Jeritan Rakyat Pascakakistokrasi

Jeritan Rakyat Pascakakistokrasi

LPM Spirit - Mahasiswa
Kamis, 22 Agustus 2024
                         Pinterest: PutriLiffia

Carut-marut sistem ekonomi hingga eskalasi politik tak sedikit membuat rakyat memuntahkan unek-unek yang lama terpendam. Ramai menjadi perbincangan di ranah dunia nyata hingga media massa. Jika dirunut dari berbagai dinamika, ini merupakan buah hasil dari pemangku jabatan beberapa dekade belakang. Stakeholder begitu cepat merumuskan kebijakan akan tetapi impact yang ditimbulkan tidak sesuai dengan kepentingan, tidak sesuai kaidah perencanaan top down. Alih-alih masyarakat dapat mencurahkan aspirasi, realitanya secara terang-terangan justru dibungkam dengan pelbagai cara; banyak pasal karet yang diciptakan, sebagian besar masyarakat yang menentang dicap sebagai pemberontak anti “pemerintah” bahkan “antek-antek komunis”.

 Menurut catatan Amnesty; 95 serangan terhadap pembela HAM di tahun 2023 dengan total jumlah korban sebanyak 268 orang, naik 63 persen dibanding tahun sebelumnya (168) dan menjadi tertinggi sejak tahun 2019. Sasaran terbanyak pada tahun 2023 adalah aktivis Papua (103), jurnalis (89), petani (31) dan masyarakat adat (24).  

Kebebasan ruang berekspresi dan bersuara sirna termakan angin dinasti yang berembus. Legitimasi untuk merumuskan sebuah kebijakan publik tidak diindahkan, yang ada hanya kepentingan kelompok atau kroni yang menjabat. Lagi-lagi masyarakat pascapemilu merasakan kecelik (tertipu) dengan berbagai branding yang dibuat calon pemimpin. Begitu pun kala Jokowi mangkat presiden, exposure dibuat seolah-olah ia menjadi Satria Piningit yang mewakili rakyat. Ini yang menjadikan PR masyarakat yang terbui pemikiran pengultusan tokoh. Hingga masyarakat terperdaya dengan citra “wong cilik” yang dibuat. Tak lain adanya mental populisme yang menutupi tirani kebusukan. Nyatanya, di akhir kepemimpinan dengan terang-terangan ia membuat kerumitan untuk kalangan wong cilik

Banyak warisan pembangunan jokowi tidak mecerminkan demokrasi justru mengesampingkan hak masyarakat kecil. Seperti contoh; proyek IKN, Pulau Rempang, Desa Wadas, Mandalika dan lain-lain. Berbagai produk undang-undang yang disahkan pemerintahan Jokowi tidak hanya kurang menghormati kepentingan hak asasi manusia sedari kalangan petani, buruh, dan masyarakat adat tetapi juga dalam proses perumusannya melanggar hak masyarakat untuk berpastisipasi dalam kepentingan publik. Dengan kata lain menormalisasikan kesalahan dan kecacatan.

Wajah Kegagalan Demokrasi “Pemilu”

Polarisasi politis tahun ini sebagai refleksi ketidaksiapan negara Indonesia dalam mengimplementasikan sistem yang dielu-elukan yaitu “demokrasi”. Secara etimologis demokrasi berasal dari kata Yunani kuno, “demos” dan “kratos” demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan mutlak. Lebih lanjut, demokrasi mempunyai serapan makna keputusan tertinggi di tangan rakyat. Pemerintah enggan mengatakan mereka melunturkan kaidah demorasi, dengan membuat pola-pola “seperti” demokrasi. Paradoks bengis jalan menuju kerusakan melalui pemilu ialah bahwa para pembegal demokrasi menggunakan lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri sebagai meriam waktu, perlahan, secara halus, bahkan melegalkan untuk membunuhnya. 

Ironis bila penerapan demokrasi Indonesia dengan pola-pola yang diciptakan keluarga istana belakangan, taktik yang dicanangkan dengan sistem mengukung dan membuat rakyat dibayangi perasaan mencekam. Bukan tanpa sebab, gejolak yang tercipta mengingatkan saya dalam buku “Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto” di buku tersebut menyebutkan Opsir Koppig (Soeharto) selama lebih dari 30 tahun kepemimpinannya, tidak pernah ia mempersiapkan diri untuk mundur. Ia secara perlahan membangun basis kekuasaan-kekuasaannya, dan memusatkan episentrum pada dirinya. Mengutip dari Tempo.co sistem yang dijalankan soeharto kala itu untuk kemenangan mutlaknya dengan pengerahan jalur ABG-ABRI, birokrasi, dan Golkar sedangkan Jokowi memakai jalur aparat, birokrasi dan partai politik. Lebih lanjut, langkah taktis Jokowi dalam mengkondisikan perolehan suara dengan melantik penjabat gubernur serta 178 penjabat bupati dan walikota secara berkala pada akhir 2022 hingga 2023. Seleksi penjabat itu pun tidak menghiraukan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lewat pengkoordiniran ini rezim Jokowi mengintruksikan kepala dinas membantu pemenangan Prabowo-Gibran. 

 Sebagian kecil yang dibuat rezim Jokowi dalam melanggengkan kekuasaan dengan melemahkan trias politica yang ada. Lobbying senjata ampuh yang dipergunakan kroninya dengan menggenggam dan menyandera aparat atau politisi yang ada. Namun, amat disayangkan masih banyak rakyat yang mengkultuskan sosok yang sekiranya menjadi momok dari masalah ini. 

Transisi Demokratis Menuju Otoritarian

Kekuasaan bak sebuah madu legit dalam wadah untuk disantap. Kekuasaaan sejatinya melenakan bagi mereka yang tidak memiliki moralitas. Power trend to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton: 1834-1902) (Seseorang yang memegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, dan seseorang yang memegang kekuasaan mutlak pasti menyalahgunakannya). Bukan angin segar yang menerpa rakyat pascapemilu Indonesia. Akan tetapi, kerunyaman serta kecacatan situasi seolah hal lumrah untuk dipertontonkan, lenyap rasa malu dari masing-masing kelompok yang bertujuan merebut kursi agung pemerintahan. Mereka berambisi untuk menjadi bagian dari dinasti politik dengan segala anomali yang beriringan. 

Bila ditelaah keabnormalan sirkulasi perpolitikan sukar untuk ditampik bagi rakyat awam. Sedari agenda konflik kepentingan beberapa elite politik elektoral di tahun politik ini menjadi salah satu catatan. Di sisi lain, marwah demokrasi sengaja diabaikan. Isu yang kerap dipakai untuk melemahkan lawan (oposisi) dengan mengultimatum rentetan kasus dengan ancaman akan dibawa ke ranah pengadilan dan juga bagi-bagi jabatan bahkan kewenangan pengolahan sumber daya alam. Sehingga kelanggengan kekuasaan menemui titik terang, tidak adanya power dalam controlling pemerintah menjadikan kewaspadaan, terlebih Indonesia pernah mengalami fase kelam zaman orde baru. 

Akankah hal ini akan menjadi awal kebangkitan rezim otoriter? Bukankah ini menjadikan titik nadir demokrasi? Dengan berbagai kerancuan yang terjadi, seyogyanya masyarakat lebih waspada bukan hanya sibuk menyalahkan sesama, kita merupakan korban dari kepentingan oknum pemegang kekuasaan. Sebagai rakyat yang dilahirkan dan tumbuh di tanah luhur ini, penulis hanya menginginkan negara loh jinawi ini baik-baik saja. Bukan hanya diperas untuk kekenyangan dan kekayaan kelompok belaka. 

Billy Lafi Aula
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan