Aku Rindu Negeriku

Aku Rindu Negeriku

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 29 Agustus 2015
Oleh : Syaiful Anwar

Meremeh-temehkan Ramah Tamah Seingatku, semua orang tahu Indonesia adalah bangsa yang ramah, masyarakatnya senantiasa murah senyum, dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Namun itu dulu: ketika pagar-pagar besi yang tinggi belum tertancap di depan rumah-rumah. 

Aku pun masih ingat, sebelum pagar-pagar itu didirikan, aku sering bermain kelereng di halaman rumah tetanggaku. Disana aku bisa memetik buah dari pohon buah-buahan yang ditanam tetanggaku. Aku senang, sebab aku bisa mengambilnya sesuka hati tanpa harus diteriaki maling. Namun sekali lagi, itu dulu: ketika buah-buahan yang telah matang di pohon belum terbungkus kantong kresek agar tak dimakan codot. Bayangkan, seekor hewan sekelas codot saja tak dibolehkan untuk memakannya, apalagi manusia sepertiku? Sekarang, pemandangan sehari-hari di sekitar rumahku hanyalah rumah-rumah dengan pagar yang tinggi. Jangankan bermain kelereng di dalamnya, melihat dari luar saja tak bisa. Pagar-pagar itu pun menyebabkan kami jarang bertegur sapa antartetangga. Kita jadi tidak tahu apa saja yang dilakukan tetangga kita di dalam rumahnya. 

Tak heran sering terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak diketahui oleh tetangganya. Kasus penelantaran anak, pembunuhan satu keluarga, hingga penemuan mayat yang membusuk kerap kali terkuak dalam waktu yang lama. Entah apa saja kesibukan orang-orang sekarang, sampai bertegur sapa dan saling berinteraksi dengan tetangga pun tak diindahkan. Kalau kurenungkan lebih jauh, jangankan antartetangga beramah tamah, lha wong interaksi anak dengan orangtuanya saja telah memburuk. Kini, rumah-rumah dipenuhi oleh banyak pintu dan penyekat. Anak-anak lebih suka berdiam diri di dalam kamar sambil bermain gadget dan curhat dengan pacarnya via telepon. Terkadang ia juga menutup rapat pintu kamar agar orangtuanya tak ikut campur atau pun nguping. 

Apakah ini yang disebut bangsa ramah tamah? Yang ada ramah tamahlah yang selalu diremeh-temehkan! Bhineka Tinggal Nama Selain dikenal sebagai bangsa yang ramah, Indonesia juga terkenal dengan semboyan bhineka tunggal ika. Seingatku, guru SD-ku dulu mengatakan arti bhineka tunggal ika adalah: berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Bhineka tunggal ika diciptakan sebagai landasan pemersatu bangsa. Ia diharapkan mampu menepiskan perbedaan dan meminimalisir konflik. Dari sinilah aku belajar pentingnya toleransi, makna menghargai, dan menyesuaikan diri di tengah-tengah perbedaan itu. Namun lagi-lagi, aku malu mengatakannya: itu hanya dulu. Kini, aku sering mendengar berita konflik antar-suku dan agama di Indonesia. 

Tak jarang, karena perbedaan tersebut mereka saling membunuh satu sama lain. Tak diragukan lagi, bhineka tunggal ika tinggal nama. Tapi yang jelas selama kita mempunyai pancasila sebagai pedoman bangsa Indonesia, rasanya bukan hal yang tak mungkin untuk mencapai bangsa yang ramah tamah sekaligus ber-bhineka tunggal ika. Orang-orang yang menanamkan pancasila adalah orang yang memiliki jiwa kebangsaan dengan menuangkan cintanya ke dalam bangsa sendiri. Salah satu nilai-nilai pancasila yang tertuang dalam sila kedua amat berkaitan dengan tulisan ini: keanekaragaman. Orang yang menanamkan sila kedua atas dasar kemanusiaan, cinta Indonesia karena keanekaragaman di muka bumi ini harus terus dilestarikan. 

Sebaliknya, orang-orang yang sinis terhadap perbedaan harus sadar bahwa tidak mungkin seluruh dunia jadi Islam semua, atau kristen semua, atau Jawa semua, atau Batak semua. Karena Tuhan pun menciptakan manusia dengan perbedaannya masing-masing!