Plagiarisme & Aleniasi Pendidikan

Plagiarisme & Aleniasi Pendidikan

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 16 Maret 2014

Oleh : Riris A.D

Bekerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia, akan tetapi membuat kita merasa kurang menjadi manusia dan kurang menjadi diri kita sendiri 
(Teori alienasi Karl Marx). 

Plagiarisme dalam dunia pendidikan di Indonesia belum juga menemui titik solusi. Nama-nama yang masuk lingkaran hitam pelanggaran UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) nyatanya sekadar angin lalu yang hanya menghiasi headline media massa. Terungkapnya kasus plagiarisme yang dilakukan Anggito Abimanyu (AA), seorang guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) dalam artikelnya di kolom opini Harian Kompas pada (10/02/14) seperti dilansir sindonews.com ternyata tidak menampakkan adanya revolusi pemberantasan plagiarisme selanjutnya. Aktivitas plagiarisme cenderung dipersoalkan sebatas kesenjangan moral atau ketidakpahaman pelaku terhadap hal-hal termasuk praktek plagiat. Tidak banyak yang menyadari adanya dikotomi sistem pendidikan yang represif, menuntut akselerasi dan aktualisasi terhadap hasil. Standart kelulusan peserta didik misalnya. Setiap tahun mengalami perubahan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang semakin tinggi. 

Akselerasi terhadap pencapaian kompetensi belajar pun digalakkan. Para guru mengakali strategi pembelajarannya dengan menempatkan peserta didik sebagai pribadi yang aktif dan cekatan dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Teknik penugasan karya tulis sekaligus presentasi di dalam kelas hampir memenuhi jurnal kegiatan belajar mengajar. Tentu bukan rahasia umum lagi di kalangan akademisi. Sebuah karya tulis yang seharusnya melewati proses penelitian atau studi literatur yang mumpuni, kini melalui fasilitas copy dan paste dari internet sudah dapat diwujudkan bentuknya dalam waktu sekejab. Semuanya dilakukan demi akselerasi, mengingat masih banyak tanggungan penugasan yang mengantri. Refleksi Fenomena Alienasi Fenomena plagiarisme atas dasar efektifitas pemenuhan tugas menampakkan realitasnya yang lain. 

Bukan sekadar penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, akan tetapi juga menimbulkan stigma pendewaan terhadap hasil akhir. Teori Karl Marx tentang alienasi manusia seperti terkutip di atas seakan menunjukkan wacana yang terkait fenomena plagiarisme saat ini. Karl Marx menganggap dalam sistem kapitalisme, orang-orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sebagai syarat untuk bisa hidup. Jadi, pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia, baik dirinya sendiri maupun orang lain (Franz Magnis-Suseno, 2005:95). 

 Mahasiswa tidak lagi beranggapan bahwa mengerjakan tugas perkuliahan membuat ilmu pengetahuannya bertambah. Ia memenuhi tugas bukan lagi atas dasar semangat dan kecintaannya, melainkan karena adanya keterpaksaan untuk memperoleh transkrip nilai. Seorang guru besar sekelas AA pun, mungkin sudah kehilangan jati dirinya hingga mengalienasi diri terhadap pekerjaan menulis. 

Menulis dijadikan obyek perolehan upah sekaligus eksistensi, bukan sarana berpikir dan bersuara. Diperlukan Revolusi Memang tidak dapat disamakan seutuhnya antara fenomena alienasi pada kasus plagiarisme dengan alienasi manusia yang dibahas Karl Marx. Keduanya merupakan masalah pada tingkat dan jenis yang berbeda. Namun, mengambil langkah revolusi pada sistem pendidikan seperti halnya Karl Marx melakukan revolusi proletariat bukanlah cara yang salah untuk mengakhiri plagiarisme. 

Dalam ilmu fisika dirumuskan bahwa akselerasi (a) = besarnya gaya (f) dibagi massa (m). Maka, akselerasi dalam proses pembelajaran akan semakin optimal jika besarnya gaya, dalam hal ini penjelasan materi dari dosen dan pendalaman materi secara mandiri oleh mahasiswa diperbesar. Sementara besar massa yang mempresentasikan beban tugas perlu diperkecil. Kecanggihan teknologi juga sudah seharusnya dibarengi dengan penggunaan software pendeteksi plagiasi. 

Hal ini sebagai langkah preventif untuk mengetahui pihak-pihak yang melakukan plagiarisme. Mempertegas sanksi hukum untuk diberlakukan pada pelaku plagiarisme pun perlu diprioritaskan. Karena lemahnya lembaga hukum justru mengundang penyimpangan-penyinmpangan hukum berkeliaran. Plagiasi adalah pembodohan. Jika saja tubuh dan pikiran kita digerakkan untuk melangkah lebih maju, tidak perlu mengalienasi diri untuk mencapai eksistensi. Sebaliknya, semakin kita diam dan mengurung diri, sama halnya dengan mendiamkan bangsa ini dipenuhi orang-orang tak tahu diri.