melihatmu dengan rambut tergerai
melihatmu dengan rambut tergerai
adalah angin musim semi di kota mati
: harum dan basah seolah meminta hujan
dalam kepala yang tak habis kubayangkan
menyentuh pelupuk mata kita berdua
meihatmu dengan rambut tergerai
adalah kepedihan yang kurang ajar
seperti janji yang ditagih sopir angkot
di kota yang penuh bibir dan ludah
melihatmu dengan rambut tergerai
selalu membuat aku jauh berkhayal
tentang dua anak yang tidak cukup
dan segudang teka-teki di malam pertama
tentang kau dan negeri yang bau kencur
juga utopia serta lelahnya hidup di kota
melihatmu dengan rambut tergerai
rasanya, aku mau tidur saja: bergelayut
di hitam rambut itu, sedamai apakah rasanya?
perdebatan kecil kala hujan
dik, ada pualam menggantung pada bisik
gerus mengintip celah awan. tahulah kamu,
itu matahari yang tabah, terpejam kulai
dan purba. matahari yang menjadi saksi
yang menjilat tanah kapur, tempat ayah
kecil dan tumbuh mengurap sawah-sawah
lalu dengar, denting pijak kaki rembulan
meniti bintang-bintang di hamparan jauh
kita yang termangu tinggal menghitung
berapa jauh, berapa lama doa-doa
juga tembang dan wangi asap dupa
tiba mengetuk tujuh pintu langit
tapi kau masih bersikukuh. tuhan,
katamu tak ada di atas sana. beliau
ada di sini, kau tunjuk dadamu. bertapa
mengurus segalanya dari kedalaman itu
sayang, tak ada waktu yang tepat kusebut
karena kau tahu, di matamu masa-masa
bertaut satu sama lain. kugenggam kau
masuk ke tubuhku dan beri aku tahu:
tuhankah yang bertapa di kedalaman ini?
setelah kukecup pipimu
barangkali besok atau setelah kau
letih menyusuri sejuta jalan bercabang
dengan berlayar, menghadapi topan, hingga
menentang tuhan di kejauahan, kau, kasih
akan mengingat bagaimana kecup di pipimu
adalah kebekuan musim kemarau
karena di saat kau tahu, kelak, bahwa gelisah
telah disepuh ke dalam ruhku sejak tatap berjabat
antara matamu dengan mataku yang haus
kau, dalam tiap tidurku kini menjadi mimpi
yang tambur setelah gerimis pecah pukul dua
kau menjadi sejenis debar di belah dadaku
hingga malam pamit dengan santun di muka pintu
menarilah terus, jangan padam
hanyutlah. hanyut bersama deras napas purbaku
dan hiduplah kau di setiap kecup yang terus kukarang
bintang-bintang di bola matamu
bintang yang dikemas dalam kaleng aluminium
memuat dendam dalam empat-lima tegukan
kemudian, tak ada lagi diam. cuma seribu kepak
sayap rembulan menutur rindu di segala waktu
lalu kusiasati kamu – untuk sekali lagi – dalam
22 hembus linting tembakau. sehingga kusadari
kamulah candu yang tujuh kali berlari mengitari
kepala dan sesaknya napas di setiap tegukan
di ketiak kota, di antara tembok-tembok tinggi
yang mengacungkan jari tengah ke langit, waktu jalan
dengan sangat rahasia. sekali waktu matahari ada-tiada
dan menyisakan ruang tempat gepeng-gepeng bersandar
sementara itu aku masih selinting tembakau
menerka arti mabuk dan mecoba belajar terbang
kemudian kudengar segala deru jantungmu
kau berdegup, berdegup menghitung bintang
malam jatuh, tinggal shubuh dan masih kusiasati kamu
lewat dingin jalan angin serta hangat kopi keliling
kusiasati kamu dengan banyak tanda tanya yang menyalak
- bagaimana bintang masuk ke dalam bola mata
melihatmu dengan rambut tergerai
adalah angin musim semi di kota mati
: harum dan basah seolah meminta hujan
dalam kepala yang tak habis kubayangkan
menyentuh pelupuk mata kita berdua
meihatmu dengan rambut tergerai
adalah kepedihan yang kurang ajar
seperti janji yang ditagih sopir angkot
di kota yang penuh bibir dan ludah
melihatmu dengan rambut tergerai
selalu membuat aku jauh berkhayal
tentang dua anak yang tidak cukup
dan segudang teka-teki di malam pertama
tentang kau dan negeri yang bau kencur
juga utopia serta lelahnya hidup di kota
melihatmu dengan rambut tergerai
rasanya, aku mau tidur saja: bergelayut
di hitam rambut itu, sedamai apakah rasanya?
perdebatan kecil kala hujan
dik, ada pualam menggantung pada bisik
gerus mengintip celah awan. tahulah kamu,
itu matahari yang tabah, terpejam kulai
dan purba. matahari yang menjadi saksi
yang menjilat tanah kapur, tempat ayah
kecil dan tumbuh mengurap sawah-sawah
lalu dengar, denting pijak kaki rembulan
meniti bintang-bintang di hamparan jauh
kita yang termangu tinggal menghitung
berapa jauh, berapa lama doa-doa
juga tembang dan wangi asap dupa
tiba mengetuk tujuh pintu langit
tapi kau masih bersikukuh. tuhan,
katamu tak ada di atas sana. beliau
ada di sini, kau tunjuk dadamu. bertapa
mengurus segalanya dari kedalaman itu
sayang, tak ada waktu yang tepat kusebut
karena kau tahu, di matamu masa-masa
bertaut satu sama lain. kugenggam kau
masuk ke tubuhku dan beri aku tahu:
tuhankah yang bertapa di kedalaman ini?
setelah kukecup pipimu
barangkali besok atau setelah kau
letih menyusuri sejuta jalan bercabang
dengan berlayar, menghadapi topan, hingga
menentang tuhan di kejauahan, kau, kasih
akan mengingat bagaimana kecup di pipimu
adalah kebekuan musim kemarau
karena di saat kau tahu, kelak, bahwa gelisah
telah disepuh ke dalam ruhku sejak tatap berjabat
antara matamu dengan mataku yang haus
kau, dalam tiap tidurku kini menjadi mimpi
yang tambur setelah gerimis pecah pukul dua
kau menjadi sejenis debar di belah dadaku
hingga malam pamit dengan santun di muka pintu
menarilah terus, jangan padam
hanyutlah. hanyut bersama deras napas purbaku
dan hiduplah kau di setiap kecup yang terus kukarang
bintang-bintang di bola matamu
bintang yang dikemas dalam kaleng aluminium
memuat dendam dalam empat-lima tegukan
kemudian, tak ada lagi diam. cuma seribu kepak
sayap rembulan menutur rindu di segala waktu
lalu kusiasati kamu – untuk sekali lagi – dalam
22 hembus linting tembakau. sehingga kusadari
kamulah candu yang tujuh kali berlari mengitari
kepala dan sesaknya napas di setiap tegukan
di ketiak kota, di antara tembok-tembok tinggi
yang mengacungkan jari tengah ke langit, waktu jalan
dengan sangat rahasia. sekali waktu matahari ada-tiada
dan menyisakan ruang tempat gepeng-gepeng bersandar
sementara itu aku masih selinting tembakau
menerka arti mabuk dan mecoba belajar terbang
kemudian kudengar segala deru jantungmu
kau berdegup, berdegup menghitung bintang
malam jatuh, tinggal shubuh dan masih kusiasati kamu
lewat dingin jalan angin serta hangat kopi keliling
kusiasati kamu dengan banyak tanda tanya yang menyalak
- bagaimana bintang masuk ke dalam bola mata
Sirajudin
Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis