Melihatmu dengan Rambut Tergerai

Melihatmu dengan Rambut Tergerai

LPM Spirit - Mahasiswa
Selasa, 05 Mei 2020
melihatmu dengan rambut tergerai

melihatmu dengan rambut tergerai
adalah angin musim semi di kota mati
: harum dan basah seolah meminta hujan
dalam kepala yang tak habis kubayangkan
menyentuh pelupuk mata kita berdua

meihatmu dengan rambut tergerai
adalah kepedihan yang kurang ajar
seperti janji yang ditagih sopir angkot
di kota yang penuh bibir dan ludah

melihatmu dengan rambut tergerai
selalu membuat aku jauh berkhayal
tentang dua anak yang tidak cukup
dan segudang teka-teki di malam pertama
tentang kau dan negeri yang bau kencur
juga utopia serta lelahnya hidup di kota

melihatmu dengan rambut tergerai
rasanya, aku mau tidur saja: bergelayut
di hitam rambut itu, sedamai apakah rasanya?


perdebatan kecil kala hujan

dik, ada pualam menggantung pada bisik
gerus mengintip celah awan. tahulah kamu,
itu matahari yang tabah, terpejam kulai
dan purba. matahari yang menjadi saksi

yang menjilat tanah kapur, tempat ayah
kecil dan tumbuh mengurap sawah-sawah
lalu dengar, denting pijak kaki rembulan
meniti bintang-bintang di hamparan jauh

kita yang termangu tinggal menghitung
berapa jauh, berapa lama doa-doa
juga tembang dan wangi asap dupa
tiba mengetuk tujuh pintu langit

tapi kau masih bersikukuh. tuhan,
katamu tak ada di atas sana. beliau
ada di sini, kau tunjuk dadamu. bertapa
mengurus segalanya dari kedalaman itu

sayang, tak ada waktu yang tepat kusebut
karena kau tahu, di matamu masa-masa
bertaut satu sama lain. kugenggam kau
masuk ke tubuhku dan beri aku tahu:

tuhankah yang bertapa di kedalaman ini?


setelah kukecup pipimu

barangkali besok atau setelah kau
letih menyusuri sejuta jalan bercabang
dengan berlayar, menghadapi topan, hingga
menentang tuhan di kejauahan, kau, kasih
akan mengingat bagaimana kecup di pipimu
adalah kebekuan musim kemarau

karena di saat kau tahu, kelak, bahwa gelisah
telah disepuh ke dalam ruhku sejak tatap berjabat
antara matamu dengan mataku yang haus

kau, dalam tiap tidurku kini menjadi mimpi
yang tambur setelah gerimis pecah pukul dua
kau menjadi sejenis debar di belah dadaku
hingga malam pamit dengan santun di muka pintu

menarilah terus, jangan padam
hanyutlah. hanyut bersama deras napas purbaku
dan hiduplah kau di setiap kecup yang terus kukarang


bintang-bintang di bola matamu

bintang yang dikemas dalam kaleng aluminium
memuat dendam dalam empat-lima tegukan
kemudian, tak ada lagi diam. cuma seribu kepak
sayap rembulan menutur rindu di segala waktu

lalu kusiasati kamu – untuk sekali lagi – dalam
22 hembus linting tembakau. sehingga kusadari
kamulah candu yang tujuh kali berlari mengitari
kepala dan sesaknya napas di setiap tegukan

di ketiak kota, di antara tembok-tembok tinggi
yang mengacungkan jari tengah ke langit, waktu jalan
dengan sangat rahasia. sekali waktu matahari ada-tiada
dan menyisakan ruang tempat gepeng-gepeng bersandar

sementara itu aku masih selinting tembakau
menerka arti mabuk dan mecoba belajar terbang
kemudian kudengar segala deru jantungmu
kau berdegup, berdegup menghitung bintang

malam jatuh, tinggal shubuh dan masih kusiasati kamu
lewat dingin jalan angin serta hangat kopi keliling
kusiasati kamu dengan banyak tanda tanya yang menyalak
- bagaimana bintang masuk ke dalam bola mata


Sirajudin
Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis