Madura Era Suramadu

Madura Era Suramadu

LPM Spirit - Mahasiswa
Rabu, 01 Mei 2013
Sudah 2 tahun berlalu proyek prestisius jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya-Madura- telah terpasang gagah. Harapan meningkatnyakesejahteraan masyarakat madur apasca suramadu kian menjadi tantangan besar bagi para stakrholder diseluruh madura. Perlu di pikirkan bagaimana seharusnya madura menghadapi era pasca suramadu, stagnansi tentu tidak diharapkan dalam menjamin kesejahetraan masyarakat madura terlebih lagi pembangunan suramdu telah menelan anggaran negara yang tidak sedikit. 

http://pustaka.pu.go.id/uploads/resensi/A-Suramadu0001-818200920345.jpgAnggaran sebesar RP. 4,2 triliun yang membangkak dari estimasi awal sebesar Rp. 3,5 triliun, bukan merupakan dana yang hendak di buang- dan tanpa memperoleh hasil. Suramadu awal kebangkitan atau kehancuran Indonesia saat "orde baru" identik dengan pembangunan yang sentralistik, sehinga menimbulkan kesenjangan antar daerah. Terpusatnya pembangunan menyebabkan daerah-daerah tidak memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah. Dengan berubahnya pola pembangunan pasca Reformasi, dari sentralisitk menjadi desentralisitk, keran kesenjangan diharapkan semakin sedikit dan akhirnya menghilang. Harapan besar ada pada proyrk prestisius Jembatan Suramadu, karena dengan berdirinya suramadu juga akan mendorong pembangunan yang menyesuaikan dengan potesi lokal. 

Suramadu meberikan harapan besar unutk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, segingga kesenjangan antar daerah dapat treratasi- minimla di wailayah jawa timur.Era pembanguna pasca suramadu akan menjadi tonggak kebangkitan daerah, sehingga kesejahteraan masyarkat yang merupakan cita-cita pembangunan akan terwujud. Akan tetapi era desentralistik memberikan persolana baru, banyak timbul persoalan kewenangan pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Permasalahan ini acapkali mengganggu proses pembangunan sehingga realisasi pembangunan tersedat-sendat dan menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan. Dalam kasu pembangunan pasca suramadu, kita temui permasalahan "kewenangan" antara Badan Pembangunan Wilayah Suramadu (BPWS) dengan pemerintah daerah di Madura. 

BPWS yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008, dianggap melangkahi wewenang pemerintahan daerah, bahkan dianggap merombak sistem hukum tata negara karena telah membatalkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan. Terlepas tumpang tindih ini, penyelesaian kewenangan ini seharusnya dapat diselesaikan dengan baik-baik, terlebih BPWS memiliki anggaran yang dapat digunakan untuk membantu percepatan pembangunan Madura era suramadu. Namun nyatanya, permasalahan kewenagan ini tetap menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan pada hari ini. Beragam spekulasi muncul, terkait belum rampungnya permasalahan kewenangan tersebut. Terlepas benarkah permasalahan kewenangan telah terselesaikan atau tidak, pembangunan suramadu terlihat sangat lamban, sebagai contoh pembangunan di sisi suramadu kini belum tampak. Padahal BPWS pada tahun 2011 sebesar memiliki anggaran sebesar Rp 295 miliar. 

Membangun Madura Jauh sebelum Suramadu terwujud, Muncul pemikiran dari beberapa intelektual madura, mereka menghendaki pembangunan era suramadu bukan membangun di madura, dalam artian hanya sekedar membangun infrastruktur saja, namun pembangunan madura hendaknya mewujudkan membangun madura dari berbagai sektor, sehingga kesejahteraan madura akan tercapai. Membangun madura bukanlah pekerjaan mudah, jika kita membandingkan selurh wilayah madura dengan Jawa Timur saja kita akan melihat tingkat ketimpangan yang tinggi, mulai dari Penerimaan Daerah sampai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang merupakan indikator keberhasilan pembangunan di suatu wilayah. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menjadi maslah serius di madura. 

Terlebih belum tersedianya infrastruktur yang baik di madura. permasalahan-permasalahan tersebut menjadi batu sandungan besar untuk membangun madura, seakan-akan membangun madura merupakan pekerjaan yang mustahil dilakukan dalam waktu singkat, perlu waktu yang panjang dan modal besar. Disisi lain, ada kecenderungan tidak siapnya madura menerima eksternalitas pembangunan, melihat madura merupakan daerah yang dikenal sangat religius dan masih memegang teguh adat istiadat-nya. 

Memang seperti itulah pembangunan, pasti akan menimbulkan eksternalitas yang tidak bisa kita cegah namun bisa kita minimalisir. Jika permasalahan-permasalahan tersebut tetap menjadi batu sandungan untuk membangun madura, maka kita kan pastikan pemabnguan suramadu tidak akan menghasilkan apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau madura harus berbenah dengan cepat. 

Firman G. Akhmadi* Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Trunojoyo Madura