EKSPANSI BUDAYA, SERBUAN MAUT INDONESIA

EKSPANSI BUDAYA, SERBUAN MAUT INDONESIA

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 27 April 2013
http://www.imq21.com/iw/img?image=t400_petrokimia.jpgIndonesia akan menyerbu beberapa negara. Bukan serbuan fisik melainkan serbuan sebuah film laga pencak silat, “The Raid”. Film garapan Gareth Evans ini telah memukau kritikus film pada Festifal Film Sundance dan Festifal Film Internasional Toronto. 

Di samping itu, film ini akan diputar di beberapa negara. Bahkan Internet Movie Database (IMDB), menempatkan film ini dalam daftar 50 Film Action Terbaik Sepanjang Masa dengan rating 8 dan menempati peringkat 44, dibawah film Rocky. Prestasi ini setidaknya telah mengikis rasa pesimistis masyarakat perihal kualitas film nasional dan menjadi kado pada hari perfilman nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret mendatang. 

Kita ingat betul ketakutan penikmat film tatkala film-film Hollywood tidak tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Kekhawatiran yang cukup beralasan menengok kualitas perfilman nasional yang di dominasi film-film horor yang “nakal”. Akan tetapi, Hollywood tidak selalu melahirkan film-film baru dengan ide-ide segar. Bahkan karena kekurangan ide kreatif, industri film Hollywood sering mendaur ulang (remake) film yang bagus, baik dari film Hollywood terdahulu ataupun dari film negara lain. Kita bisa lihat remake dari Spiderman, Batman, Superman yang diperbaiki dari berbagai segi. Contoh daur ulang film dari negara lain, seperti The Departed (Infernal Affairs, Hong Kong), The Ring (Ringu, Jepang), The Magnificent Seven (Seven Samurai/Shichinin No Samurai, Jepang). Hal ini membuktikan bahwa film Hollywood sendiri sesungguhnya memiliki kekurangan, namun tetap memiliki dukungan dari masyarakatnya. Lantas, bagaimana dukungan masyarakat 

Indonesia terhadap perfilman nasional? Pada umumnya, masyarakat akan menjawab sinis untuk pertanyaan tersebut. Masalah tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, kesuksesan sebuah film berimbas pada berlomba-lombanya sineas film untuk membuat film yang sejenis. Kondisi ini jelas akan membuat jenuh penikmat film nasional. Kasus ini terjadi ketika film “Jelangkung” banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Kemudian muncul film-film horor yang dalam perkembangannya bergeser pada genre film horor “nakal”. Kedua, film bagus adalah film dengan visual effect yang bagus. Sebuah pemahaman keliru bagi penonton awam yang menuntut mutu. The Artist merupakan contoh konkret. Film bisu dan hitam putih yang menjadi film terbaik Academy Award ke-84 tahun 2012 mengalahkan delapan film pesaingnya. Ini menunjukkan bahwa tidak selamanya film bagus mesti menampilkan kecanggihan teknologi dalam setiap adegannya. Mafhum, melihat masyarakat kita yang mudah terpukau terhadap sebuah kecanggihan. Ketiga, hanya mengejar profit tanpa disertai kualitas. 

Kian derasnya pemberitaan mengenai bobroknya negeri ini menyebabkan penonton butuh tontonan yang mampu membangkitkan semangat dan inspirasi mereka. Serbuan Maut Indonesia Sukses film The Raid (di Indonesia berjudul “Serbuan Maut”) di luar negeri mendapatkan respon positif dari para penikmat film dalam negeri yang tidak sabar ingin segera menontonnya. Bahkan dalam salah satu forum besar di internet, sepakat untuk tidak membajak film tersebut dan wajib menontonnya di bioskop. Kita sadari Indonesia adalah tempat ekspansi budaya dari negara lain. Ada anime yang menyerbu anak-anak tiap hari minggu, kemudian boy/girl band di pentas musik Indonesia, dan malam hari waktunya televisi menanyangkan box office film-film Hollywood. Dan semua itu ditempurkan dengan kualitas perfilman nasional. Siapa yang akan menyangka anak kita lebih mengenal Naruto, Upin dan Ipin daripada tokoh pewayangan? Siapa pula yang akan menyangka anak kita lebih gemar mentatto tubuhnya, bukannya membatik? Budaya negara lain tumbuh subur di tempat kelahiran kita, namun kita terkadang tidak mengenal budaya sendiri dan hanya marah ketika budaya negeri di klaim negara lain. Film merupakan media yang efektif dalam melakukan ekspansi budaya, terlebih pada anak-anak dan remaja. 

Kita pun tahu bagaimana Walt Disney dan Hollywood memperkenalkan gaya hidup negara mereka. Jepang tidak tinggal diam, mereka menangkal ekspansi budaya Amerika dan melakukan serangan balik dengan Anime. Korea, India dan Malaysia sudah mulai bergerak untuk melakukan ekspansi budaya. Melalui ekspansi budaya, masyarakat dunia akan tahu dengan sendirinya darimana sebuah budaya tanpa perlu diperkenalkan. Pencak Silat merupakan bentuk ekspansi budaya dalam film The Raid. Tetapi, The Raid hanya segelintir film nasional yang dapat memukau negara lain. Euforia ini sebatas lewat apabila tidak memacu semangat karya anak bangsa di industri perfilman nasional. Butuh film-film nasional lain yang digarap dengan serius oleh anak bangsa untuk “menyerbu” negara lain. Selain itu, ekspansi budaya hanya akan menjadi angan apabila film yang diusung tanpa ada unsur pengenalan budaya Indonesia. 

Seperti halnya Jet Li memperkenalkan Kung Fu pada khalayak melalui film, dan selanjutnya membuka peluang bagi film-film serupa dari Cina untuk memperkenalkan budaya mereka. APRESISI FILM Kurangnya dukungan terhadap perfilman nasional dikarenakan awamnya masyarakat kita terhadap apresiasi sebuah film nasional. Keawaman ini dimulai sejak masa sekolah. Minimnya pengetahuan seputar perfilman disebabkan sekolah-sekolah umum lebih melihat film adalah aspek yang tidak begitu penting. Padahal melihat karakter siswa siswi saat ini cenderung meniru gaya hidup dari apa yang mereka tonton. Tanpa sadar informasi dari film akan masuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan nantinya mempengaruhi karakter penonton yang belum mampu menangkap sebuah pesan dari film. Peran orang tua sendiri dalam mendampingi anak mereka tidak bisa dua puluh empat jam karena ada kalanya mereka juga sibuk bekerja. Maka penonton sendirilah (siswa/siswi) yang harus pintar menyaringnya. 

Mata pelajaran apresiasi film perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah umum karena dunia perfilman hanya diajarkan jurusan atau sekolah-sekolah perfilman. Apresiasi berasal dari bahasa latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. B. Philips Gove mengartikan apresiasi lebih luas, yakni pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin serta pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan. Dengan penerapan mata pelajaran apresiasi film, harapannya anak-anak sekolah tidak menelan mentah-mentah sebuah film serta dapat mengapresiasi film-film nasional guna mendukung untuk meningkatkan kualitas film nasional. Nantinya tidak ada lagi anak bangsa yang menilai bagus atau tidaknya film dari kecanggihan teknologi atau visual effect semata. Bolehlah Roger Ebert, satu-satunya pengulas film yang meraih Pulitzer, memuji Kill Bill Vol. 

1 dengan berkata, “It’s all story telling and no story”. Artinya film tidak hanya berkutat pada plot cerita yang kuat dan menarik atau meminjam kata-kata Hikmat Darmawan (Redaktur Rumahfilm.org), tidak memiliki pesan apa-apa. Akan tetapi, untuk saat ini, melihat perkembangan dunia yang semakin kompleks, sebuah film paling tidak memiliki sebuah pesan yang dapat membangun/membentuk karakter bangsa. Dalam konteks ini, pengenalan sebuah budaya bangsa yang dikemas pada sebuah film yang dapat diterima dunia sangat penting untuk melakukan ekspansi budaya. Dan membuat anak-anak bangsa ini bangga memiliki budaya mereka sendiri. “We must give them hope, pride, a desire to fight,” ucap Danilov dalam Enemy At The Gates. Irfa Ronaboyd Penikmat Film Tinggal Di Semarang