Febi Febiola Saragih, selaku Mahasiswa Fakultas Teknik mengungkapkan kekecewaannya karena tidak lolos KIPK, padahal dirinya berasal dari keluarga petani yang kurang mampu.
“Saya dari kalangan tidak mampu dan sudah terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), orang tua saya tidak punya gaji tetap karena pekerjaannya bertani dan menggarap lahan milik orang lain. Makanya dengan adanya KIPK ini saya sangat berharap lolos supaya saya bisa kuliah, namun malah diberikan UKT maksimal,” ungkapnya (12/07).
Febi juga menjelaskan jika dirinya tidak mendapatkan keringanan UKT dari pihak UTM, orang tuanya melarang untuk melanjutkan kuliah.
“Orang tua sudah bilang tidak usah lanjut kalau bayarnya sekian, tapi saya bersikeras mau kuliah dan berharap bisa dapat keringanan dari pihak UTM,” harapnya (12/07).
Adapun Aminulloh, selaku mahasiswa Program Studi (Prodi) Teknik Mekatronika mengungkapkan bahwa dirinya merasa kecewa dengan hasil seleksi yang dilakukan UTM, karena dirasa tidak sesuai antara hasil seleksi dan kemampuannya.
“Saya melamar KIP namun dinyatakan tidak lolos saat pengumuman, padahal orang tua bekerja sebagai petani dan tergolong sebagai keluarga kurang mampu, hal ini sangat memberatkan saya dan keluarga. Apalagi bapak saya berpenghasilan tidak menentu, terkadang tiga bulan tidak mendapat penghasilan sama sekali,” ungkapnya (12/07).
Hal serupa dirasakan oleh Eriska Celine Sitorus, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Dirinya menyayangkan bahwa dengan tidak lolosnya KIPK berharap mendapatkan UKT minimum, namun saat pengumuman justru mendapatkan UKT maksimal tiga juta.
“Padahal saya sudah terdata di DTKS, KIP, serta penghasilan orang tua juga kurang lebih satu juta per bulan, belum lagi masih ada tanggungan adik sekolah juga,” ungkap mahasiswa asal Sumatera (12/07).
Jonathan Andrian Geofany, selaku mahasiswa Fakultas Teknik turut mengungkapkan kekecewaannya karena tidak diloloskan KIPK dan mendapatkan UKT maksimal, padahal dirinya sudah terdata di DTKS serta keluarganya mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH). Pihaknya juga mempertanyakan apakah karena rumahnya yang dianggap cukup mewah dengan listrik 1300 VA, padahal rumah tersebut bukan milik keluarganya.
“Apa karena rumah kami tampak mewah dengan besaran listrik 1300 VA? Namun perlu diketahui rumah tersebut bukan milik kami, kami hanya menumpang. Selain itu besaran gaji orang tua sebagai buruh sopir hanya Rp2.000.000 per bulan dengan tanggungan dua adik saya yang masih bersekolah,” ungkap mahasiswa asal Mojokerto (12/07).
Hal tersebut telah mendapatkan respons oleh Ahmad Roby Gunawan, selaku Presiden Mahasiswa UTM, pihaknya mengungkapkan telah melakukan audiensi kepada pihak rektorat, perihal keluhan mahasiswa yang mendapatkan UKT maksimal saat dinyatakan tidak lolos KIPK.
“Tadi pihak Advokesma sudah melakukan audiensi ke Biro Akademik dan Kemahasiswaan (BAK) dan Biro Umum dan Keuangan (BUK) untuk membahas hal ini. Dari BUK menjelaskan tidak ada penurunan UKT kecuali untuk mahasiswa yatim piatu, namun UKT bisa dibayar secara berangsur, selain itu jika dirasa keberatan, mahasiswa bisa mengirim surat keterangan keberatan dari orang tua mahasiswa ke BUK,” ungkap mahasiswa asal Sampang (12/07).
Saat dihubungi, pihak Biro Akademik dan Kemahasiswaan (BAK) mengarahkan kami ke Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, namun ketika ditemui keduanya menolak untuk diwawancara. (WN/J2)