Perfilman Indonesia telah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Adanya permintaan dari masyarakat, terlebih kaum remaja, membuat banyak rumah produksi berlomba-lomba untuk menampilkan karya filmnya dengan menarik. Mulai dari genre film horor, romantisme, action, komedi dan sebagainya. Pada kali ini Falcon Pictures berhasil membuat sebuah karya film biografi yang diadaptasi dari kehidupan tokoh masyarakat Minang, yaitu Buya Hamka.
Buya Hamka dikenal sebagai sastrawan, filsuf dan ulama besar Indonesia. Beliau telah menulis karya-karya terkenal seperti Tenggelamnya kapal Van Der Wijk, Di bawah Lindungan Ka’bah dan lain-lain. Hamka juga merupakan salah satu pelopor lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namanya diabadikan pada daftar nama pahlawan Nasional Indonesia dan sebuah Universitas di Jakarta Timur yakni Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka.
Falcon Pictures berhasil membungkus kisah perjalanan hidup Buya Hamka menjadi sebuah karya yang dapat dinikmati oleh penonton. Setelah sebelumnya Falcon pictures sukses menyambet penghargaan film terlaris, yaitu Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! dan My Stupid Boss, kini Falcon Pictures membuat gebrakan baru. Mereka membawakan film bertema biografi perdana mereka.
Dilansir dari ameera.republika.co.id Produser Chand Parwez mengungkapkan, proses pembuatan film ini membutuhkan biaya yang besar mencapai Rp 70 miliar. Total tersebut telah menjadikan film Buya Hamka menjadi produksi film yang mengeluarkan anggaran terbesar dalam sejarah perfilman di Indonesia. Bahkan mengalahkan film Bumi Manusia yang mengeluarkan anggaran Rp 50 miliar.
Biaya yang fantastik dalam produksi ini, terlihat dalam visual dan setting lokasi dengan latar waktu 1940-an yang digunakan dalam produksi film sangat totalitas. Bahkan, biaya make-up mencapai Rp 3 miliar untuk pemeran utama Buya Hamka. Serta pembangunan setting yang rumit dan detail turut menjadi aspek yang membuat biaya produksi film ini menjadi besar. Selain itu, pembuatan film ini membutuhkan waktu sembilan tahun untuk dapat rilis secara resmi di layar lebar pada bulan April 2023. Bahkan untuk pembuatan skenarionya, penulis membutuhkan waktu empat tahun. Hal tersebut dikarenakan agar penggambaran sosok Hamka dapat dijelaskan secara detail.
Berbicara soal cerita film, Buya Hamka Vol 1 mengisahkan Hamka yang menjadi pengurus Muhamadiyah di Makassar tahun 1933 dan berhasil memberikan kemajuan yang pesat. Berkat tulisan Hamka yang menarik membuat dirinya diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masyarakat di Medan.
Pada masa itu, Hamka membuat tulisan di surat kabar yang memberitahukan kepada para pemuda untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Alhasil tulisan di koran Pedoman Masyarakat tersebut membuat marah pihak Jepang karena dianggap kontroversial yang berujung ditutupnya perusahaan tempat ia bekerja.
Tidak berhenti sampai di situ, Pihak Jepang juga menutup sekolah-sekolah di wilayah Hindia Belanda. Mendengar hal itu membuat Hamka tidak tinggal diam. Hamka melakukan negosiasi agar sekolah tersebut tetap dibuka. Akan tetapi, di mata masyarakat, usaha-usaha Hamka untuk melakukan pendekatan pada pihak Jepang malah dianggap sebagai tindakan penjilat. Hal tersebut membuat Hamka terpaksa mundur dari jabatannya sebagai pengurus Muhammadiyah.
Keputusan Fajar Bustomi selaku sutradara untuk memilih Vino G Bastian sebagai tokoh utama dalam film dapat dibilang tepat. Terlihat dalam aktingnya sangatlah menghayati dan selaras. Hal tersebut, menjadi tantangan tersendiri bagi Vino untuk membawakan tokoh Hamka. Penokohan Vino terlihat sangat berbeda dengan film sebelumnya yang pernah diperankan, di mana selalu terdapat adegan baku hantam. Kini Vino harus membawakan sosok yang begitu sabar dan agamis.
Salah satu scene yang masih melekat dalam ingatan, ketika Buya Hamka yang tetap bisa tersenyum di balik raut wajahnya yang sudah mengeriput, saat ditilik oleh sang istri beserta anak-anaknya di rumah tahanan. Rantang yang berisikan nasi dan gulai kepala kakap spesial dibuat oleh Ruham diberikan untuk sang suami. “Nasi itu sudah terasa asin, janganlah engku (tuan) tambahi air mata didalamnya,” ucap Ruham ketika Hamka memakan nasi dengan meneteskan air mata. “Air mata berasa asin itu karenanya air mata adalah garam kehidupan,” jawab Hamka.
Adapun ihwal kekurangan dan kelebihan dari film ini, karya yang berdurasi 106 menit ini, seolah terburu-turu sehingga membuat penonton awam yang belum mengenal tokoh buya hamka akan dibuat kebingungan. Jalan-cerita yang lompat-lompat dari satu scene ke scene lainnya menyisakan kesan kurang mulus. Akibatknya peristiwa-peristiwa penting yang dialami oleh Buya Hamka terlihat kurang mendalam dan detail. Contohnya terlihat dalam scene masyarakat bersorak riuh akibat kabar kemerdekaan, kemudian langsung lompat ke adegan hormat bendera. Alhasil terlihat jelas jomplangnya. Melihat dari durasi 106 menit, yang sangat padat ceritanya sehingga membuat tim sedikit kesulitan untuk menggambarkannya secara detail.
Secara keseluruhan, 85% film ini menggunakan bahasa Minang, 10% bahasa Indonesia dan 5% bahasa Jepang, sehingga memerlukan subtittle agar penonton lebih memahami alur dengan seksama. Hal ini merupakan mimpi buruk bagi pengguna platform streaming alih-alih penonton bajakan. Karena, selain dikenal pelit dan malas untuk menulis subtitle di film lokal, Bahasa Minang yang digunakan pada film Buya merupakan bahasa Minang kuno yang secara pengucapan amatlah berbeda dengan bahasa Indonesia. Berkaca pada film ‘Ngeri-Ngeri Sedap’, yang rilis setahun yang lalu, film dengan bahasa Batak ini amat susah dicari subtitle indonesianya. Saat tulisan ini terbit, film Buya Hamka menjadi tayangan yang masih dapat ditonton di bioskop tanah air. Amatlah sukar bila kesempatan ini terlewat.
Kendati demikian, kekurangan tersebut dapat tertutupi oleh pendalaman karakter yang didapat dari para pemeran film dan pengambilan gambar yang pas. Produksi film yang sangat totalitas mulai dari pemain dan kru perlu diacungi jempol. Mereka mampu mengemas cerita Hamka dengan menawan hingga tampil dilayar kaca. Ditambah dengan keseluruhan bahasa yang terdapat di film ini menggunakan bahasa Minangkabau. Hal ini, yang mengistimewakan film Buya Hamka dan membedakan film ini dengan film biografi Indonesia lainnya
Lebih lanjut, berkaca pada kegigihan tokoh Buya Hamka dalam memperjuangkan nasib kemerdekaan Bangsa Indonesia, mengingatkan pada sosok guru di Indonesia. Istilah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang disematkan kepada para guru memiliki arti, bahwa guru rela berkorban untuk mengabdikan dirinya, memberikan ilmunya dengan tulus. Seperti yang telah dialami Ernawati seorang guru agama Islam di SDN 02 Ulak Karang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat.
Ernawati sudah mengabdi sejak tahun 1992 hingga saat ini. Dirinya rela menempuh perjalanan jauh dari rumah ke sekolah, naik ojek karena keterbatasan fasilitas yang dimilikinya. Gaji yang diterimanya Rp1,8 juta perbulan. Akan tetapi, itu masih belum dikurangi dengan ongkos, makan sehari-hari dan fotocopi tugas murid-muridnya. Ditambah, pemberian gaji yang tidak tiap bulan, gaji biasanya sekali tiga bulan baru cair. Bahkan, terkadang meski sudah masuk tiga bulan, dirinya hanya memperoleh gaji selama dua bulan. Dari sini terlihat bahwa nasib guru honorer amatlah memprihatinkan. Namun dirinya memilih untuk tetap mengajar, dan bersyukur dengan bayaran yang mereka dapat. Berharap agar nantinya murid tersebut bisa membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Hal serupa yang diinginkan oleh tokoh Buya Hamka.
Bagi penggemar film yang mungkin sudah bosan dengan deretan film horor, Film Buya Hamka Vol 1 bisa menjadi pilihan alternatif untuk ditonton. Film ini dapat dinikmati untuk seluruh usia. Keseruan cerita film masih berlanjut pada Vol 2 dan Vol 3. Pada Vol 2 akan disajikan lanjutan cerita dari Vol. 1 yaitu perjuangan Hamka pasca proklamasi hingga cerita Hamka ditahanan. Kemudian, pada Vol. 3 akan menyeritakan Hamka kecil hingga beranjak dewasa, disertai dengan banyak konflik yang dialaminya hingga berada di posisi dirinya dikenal orang seluruh masyarakat.