresti Trisna salah satu wartawan madya di
ibukota Jakarta, dia memaparkan ketika
mengamati pengerukan sampah di kali Ciliwung Jakarta Pusat. "Mau berapa kali dikeruk setiap minggunya tidak akan mengatasi
persoalan demikian. Karena sampah yang sebenarnya tidak ada yang mengatasi,"
tutur Citra.
Memang demikianlah adanya. Butuh waktu berapa lama akan
menghasilkan jawaban konkrit bahwa sampah sebenarnya adalah metabolisme dari
manusia yang tidak dikondisikan. Misalnya, masih kurangnya kesadaran untuk
membuang sampah pada tempatnya.
Mengutip kajian yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu
Kelautan (Himala) UTM terkait hulu hilir sampah di Kamal, bahwa empat faktor
yang menyebabkan menumpuknya sampah di daerah tersebut, khususnya sebelah
pelabuhan timur adalah pola hidup yang kurang baik, kurangnya kesadaran, kurang
adanya edukasi, dan kekurangan tempat pembuangan. Bahkan setelah melakukan
bersih-bersih sampah, ternyata sampah kembali lagi dari masyarakat sekitar
tidak ada satu jam setelahnya. Pola semacam ini bisa terjadi di mana saja, dan
kapan saja selama pola pikir masih kurang sehat.
Lalu, siapa yang sebenarnya sampah? (Bir/Wuk)