Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Juli 2014
Penulis: Prijono Hardjowirogo
Harga: Rp79.000
Tebal: 325 halaman
Prijono Hardjowirogo atau pria yang akrab dipanggil Jono merupakan penulis asal Indonesia yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 25 Mei 1948 dan saat ini tinggal di kota New York. Ia pernah belajar di Long Island University dan University of California, Los Angeles dalam bidang filsafat ilmu. Hingga saat ini Jono masih aktif menulis dan telah menerbitkan beberapa buku termasuk yang best-seller yaitu, Peter Norton Inside Pc dan Danny Godman's HyperCard Handbook. Latar belakang hidup Jono yang tinggal di luar negeri, khususnya di kota New York, juga memberikan pengaruh besar dalam karya-karyanya. Pengalaman bertemu dengan berbagai orang dan budaya yang berbeda telah memperkaya wawasan dan perspektifnya dalam menulis. Dalam buku-bukunya, Jono sering menghadirkan gambaran yang kaya akan nuansa lokal, namun tetap relevan dan menarik bagi pembaca internasional.
"Tidakkah kamu tahu siapa Noto sebenarnya?" merupakan pertanyaan yang terdapat di belakang cover buku ini, sekaligus pertanyaan yang akan sering dilontarkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita lantaran pencapaian-pencapaian Noto yang tidak masuk akal. Dimulai dari menangkap Teuku Musa Puteh (dalam novel ia disebutkan sebagai salah satu pemimpin pemberontakan di Aceh) seorang diri sampai berhasil mengalahkan seluruh pemberontak dengan jumlah korban yang minimum, yaitu 3 orang meninggal dari pihak pemberontak. Jawaban dari pertanyaan para tokoh dan hal hebat yang dilakukan Noto akan muncul seiring berjalannya cerita.
Awal cerita dari buku ini yaitu, dimulai pada tahun 1965, setelah ditinggalkan orang tua karena kebakaran rumah tokoh Noto mendapatkan surat misterius berisikan perintah untuk tinggal bersama kerabatnya di Solo Jawa Tengah, yaitu bernama Dharmawan.
Dharmawan adalah sepupu jauh, menerima Noto sebagai saudara yang sekaligus berperan sebagai narator cerita, keduanya berusia 13 tahun yang menjalani kehidupan paralel, dimulai dari seatap bersama hingga saling menulis surat saat mereka menempuh pendidikan di kota yang berbeda. Namun, identitas asli Noto adalah sebuah misteri, bahkan bagi Dharmawan sendiri. Dharmawan memberi tahu pembaca tentang kehidupan Noto hingga usia pertengahan 20-an dan mengungkap “misteri Noto” dengan perlahan dan indah.
Noto digambarkan sebagai karakter yang sempurna dalam segala hal, unggul dalam semua mata pelajaran sekolah serta memiliki keahlian dalam catur, bela diri, menari, pelajaran agama, persahabatan, dan pekerjaan. Ia masih berumur tiga belas tahun ketika pertama kali dikenalkan.
Walaupun tokoh utama, Noto, menjadi fokus utama dalam cerita terutama dalam perjalanan hidupnya sampai usia 20-an, namun novel Noto Tragedi, Cinta dan Kembalinya Sang Pangeran berhasil menggambarkan pandangan yang lebih luas tentang dunia di sekitarnya. Hal yang paling krusial dan menjadi sorotan di masa depan adalah bagaimana novel ini menghadapi tragedi berdarah dalam sejarah Indonesia, yakni penghancuran Partai Komunis Indonesia dan pembantaian para pendukung mereka di masa yang akan datang.
Selain itu Noto dihadapkan banyak rintangan dengan cintanya, Yanti. Cinta pertama sang tokoh utama yang terus setia dengan menunggunya. Sangat menarik bagaimana ayah Yanti yang seorang Feodal melarangnya berhubungan dengan Noto karena hanya rakyat jelata. Feodal adalah paham orang bangsawan atau kerajaan untuk memandang status lawannya.
Pada konteks hubungan perkawinan dalam sistem feodal di Indonesia, pernikahan sering kali digunakan sebagai alat politik dan ekonomi untuk memperkuat ikatan antara keluarga bangsawan atau penguasa. Sampai sekarang praktik feodal masih kerap dilakukan, di Bali misalnya. Ada empat kasta di Bali yaitu Brahmana sebagai teratas, Ksatria, Waisya dan Sudra.
Perkawinan nyerod di Bali merujuk pada perkawinan beda kasta di mana pihak perempuan menikah dengan pihak laki-laki yang memiliki kasta yang lebih rendah. Istilah "nyerod" sendiri bermakna "meluncur" atau "bergerak turun". Dalam perkawinan nyerod, perempuan dianggap "meluncur" atau bergerak turun dari kasta asalnya dan menjadi bagian dari kasta suaminya yang lebih rendah.
Dampak perkawinan nyerod tidak bisa dianggap enteng. Perempuan yang menikah dengan kasta yang lebih rendah dapat kehilangan status sosial, termasuk akses sembahyang di pura (tempat ibadah) keluarga asalnya. Selain itu, perempuan juga dapat kehilangan kesempatan-kesempatan lain yang mungkin hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kedudukan kasta yang lebih tinggi. Sebagai contoh, jika seorang perempuan dari kasta Brahmana menikah dengan seorang laki-laki dari kasta Waisya, perempuan tersebut dianggap telah kehilangan status Brahmananya dan mengikuti kasta suaminya yang lebih rendah. Hal ini bisa mengakibatkan perubahan signifikan dalam status sosial dan kehidupan sehari-hari perempuan tersebut.
Kelebihan buku ini yaitu, penulis mampu menggambarkan dengan detail dan jelas tegangnya konflik di dalam buku. Namun, ada beberapa dialog yang tidak sesuai dengan kaidah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehingga membuat saya menerka-nerka arti dari dialog tersebut.
Pesan yang bisa diambil, di antaranya yaitu berpikir kritis dan ingin tahu akan kebenaran seperti yang dilakukan Dharmawan salah satunya ketika dia dan teman-temannya masih remaja, mereka tahu bahwa cuplikan-cuplikan berita yang mereka baca di surat kabar di Jakarta hanya memberikan hasil, bukan perasaan, rasa takut dan kekejaman itu sendiri. Mereka juga tahu bahwa berita sudah disaring untuk sajian publik.
Meskipun fokus cerita banyak pada kedua tokoh utama, namun novel ini memberikan gambaran yang lebih luas tentang dunia sekitar mereka. Novel ini juga menciptakan pertanyaan tentang identitas sebenarnya Noto, yang akan terjawab seiring perkembangan cerita. Gaya penulisan yang indah dan pemikiran kritis Dharmawan dalam menghadapi tantangan dalam pendidikan agama menjadi salah satu elemen menarik dalam cerita ini.